Isra' Mi'raj dan Bangun Pagi



Bangun pagi buatku barang mewah yang bisa aku dapati pas liburan dari Palu, ke Makassar. Di sana harus tidur paling lambat pukul 1 malam, bangun pukul 5 subuh atau ponakanku si Ariel bakal nyolok-nyolok hidungku dengan jempolnya, sambil teriak-teriak.

Kemarin subuh, 15 menit sebelum Ariel menerobos masuk dan mulai main-main dengan lubang kupingku aku sudah bangun oleh azan subuh dan angin berkesiuh sejuk. Melihat agenda di hape tidak ada yang aneh dengan hari ini. 

Nanti liat mama-papanya si Ariel di bawah lagi nyuci tabungan pakaian kotor mereka seminggu, pasti tanggal merah. Begitu tahu hari ini Isra' Mi'raj, hatiku mundur beberapa tahun ke belakang, ke zaman MH. Ainun Nadjib masih muda, waktu itu aku baru tamat SMA. "Menghitung dari 0 ke 99 lalu kembali ke 0" "Indonesia, Desa Kecil Kami", beberapa buku yang dibahas saat itu di Gedung IMMIM Makassar selain tema utama diskusi ketika itu, tentang Isra' Mi'raj.

Aku ingat pada diskusi hari itu kami bersependapat bahwa ketika Isra' dan Mi'raj Rasulullah SAW tidak bermimpi atau cuma rohnya yang berjalan tapi utuh dengan jasadnya, oleh kakak-kakak mahasiswa (aku kan masih SMA) teori relativitas Enstein "E sama dengan m kali c kuadrat" menjadi landasan berpikir mereka. Kecepatan Bouraq kendaraan Nabi SAW untuk Isra' dan Mi'raj yang melebihi cahaya mengubah massa menjadi energi.

Sebagai manusia yang berakal dan diharuskan menggunakan akal hingga batas maksimal kemampuannya menyerap data, mengolah informasi, dan menganalisa dalam beragama, untuk sementara kesimpulan diskusi hari itu bisa aku terima. Cukup untuk menjawab pertanyaan "bagaimana", tetapi belum menjawab pertanyaan "mengapa" dan "untuk apa".

Namun, teduhnya subuh pagi ini tidak perlu kucari jawaban bagaimana, mengapa, dan untuk apa. Menikmatinya saja sudah bentuk syukur.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat