Posts

Showing posts from September, 2013

Bayi

Tadi habis nengokin adek bayi yang lahir Sabtu pagi kemarin. Kenapa semua bayi menyenangkan hati ya? Dari bayi manusia sampai bayi kucing. Melihatnya saja sudah bahagia, apalagi menggendongnya, mendekap, mencium. Meski ada beberapa orang yang kukenal, takut menggendong bayi, bukan karena benci (entah kalau memang ada yang benci pada bayi) tapi takut menyakiti, takut menulari penyakit, bayi begitu ringkih menurutnya. Abaikan distorsi faktor; lajang berumur atau pasangan yang merindukan kehadiran jabang bayi (maaf). Ada sesuatu pada jabang bayi membuat kita meluruhkan cinta-kasih tanpa syarat. Ada kerinduan yang tidak dipicu oleh kenangan seperti yang kerap kita alami, bayi baru lahir mana pernah ngopi bareng kita, ngakak bareng, apalagi nonton konser bareng. Ada saat-saat tertentu ketika mendekap bayi, dari hati bagai bermuculan benang-benang sehalus sutera, dan dari hati sang bayi keluar benang-benang cahaya, hangat. Saling terangkai, tertenun jadi senyum di wajah kita dan si bayi.

9 Perasaan

Bacanya di majalah, dalam perjalanan Padang ke Jakarta, baru ingat sekarang. Artikel psikologi populer tentang 9 perasaan yang biasanya pengaruhi manusia dalam mengambil keputusan. Menurut penulis artikel itu ada dua kelompok perasaan, yang negatif dan yang positif. Apatis, kesedihan, ketakutan, keserakahan, kemarahan, adalah kelompok perasaan atau emosi yang cenderung mendorong kita mengambil keputusan negatif. Keberanian (courageous bukan no fear), acceptance (nrimo) dan peace dikelompokkannya ke dalam perasaan yang cenderung membuat kita mengambil keputusan positif. Secara bertahap, biasanya kita belajar mengambil keputusan dimulai dengan pengaruh kuat 6 perasaan negatif dulu, sebelum masuk ke tahapan dipengaruhi oleh 3 emosi positif terakhir. Sepertinya memang demikian. Kepikiran, kenapa "cinta" tidak disebut si penulis artikel dalam jenis perasaan yang paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan? Apa karena 9 perasaan tadi dan perasaan lainnya yang tidak dis

Veteran

Image
Jari-jarinya keriput dan besar-besar bukti kerja keras di masa muda mulai menyobek plastik pembungkus telepon selular. Agak gemetaran, satu persatu dirangkainya, baterai, kartu SIM, lalu dinyalakan. Gambar robot hijau tersenyum dari layar telepon memantul di kacamatanya. Dibetulkannya peci veteran, gagah menatap layar telepon barunya, lalu menoleh padaku. Dia tahu aku mengamatinya sedari tadi. Senyumnya berbisik, "Aku bisa gaya di jaman kalian, tapi kalian belum tentu keren di jamanku." Tidak bisa kujawab. Jaman mudanya, jaman perang kemerdekaan, generasi angkatanku bisa apa biar sekeren dia? Seolah menunjukkan tambahan bukti adaptasi. Dikeluarkannya satu dus kecil lagi, masih terbungkus plastik juga. Speaker mungil untuk ponsel. Tidak perlu lama, suara keypad ponsel android meriah pindah ke sana. Tangan gatal mau keluarkan kamera dari dalam tas. Dia terlalu gagah untuk tidak diabadikan, tapi dia kuhormati bila kubekukan hanya untuk jadi koleksi gambar, dan dialog suny

Pilkada, Pilkabe, Pilbiru

Image
Perbedaan ketiga pil itu banyak. Salah satunya di lelucon usang Pilkada; kalau jadi, lupa. PilKabe; kalau lupa, jadi. Masih terbukti benar sampai sekarang. Persamaannya: Ketiga PIL itu tidak ada yang natural, semuanya aditif sintetik. Apalagi PilBiru atau Viagra, sama sekali tidak menyembuhkan impotensi, tapi memaksakan ereksi. Cara kerjanya, zat kimia dalam PilBiru membuka katup pembuluh darah hanya searah, darah boleh masuk ke dalam penis, tapi tidak boleh keluar, sampai pengaruh obatnya habis. Konon penanda ada tempat mesum, bila ada warung obat di pinggir jalan dengan tulisan besar, "JUAL PIL BIRU ASELI AMERIKA". Spanduknya agak mirip dengan spanduk kampanye. Pilkada ada miripnya dengan PilBiru. Keduanya menggambarkan syahwat besar yang melampaui kemampuan sebenarnya. PilKada yang kita harapkan menjadi saluran alami, tempat lahir dan munculnya para pemimpin sudah berubah jadi "bursa". Dalam mekanisme PilKada ada pasar diam-diam, mulai sejak penjaringan ca

(Masih) Tentang Angkot

Akhirnya dapat juga wangi ketek di atas angkot penuh sesak kemarin. Pas duduk di belakang pak sopir, angin dari jendelanya yang terbuka langsung ke muka. 'Berkah' ini memang buatku. Dari sekitar 25 hari naik angkot semuanya pulang pergi, total jadi 50 angkot, dapat 'wangi' ini baru sekali. 1 berbanding 50, betapa beruntung. Pas naik hanya ada satu kursi kosong. Penumpang di deret berikutnya sampai rela pangku-pangkuan, supaya aku dapat kursi. Jebakan batman. Setelah duduk, mereka yang di deret berikutnya bernafas lega seperti baru bebas dari beban berat, senyum terima kasih yang baru ketahuan untuk apa pas angkotnya jalan. Sempat pakai parfum sedikit, wanginya buat mereka yang duduk di deret sesudahku, wangi pak sopir buatku. Hari ini dapat jatah fungsi jadi parfum angkot, bukan eksplorer obrolan penumpang. Nafas aja susah, bagaimana mau nguping obrolan bersahaja penumpang lain. Buatku pakai parfum akibatnya lain, untuk para penumpang di sampingku akibatnya juga l

Harapan

Memiliki harapan atau tidak usah berharap? Pada harapan, ada peluang kecewa juga peluang bahagia, pada keduanya ada pelajaran, yang tidak berharap, tidak belajar apa-apa, yang salah menempatkan harapan, juga bisa tidak dapat apa-apa bila ditenggelamkan kecewa. Aku belajar sedikit tentang “harapan” dari orang-orang kampung bersahaja selama di sini. Mulai belajar waktu naik angkot penuh sesak. Awal-awal, tiap akan naik angkot aku berharap; semoga tidak penuh, semoga dapat kursi kosong dekat pintu, semoga banyak obrolan menarik yang bisa aku petik dan tabung dialognya. Diam-diam dengan harapan-harapan itu aku membuat pra-kondisi, memformat diriku menjadi potongan puzzle, yang (harapanku) akan berpasangan dan klop dengan potongan puzzle lainnya pada angkot yang mau kunaiki. Harap sesuatu yang belum terjadi, pada tempat dimana tidak punya kuasa dan daya untuk membentuk keping puzzlenya dari tempatku menunggu angkot. Sesekali pre-format ini berhasil. Kepingan puzzlenya klop, tinggal du

Mata Teduh dan Senyum Welas Asih

Tidak setiap hari bisa bertemu orang-orang bermata teduh.  Tatapannya menyelinap ke dalam hati, dihangatkannya sudut-sudut dingin.  Tidak pada tiap penumpang angkot kita temukan senyum welas asih,  penenang riak dalam dada. Kemarin sore ke pasar lagi, kepingin jalan aja. Seolah takut kekurangan kenangan tentang kota ini sebelum kutinggal. Sudah banyak gambar yang aku ambil, sudah banyak sudut dan pojok pasar yang kusinggahi. Kuliner sudah kemana-mana. Makan di warung meriah di belakang pasar juga sudah. Pedagang ikan, daging, SPG rokok, sales kosmetik, dan anak-anak sekolah. Satenya 4 tusuk 5.000,- rupiah, dapat satu ketupat utuh dan kuah kuning melimpah. Sebenarnya enak, tapi saosnya kebanyakan MSG. Tanpa mereka yang duduk sempit-sempitan makan di sana, tanpa obrolan dan lelucon para pedagang pasar, satenya tidak akan senikmat ini. Kemarin makan satenya di depan TPA, wuhuuu, riuhnya anak-anak pulang ngaji, mengerubungi aku dan ibu pedagangnya. Anak-anak itu beli kerupuk ubi b