Posts

Showing posts from December, 2013

Kudus

malam kudus, sunyi senyap, semua berpendar, semua terdiam. Beberapa teman dan sahabat memeluk beragam agama dan kepercayaan. Kami sering diskusi, kadang hingga ke aqidah. Diskusi, bukan debat, karena tidak ada pihak yang diserang lalu satunya lagi bertahan. Tidak berdebat karena kesadaran, soal aqidah dan keimanan, sudah bukan wilayah kekuasaan manusia. Manusia tidak bisa memilih, mau lahir dari keluarga majusi, nasrani, yahudi, budha, hindu, muslim atau atheist. Nanti setelah berakal sedikit, baru mulai muncul klaim-klaim paling benar. Bahkan ada yang begitu sibuknya mengklaim, hingga apa yang diyakininya sebagai jalan kebenaran tidak juga selesai dilaluinya. Malam natal beberapa tahun lalu di rumah mendiang, usai menonton 'boxing day' liga Inggris, sama-sama terdiam di depan layar televisi, menikmati orkestrasi lagu Holy Night. Meski muallaf sejak menikah, setiap menjelang Natal rumahnya dihiasi pernik Natal, untuk saudara-saudara dan ibunya. "Ajarkan saya tent

Oleh-Oleh #1

Semasa hidup, orang tua bijak itu mengumpulkan murid-murid resmi, setiap malam minggu. Mungkin itu pula sebabnya ada syarat harus menikah dulu sebelum resmi belajar. Karena saya murid ilegal, belajarnya curi-curi, di antara urusan pekerjaan dengan anak mendiang. Mencari satu kalimat, bila kuucapkan akan 'menjebak' almarhum menjabarkan panjang lebar. Beberapa yang teringat secara acak, coba aku tulis lagi. Semoga merekamnya dengan baik, tidak kurang, tidak lebih dan tidak ikut tafsiranku, kalau ikut semoga tak asal. Pernah beberapa kali sengaja datang sembunyi-sembunyi menguping. Metode mengajarnya unik, kadang cuma sejam, kadang hingga berjam-jam. Pengantarnya selalu panjang, bisa gosip infotaimen, kelakar, perkembangan politik, sampai virus flu burung. Kupikir untuk sinkronisasi "gelombang" pikir dan rasa orang-orang yang hadir, agar berada di "frekuensi" yang sama dengannya. Inti pengajiannya, kalau ada 3 kalimat atau sekitar 27 kata sudah panjang se

Pematung #1

Image
  Angin enggan bergerak, matahari cukup terik, rimbun daun pepohonan di taman menghalau silau sebelum senja. Seorang gelandangan menenteng tas kantor, bajunya lusuh robek di bahu. Memutari tugu macan di taman tiga kali, lalu duduk bersila di samping ukiran nama-nama veteran pejuang. Ditumpahkan isi tasnya. Ada kapur tulis, kertas ampelas, kondom bekas, pisau ukir tumpul, tusuk gigi, kopiah, sarung lusuh, kaos kaki, dan seragam pejuang serwarna kaki, hitam kecoklatan di atas, putih di telapak. Aku yang mengamati sejak tadi, dianggap tak ada. Tidak pedulinya menyaingi patung macan di sampingnya. Dari kejauhan sulit membedakan mana yang patung. "Hei! Bisa beri aku sebatang rokok?" Kaget, nyaris menjatuhkan kamera yang kukemasi, siapa yang meminta rokok, patung macan atau gelandangan yang mematung duduk bersila. "Cepat sedikit, sebentar lagi gelap." Kuangsurkan rokok sebungkus, "Ini buat bapak." "Sebatang saja, kelak mematung aku tidak mero