Makassar Akan Aman #1

Baru kemarin malam tidak pulang lewat tengah malam, biasanya paling cepat pukul 1 pagi. Katanya kota Makassar lagi rawan begal dan kriminal bermotor. Alhamdulillah, selama ini belum pernah sekalipun bertemu mereka. Ngidernya di selatan kota yang termasuk aman. Daerah yang kebetulan tidak termasuk daftar daerah rawan yang banyak beredar di sosmed dan broadcast bbm.

Dulu tinggalnya di selatan kota juga, di kampung Parang, sudah dua tahun pindah di sekitar Mannuruki. Secara umum lingkungan di sini mirip dengan lingkungan yang lama, karena 4 tahun belakangan jalan melulu, baru saling lempar senyum dengan tetangga, belum sampai begadang bareng.

Pengalaman ngider tahun 90an, masa SMA sampai kuliah, secara umum karakter masyarakat kota Makassar yang tinggal di Selatan dengan yang di Utara memang beda.

Tingkat pendidikan formal dan taraf ekonomi hasil survey pandangan mata, bisa dikatakan sama. Beberapa perbedaan yang terlihat:  logat, dan pola pikir. Sekali lagi secara umum dan berdasarkan pengalaman tahun 90an.

Bila melihat daftar lokasi yang beredar di sosmed, sepertinya masih sama, Utara kota Makassar lebih rawan kriminalitas ketimbang Selatan kota. Berarti pola pikir tahun 90an dengan sekarang belum jauh berbeda? Mereka yang di Selatan hanya mau mengambil kekerasan sebagai jalan keluar bila dialog sudah buntu dan selalu ada orang yang dituakan, disegani atau yang ditokohkan melibatkan diri atau diminta terlibat pada setiap konflik, mereka yang di Utara lebih suka dialog belakangan, hajar dulu, dan minim panutan di lingkungan setingkat RT.

Prinsipnya sama, Ejapi na doang (nanti merah baru ketahuan kalau itu udang) aplikasinya yang beda. Mereka yang di Selatan menganggapnya sebagai nasehat untuk berhati-hati. Rebus dulu, pastikan udang. Di Utara dipersepsikan menjadi: hajar dulu, urusan lain belakangan.

Palikbo (misuhan) lazim di Utara seperti selamat pagi. Di Selatan, bila ada yang palikbo, berarti memang sedang marah.

Namun seberingas-beringasnya warga Utara dan Selatan kota Makassar di tahun 90an, mereka masih angngalik-alik masih mau mengenali orang. Menaruh hormat pada perempuan, orang tua dan yang dituakan. Belum sebablas sekarang.

Tiga geng menonjol tahun 90an, merata di tiga wilayah kota. Di selatan ada Cokonuri, di tengah ada Losari dan di Utara ada Bara-barayya atau Ablam. Pertikaian antar mereka jarang terdengar, kalaupun bertikai selalu berada dalam koridor sikap ksatria. Di masa kanak-kanak suka nguping kalau ada preman pensiun yang berbagi kisahnya, selalu ada pelajaran yang bisa dipetik.

***

Kembali ke sekarang, tagar #MakassarHarusAman yang meresahkan masyarakat, juga menggerahkan mereka yang secara formal bertanggung jawab atas keamanan. Bila dianggap sebagai politisasi atau bertujuan menyerang karakter aparat dan pejabat tertentu, menurut saya pribadi malah menjauhkan persoalan dari solusinya.

Faktanya sudah sejak lama ruang publik kota dan beberapa ceruk-ceruk kecil di lingkungan kota Makassar "dibiarkan" menjadi ruang tumbuh kembang dan kaderisasi kriminal, syukurnya di lingkunganku tidak ada ruang seperti itu, baik yang lama atau yang sekarang.

Contoh pembiaran. Pernah parkir motor atau mobil di luar hotel Clarion atau tempat-tempat lain saat ada keramaian? Tarifnya 10.000,- Di hari biasa 2000 dan pemilik motor diberi tiket parkir yang tertera 1000 rupiah. Bukan nominalnya yang bikin kesal, tapi pembiasaan melanggar aturan. Saya memilih batal parkir, kalau sudah begitu. Dari pada menjadi bagian pembiaran.

***

Sekitar seminggu lalu sekelompok pengamen di Losari babak belur dihajar sekelompok orang, dan sekitar seminggu sesudahnya di sepanjang Losari pengamen menghilang. Pengunjung anjungan yang kerah bajunya diangkat oleh oknum pengamen, memaksa minta bayaran, ternyata aparat.

Ada yang bilang inilah saatnya mahasiswa yang suka tawuran turun gunung untuk hal yang lebih bermanfaat, kalau perlu gandeng FPI, gruduk kantong-kantong geng motor.

Kedua cara di atas baru membersihkan kegelapan, belum menerangi dengan menyalakan lampu. Sewaktu-waktu bila dibiarkan gelap, kembali akan ada yang menghuni.

Untuk "menyalakan lampu" pemerintah kota dan aparat keamanan punya jaringan dan sistemnya kok. Bisa dimulai dengan meminta data aktual dari tiap RT, lalu di verifikasi  oleh ketua RW, selanjutnya pihak kelurahan, hingga tiba di tingkat kecamatan berkoordinasi dengan Polsek, dari data yang ada apa tindakan yang bisa diambil.

RT yang baik mesti mengenali lingkungannya, keberadaan geng motor atau kadernya, dan tokoh masyarakat. Melihat peluang-peluang melakukan kegiatan kemasyarakatan agar tidak ada lagi sekat dan ekslusifitas di lingkungan RT masing-masing.

Marimi, sama-samaki semua. Mulai dari lingkungan rumahta masing-masing.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Debat