Posts

Showing posts from January, 2014

Prolog 1 ~ Pengantar

Mengantar seseorang pergi tidak pernah mudah. Kali kedua, ketiga dan seterusnya sama sulitnya dengan kali pertama. Namun kita bisa belajar dari ahlinya. Dari keikhlasan para masinis, pilot, kapten kapal dan sopir saat mengantar penumpang. Seperti keikhlasan senja merelakan keindahan jingga pada pekat malam. *** Setiap pejalan, mesti pernah merasakan masa ketika diharuskan hidup menjadi pengantar. Mendiang paman, kakak ibu tertua, seorang sopir tronton lintas pulau Sumatera – Jawa, sebelum akhirnya menikmati hari tuanya di Prabumulih dan berpulang di sana, pernah bertutur sedikit kisahnya saat menjadi seorang ‘pengantar’. Kadang-kadang dia harus berangkat sendiri tanpa sopir cadangan atau kenek, nanti di kota berikutnya baru mendapat sopir cadangan. Melintasi hutan sawit, lereng dan tebing gunung, sulit untuk tidak merasa sepi tanpa kawan seperjalanan. Biasanya bila ada orang yang melambaikan tangan di tepi jalan minta menumpang, atau saat singgah makan di warung ada ya

Epilog 26 ~ Tango

No mistakes in a tango, not like life. You making mistakes, just tango in, tango out ~ Scent of a Woman, movie dialogue. Kemarin ternyata hari tango sedunia. Tarian ini memang istimewa, banyak menginspirasi kutipan, sampai merek biskuit. Dua adegan yang selalu teringat dari film lama, Scent of a Woman . Pertama, adegan Al Pacino mengajak perempuan yang ditaksir asistennya menari tango . Kedua, saat Al Pacino ngamuk-ngamuk di sidang komite disiplin sekolah asistennya, tentang integritas, tentang menjadi laki-laki, dan menjadi pemimpin. Dan teriakan khas Al Pacino sepanjang film, “Huhaa!” Musik pengiring tango juga asyik. Pilu biolanya, malah bikin ingin menari. Mirip lagu dangdut, liriknya mendayu-dayu, tapi joged juga. Tango, tarian tentang kepercayaan, kesetiaan, integritas, menjaga kesimbangan berdua dengan terus bergerak. Sepanjang tarian tidak sekalipun genggaman terlepas. It takes two to tango. *** MK dan judicial review UU yang mengatur waktu pileg, waktu pilpres,

Ya Nabi Salam Alaika

His face is a light that drives out the darkness Words are alive – his message is living Joy everywhere, our voices are singing ~ Ta’la Al Badru Saya suka bertanya-tanya sendiri sejak dulu, mengapa dalam hati bisa tumbuh dan bertumbuh cinta kepada nabi Muhammad SAW. Sejak kapan adanya? Apa seperti bibit rumput dan semak yang bersembunyi dalam tanah, menunggu hujan kemudian tumbuh? Sejak kapan bibitnya ada? Siapa yang menaruhnya ke dalam hati? Sejak kapan mulai tumbuh? Cinta ini menyalahi konsep dan pengalaman ‘bercinta’ pada sesama ciptaan yang sudah-sudah. Tidak ada pertemuan fisik, tidak ada interaksi langsung, tidak ada bau, tidak tau sejak kapan. Lahir di keluarga muslim, mesti sering melihat dua kaligrafi besar digantung di dinding rumah, Allah SWT dan Muhammad SAW. Ketika kutanya ayah, siapa Allah SWT? Allah SWT itu Tuhan semesta alam. Lalu siapa yang namanya bersanding di samping kaligrafi Allah?  Itu Muhammad SAW, Nabi dan Rasul terakhir. Kenapa posisinya sejajar? Satu Tu

Maulid

Image
Kini, hanya bisa mengenal kemuliaan Rasulullah SAW dari kisah-kisah di Qur'an, kumpulan hadits, ceramah, buku-buku dan penuturan orang-orang berilmu. Ada satu buku yang berkesan sekali, kalau tidak salah ingat judulnya "Senyum-senyum Rasulullah". Bukunya kecil, tidak terlalu tebal, selalu kubawa-bawa semasa SMA, buat sok-sokan diantara teman-teman kelompok Studi Islam Intensif, karena saya ketua organisasi ekstra kurikelernya, angkatan pertama sekaligus yang terakhir :D Isi buku itu agak berbeda dengan buku-buku lain yang menulis tentang Beliau SAW, yang cenderung tidak bisa menahan kecintaan pada Beliau, hingga menggambarkan baginda Nabi SAW sebagai sosok manusia setengah dewa. Dalam buku kecil itu, Baginda Nabi SAW tidak lebih sebagai sosok manusia biasa, sederhana, murah senyum, cerdas dan pengasih. Manusia biasa, sesuatu yang kini nampak lebih sulit mencapainya ketimbang menjadi unggul, hebat, berprestasi, super dan lain-lain. Beberapa kisah yang teringat, res

Epilog 12 - Pintu

Tadi pagi judul Epilog 12: “Pintu”. Pas nongkrong di warung kopi depan toko kaset di pasar, yang lagu-lagunya ‘mengejek’ para kaum jomblo merdeka djaya, malah jadi kepikiran tentang ‘kesadaran’. Kesadaran mungkin sejenis pintu juga. Ini kapan selesaikan draft-draft fiksi. Kalau setiap terpancing berpikir, bukannya dipakai selesaikan draft malah menulis yang lain. I do need someone beside me.. *melipir* Di depanku ada kopi, masih terasa kopi. Indra pengecap masih ‘sadar’, tidak terdistorsi jadi berasa daun sirih malam bainai, seperti lagu yang diputar toko kaset. Tapi tidak demikian dengan hati, yang diberi informasi lirik lagu oleh telinga. Ini apaku yang sadar, kuping atau lidah? Atau masing-masing jalan paralel dengan kesadarannya sendiri. Atau bentuk mekanisme proteksi diri agar tetap sadar secara keseluruhan. Mata dan kuping bolehlah larut dengan lirik lagu dan rasa rindu. Kopi ya kopi, mari rayakan pagi, kata lidah. Atau lidah, telinga, pikiran dan bayangan, kesemua