Epilog 26 ~ Tango

No mistakes in a tango, not like life. You making mistakes, just tango in, tango out ~ Scent of a Woman, movie dialogue.

Kemarin ternyata hari tango sedunia. Tarian ini memang istimewa, banyak menginspirasi kutipan, sampai merek biskuit.

Dua adegan yang selalu teringat dari film lama, Scent of a Woman. Pertama, adegan Al Pacino mengajak perempuan yang ditaksir asistennya menari tango. Kedua, saat Al Pacino ngamuk-ngamuk di sidang komite disiplin sekolah asistennya, tentang integritas, tentang menjadi laki-laki, dan menjadi pemimpin. Dan teriakan khas Al Pacino sepanjang film, “Huhaa!”

Musik pengiring tango juga asyik. Pilu biolanya, malah bikin ingin menari. Mirip lagu dangdut, liriknya mendayu-dayu, tapi joged juga.

Tango, tarian tentang kepercayaan, kesetiaan, integritas, menjaga kesimbangan berdua dengan terus bergerak. Sepanjang tarian tidak sekalipun genggaman terlepas.

It takes two to tango.

***

MK dan judicial review UU yang mengatur waktu pileg, waktu pilpres, dan presidential treshold. Mesti menari tango juga. Kalau sudah berpegang pada tangan yang tepat, menari saja, bukan untuk tepukan atau cacian penonton.

Sebagai rakyat, termasuk yang paling berkepentingan soal UU tersebut. Kita pihak yang mau dirayu suaranya di pileg dan pilpres.

Khawatir terjadi kegalauan politik, ketidaksiapan sistem dan lain-lain, sudah persoalan teknis. Bisa diatasi kalau memang mau. Buktinya karut marut pembagian dana kompensasi kenaikan harga BBM, konversi BBM ke LPG, e-KTP, tetap terlaksana walau belum semua komponen siap betul. Kali pertama acak-acakan sedikit, kali kedua tentu lebih baik.

Pileg dan pilpres serentak jelas lebih efisien, untuk rakyat, konstituen, kontestan dan komisi pelaksana. Efisien waktu, efisien biaya, efisien energi. Ambang pencapaian suara parpol saat pileg yang jadi patokan presidential treshold, tidak begitu penting bagi rakyat, kebanyakan untuk kepentingan parpol.

Politik transaksional dan dagang sapi, setiap menjelang dan sesudah pileg bisa diminimalisir. Drama politik picisan, tawar menawar kepentingan tidak punya durasi panjang tampil di panggung, kecuali sekedarnya.

Presiden terpilih harus segera menyusun kabinet. Parpol yang kalah dalam pilpres tidak punya cukup waktu melobi sampai jual diri untuk posisi di kabinet. Awam juga tahu, kabinet idealnya diisi oleh orang-orang kompeten pengetahuan teknis dan taktis mengenai tupoksi kementeriannya. Menjadi menteri mestinya tidak menjadi target antara untuk pemilu atau ambisi selanjutnya.

Pemenang pileg dan pilpres mungkin sekali dari dua partai yang berbeda, kontrol dan penyeimbang kekuasaan bisa berjalan.

Mau tidak mau, parpol harus lebih serius melakukan kaderisasi. Suatu saat, setiap parpol akan punya departemen ‘pemandu bakat’. Tugasnya berkeliling Indonesia mencari bibit calon pemimpin negeri.

Parpol jangan kalah dengan konglomerat hitam soal kaderisasi. Mereka bisa memantau siapa calon regulator atau bakal orang berpengaruh dari sejak masih menempuh pendidikan, dirangkul dan dibuat berhutang budi sejak dini.

***
 
Kisah nyata. Ada pabrik miras legal, sudah tutup sekitar 10 tahun lalu, founder dan owner kembali ke jalan yang lebih baik, sebelum keduanya berpulang. Suatu hari mereka menonton berita di televisi, karena mabuk, seorang anak membunuh ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Bagaimana bila yang membuat pelaku hilang akal adalah minuman produksi mereka?

Perijinan dan aspek legalitas formal pabrik miras mereka lengkap, tapi oknum kumuh selalu saja menemukan celah atau menciptakan celah untuk ‘memeras’ mereka. Pabrik lain memberi mereka saran, cari ‘anak asuh’ yang bisa bantu proteksi pabrik mereka dari oknum. Membiayai ‘anak asuh’ lebih murah dari pada menyuapi oknum.

Jejaring mereka luas, pemandu bakatnya bisa memantau bakal ‘anak asuh’ sejak masuk akademi siapa saja yang berprestasi dan akan bisa memegang posisi suatu hari.

Parpol-parpol kita jelas lebih baik dari konglomerat kelam soal ‘pemandu bakat’ mencari bibit brillian. Pertama niat parpol baik, caranya juga mesti lebih baik.

***

Negeri ini sudah diambang kebangkrutan, bila hanya mengharap pemasukan dari sektor migas. Baca berita terakhir, sekarang yang digali sisa-sisa minyak dari sumur tua. Tambang emas banyak yang sudah tergadai, industri strategis lainnya entah bagaimana. Masih kaya kok, salah satunya potensi industri kelautan dan pertanian kita.

Meski migas kita sudah mulai kering, asing masih suka ikut campur dalam suksesi dengan cara yang terang-terangan maupun gelap-gelapan. Pemandu bakat mereka tidak kalah jeli dengan konglomerat kelam dalam mencari ‘anak asuh’ calon pemimpin negeri.

Maaf paman, tidak semua bisa dibeli. Saya yakin masih ada calon pemimpin kami yang punya integritas, merekalah yang kami inginkan memimpin negeri tahun 2014 ini. Atau 2019 nanti, bila keputusan pilpres dan pileg serentak baru bisa dilaksanakan saat itu.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat