Posts

Showing posts from February, 2014

Selamat Jalan Om Ancung

Barusan terima beritanya, pukul 21 WITA Kamis 27/2 berpulang di Makassar. Hampir bersamaan dengan tabrakan dua sepeda motor depan rumah di Padangpanjang, satu orang meninggal di tempat. Beruntung pernah mengenal dan akrab dengan orang unik seperti Syamsun Ayun Lili. Perintis band tua di Makassar, JPL band, dedengkot drag race di Dago dengan Peugeot pemberian keluarganya (kelak dikirim ke Makassar, antik, setir kiri, masih jalan dan membuat banyak cerita lucu dengan kami), mendiang salah satu aktifis "Malari" dari fakultas seni rupa ITB, menolak NKK/BKK, selamat oleh salah seorang pamannya petinggi ABRI, kakaknya masih walikota Makassar ketika itu. Mendiang termasuk terlambat menikah, nanti usianya sudah 45 tahun lebih. Saking senangnya, undangannya saya minta yang bikinkan, 200 lembar undangan manis dan sederhana, dari karton concorde warna abu-abu, kami hiasi dengan tinta biru, semuanya buatan tangan. Tanda sayang pada seseorang yang kami anggap om sendiri. Main dan nong

Tiga Kaki

Salah satu bab dari tulisan kumpulan surat-surat imajiner yang sedang kutulis, bercerita tentang Tan Malaka. Posting ini karena baca kumpulan artikel pemikiran Tan Malaka di internet. MADILOG, buah pikiran Tan Malaka jauh melampaui jamannya, jauh sebelum membaca konsep trivium Nassim Nicholas Thaleb: "Pendidikan ‘trivium’ (tiga bidang dasar) yang ideal dan paling tak merugikan masyarakat kiranya matematika, logika, dan bahasa; cukup banyak penulis dari pelajaran bahasa muncul untuk mengimbangi kehilangan kebijaksanaan akibat matematika; cukup banyak matematika dan logika untuk mengontrol kata-kata dan retorika.” MADILOG: Materialistis; Dialektika; dan Logika. Konsep yang ingin dibumikan Tan Malaka untuk memajukan Indonesia. Konsep Tan Malaka masih terlalu 'puitik' bila dibandingkan konsep trivium Nassim Nicholas Thaleb yang sudah semi-aktual, atau lebih membumi. Wajar kalau pemikiran Tan Malaka puitik, dia hidup di jaman romantisme flamboyan, jaman ketika rambut men

Film: "American Hustle"

Kalau belum lama habis nonton "Closer" (2004) terus nonton "American Hustle", kesannya mungkin sama, tentang kekuatan terbesar perempuan, absurditas. Bila tokoh perempuan dalam kedua film tersebut laki-laki, keputusan-keputusan besar yang mereka ambil mesti berbeda. Laki-laki akan berusaha (sok) rasional, sekalipun tentang cinta, perkara paling absurd di muka bumi. Intrik tipu-tipu dan agen FBI yang (kelihatan) idealis tapi sebenarnya mengejar popularitas, sudah biasa. Kenyataan, bahwa menjalankan jabatan politis (walikota Atlantic City) di masa sekarang demi kepentingan yang lebih besar, masyarakat di kota yang dia pimpin, akan sulit bila tidak kompromi dengan hal-hal yang melanggar hukum, juga tidak terlalu istimewa, masih ada pejabat publik yang berhasil tanpa berkompromi dengan apapun yang melanggar hukum, sekalipun untuk kebaikan masyarakat mereka. Entah siapa, masih ada pokoknya, atau akan ada. Kalau saya, lebih suka mengamati karakter dua tokoh perempuan

Why Do You Love Me

So sweet and tenderly.. ~ Koes Plus Masih terinspirasi Koes Plus, masih terkenang Murry. Masa kecilku bahagia, bila ukurannya lagu-lagu apa saja yang bisa terdengar dari radio tape transistor milik ayah atau dari koleksi kasetnya. Pemutar piringan hitam, ada tapi sudah rusak di gudang. The Panbers, Koes Plus, The Beatles, Keroncong, Campur Sari, Saluang, banyak tidak semua kuingat. Ayah dosen biasa di PTN, gajinya tidak akan mencukupi untuk semua peralatan elektronik miliknya, tekad dan berkah nafkah halal yang memampukan. Waktu SD kelas 5, teman-teman sekolah yang kebanyakan dari kalangan yang lebih lapang, sudah mulai pakai sepeda ke sekolah. Jadi kepingin punya sepeda juga. "Apa tanpa sepeda kamu tidak bisa belajar? Kalau masih bisa, berarti tidak penting. Ayah usahakan belikan, apa saja kebutuhan sekolahmu dan 7 saudaramu, sepeda belum penting. Masih lebih hemat seperti sekarang dengan becak langganan." Saya dan 2 orang kakak satu SD, langganan antar jemput dengan bec

Kolam Susu

Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada topan tiada badai kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman.  Kolam Susu ~ Koes Plus. Selamat jalan ‘Murry Koes Plus’.  Kemarin menulis catatan acak, judulnya ‘Indonesia Incorporated’. Salah satu cara menjaga otakku tetap ‘waras’ dengan sesekali diajak mikir dan menulis topik lepas yang sok serius. Bila urusan satu itu mulai kembali riuh. Pepatah: “yang waras mengalah”, cocok digunakan hampir di semua kondisi, kecuali perkara cinta. Karena saya tidak mau mengalah, pepatahnya jadi; yang waras menulis. Udah, gitu aja curcolnya. ***  Lirik lagu “Kolam Susu” termasuk lirik yang visioner. Sejak tahun 70an sudah melihat ‘kodrat’ negeri kita, untaian mutiara hijau di atas lautan. Dua ‘kekayaan’ yang tidak akan habis, karena siklusnya utuh tak putus. Perikanan konvensional seperti saat ini, memang belum seutuh siklus pertanian. Tanpa m