Terima Kasih
![]() |
Puncak Gunung Talang, Solok, Sumatera Barat (Mei 2015) |
Dalam kurun waktu dua puluh tahun, tidak banyak yang bisa aku pahami tentang ‘dunianya yang baru’, dunia yang ia bangun di dalam kepala dan perasaannya sendiri. Tanpa pintu masuk, hanya jendela yang sesekali ia buka kepada ‘dunia luar’ sejak tahun 2005 hingga berpulang di tahun 2025. Pembuluh darah vena di kedua kakinya tersumbat akibat minim aktivitas fisik.
Puluhan literatur fiksi dan non-fiksi yang aku kumpulkan di era pra-AI hampir tidak membantu sama sekali. Kecuali satu, mereka yang memutuskan --sukarela atau dipaksa keadaan-- memasuki dunia tersebut, mungkin memang bukan untuk dipahami (ingin memahami karena diam-diam berharap kelak bisa kembali hidup ‘normal’ di dunia yang kita anggap ‘normal’), hanya butuh diterima, tanpa label, tanpa stigma, dan tanpa syarat.
Mendiang guru mengaji yang berhati lembut menangkap kegelisahanku, menyempatkan diri berkunjung ke rumah menjenguk kakak. Kata beliau, “Kakakmu tidak sakit, ia sudah memilih menerima takdirnya, dan setiap pilihan adalah takdir. Jangan malah kamu yang tidak mau berdamai dengan takdir.”
Sepanjang hidupku kerap berinteraksi dengan tiga orang yang mengidap skizofrenia. Kakak kandung, kakak seorang sahabat, dan cucu mendiang guru lukisku. Tanpa keinginan memahami mereka, tanpa membebani dengan harapan ‘harus sembuh’, aku menemukan perspektif baru yang membantu menerima keadaan. Apa yang mereka alami adalah bagian dari mekanisme otak manusia untuk melindungi seluruh tubuh dari kerusakan total (setelah mendapati kenyataan hidup tidak sesuai harapan yang datang beruntun), mencegah dari merusak diri sendiri dan orang lain.
Tahun 2013 mendiang Ibu dan Bapak memutuskan membawa Kakak ke kampung, aku ikut. Kembali serumah dengan kakak. Selama di kampung, banyak yang datang ingin membantu ‘menyembuhkan’ dari sisi medis maupun non-medis, kesimpulannya sama dengan mendiang guru mengajiku, takdir dan pilihannya.
Selama di kampung, mendiang makin jarang menunjukkan ekspresi emosional, seperti marah, senang, malas, sedih, dan lain-lain. Wajahnya lebih sering datar tanpa ekspresi. Frekuensi ‘dialog imajiner’ dengan karakter-karakter yang berasal dari dunia dalam kepalanya berkurang drastis. Mungkin menjauhkannya secara fisik dari kota di mana kakak mendapatkan pukulan psikis keduanya, memang membantu.
Diam-diam, harapan kelak kakak akan ‘sembuh’, kembali tumbuh. Jika kondisinya sebelum berangkat ke kampung dianggap negatif, maka sekarang mungkin bisa aku anggap nol, netral, hanya soal waktu (dan takdir), jika mendapat dorongan yang tepat, aku yakin kakak sedang menuju nilai positif.
Sehabis ‘dipaksa’ bangun salat subuh, biasanya kakak kembali tidur. Menjelang duhur kakak bangun dan membuat kopi di dapur, suara sendok yang beradu dengan gelas, ritmis, teratur, dan nadanya selalu sama. Kakak lalu duduk seruangan denganku yang sedang berusaha menyelesaikan novel pertama di garasi yang kujadikan ruang kerja selama menemani Ibu dan Bapak di kampung.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan berlalu. Ekspresi yang ditunjukkan kakak tetap datar.
Hingga suatu hari aku berpamitan, mau mendaki Gunung Talang. Mendadak wajahnya menunjukkan ekspresi bahagia, pemicunya kuanggap karena mendengar kata ‘mendaki gunung’. Kakak yang pertama kali mengenalkan mendaki Gunung Bawakaraeng di Gowa Sulawesi Selatan kepadaku.
“Ayo, ikut Uda!” ajakku bersemangat.
“Kondisi fisik begini, Uda cuma jadi beban.” Tolaknya.
“Kalau Uda ikut, saya tidak mendaki, fisikku juga belum begitu siap, saya terakhir mendaki tahun dua ribu, lima belas tahun lalu. Kemping di dusun kaki gunung Talang saja, ngopi, nyanyi-nyanyi, Uda main gitar depan api unggun.”
“Tidak ah! Siapa yang temani Papa, Mama, kalau Uda ikut?”
Mendengar jawaban yang memasukkan ‘unsur’ di luar ‘dunianya’ sebagai pertimbangan mengambil keputusan, aku nyaris berteriak bahagia. Tapi yang aku ucapkan, “Baiklah, saya pamit, cuma tiga hari.”
Sepulang dari Gunung Talang, senyum bahagia kakak belum luntur. Sepertinya bukan karena ‘mendaki gunung’, aku sudah pulang dan kakak masih tersenyum bahagia, dengan garis bibir dan kerut di wajah persis sama sebelum pergi mendaki. Susah payah menahan diri tidak bertanya lebih dulu, tiap aku yang aktif bertanya, hampir pasti dijawab seadanya. Lebih baik menunggu, sampai kakak sendiri yang bercerita.
Sampai akhirnya, sehabis menikmati nada ritmis yang kakak hasilkan saat membuat kopi, ia menghampiri meja tulisku. “Tahu tidak, selama mendaki gunung Talang, kau membuat orang di Jakarta khawatir dengan keselamatanmu?”
Aku melongo. “Ndak ada orang di Jakarta yang tahu saya mendaki gunung. Siapa?” tanyaku beberapa saat kemudian, setelah menyerah mencari tahu siapa yang kakak maksud.
“Itu lagunya lagi kau putar di laptopmu.” Bantahnya dengan senyum paling indah yang pernah aku saksikan sejak ia memilih lebih banyak menjalani hidup dalam dunia di kepalanya.
Ada ruang hatiku yang kautemukanSempat aku lupakan kini kausentuh
Aku bukan jatuh cinta
Namun aku jatuh hati
Ku terpikat pada tuturmu
Aku tersihir jiwamu
Terkagum pada pandangmu
Caramu melihat dunia
“Jatuh Hati” - Raisa. (Singel yang rilis 15/01/2015, sedang populer saat aku mendaki Gunung Talang bulan Mei di tahun yang sama).
“Raisa?" tanyaku tak percaya kakak tahu.
“Iya! Jangan kira Uda tidak tahu.” Jawabnya lalu tertawa terbahak.
Aku tidak mau tahu, tawanya itu ledekan atau bukan, itu tawa yang aku rindukan darinya, tawa yang belasan tahun tak terdengar, dan aku ikut tertawa bahagia bersamanya.
***
Beberapa waktu kemudian, ibu rawat inap di RSUD Padang Panjang. Setiap dari menemani ibu, biasanya mampir ke kafe kecil dekat rumah sakit sebelum pulang, minum segelas di sana kadang sambil menulis, kadang memang cuma mau menikmati kopi Solok atau kopi Atjeh sambil bengong dan menahan udara dingin Padang Panjang, lalu membungkus segelas untuk kakak di rumah.
Sore itu berbeda. Aku pulang dengan senyum bahagia, selain menerima kabar baik dari dokter, kalau ibu beberapa hari lagi akan kembali sehat. Sore itu aku bertemu seseorang di kafe kecil itu, namanya aku simpan rapat-rapat untuk kakak di rumah.
“Uda, ini kopi Aceh, mix robusta dan arabica.” Kataku menyapa kakak yang membuka pintu.
“Terima kasih. Bagaimana Mama?” tanyanya, memastikan wajah riangku karena berita baik dari rumah sakit yang kubawa.
“Kata dokter, satu dua hari ini inshaAllah sudah bisa pulang. Tapi bukan itu saja yang buatku bahagia.” Jawabku dengan senyum yang sok misterius.
“Tadi ketemu Raisa?” Tebaknya asal.
“Bukan! Tadi di kafe saya ketemu Maudy!”
“Hah?” kali ini kakak yang membelalak heran. “Kau ini bagaimana? Kemarin Raisa, sekarang Maudy. Jangan begitu! Ini masalah serius!”
Melihat wajahnya benar-benar khawatir adiknya sedang main hati. Aku tidak sanggup menahan tawa, dan kakak kembali ikut tertawa, tawanya benar-benar lepas dan bahagia melihatku masih kebingungan menentukan pilihan, ketika itu, sebelum istikharah menuntunku pada Maudy.
***
Sebulan sebelum kakak berpulang 30 Juli 2025 barusan, beberapa tahun setelah Raisa, juga Maudy menikah, aku sedang di Makassar menemani Bapak menonton televisi, mengajaknya berbincang dan bertanya hal-hal ringan, berusaha melambatkan laju ‘dementia’.
“Pa, menurutku nama Uda di kampung terlalu berat, 'Darma Syahadat'. Setiap katanya membawa makna, yang butuh seumur hidup untuk meraih harapan terkandung di dalamnya.”
“Memang berat, kalau ‘darma’ atau ‘syahadat’ cuma kau anggap kewajiban. Pasti lelah dari hari ke hari cuma mengejar titik menggugurkan kewajiban.”
“Tuh kan! Memang berat arti nama Uda.” Jawabku.
“Kalau memakai pemahamanmu, ya berat. Siklus alam—siang dan malam, musim yang berganti, planet yang berotasi— berdasarkan hukum alam yang tak terhindarkan, mereka menjalankan 'darma'-nya secara sempurna, tetapi tanpa niat, tanpa kesadaran, dan tanpa rasa. Jika manusia hanya sekadar memenuhi kewajiban seperti mesin atau siklus alam, maka kita mereduksi potensi luhur kemanusiaan yang berada dalam kata ‘darma’ dan ‘syahadat’. ‘Darma’ atau syahadat dalam pemahaman Papa, bukan sekadar ikrar, kesaksian, mengerjakan kewajiban, dan kebajikan, tetapi harus ada suka cita di dalamnya, yang lahir dari ketulusan (sincerity/wholeness), kunci yang mengangkat 'darma' manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Mengubah sebuah beban kewajiban menjadi sebuah kebahagiaan spiritual. Amor Fati. Cintai takdirmu.”
***
Seseorang yang mempraktikkan Karma Yoga tidak bertindak karena 'harus', tetapi karena tindakan itu sendiri adalah bentuk penyelarasan dengan 'Svadharma' (panggilan unik pribadinya) dan merupakan persembahan kepada Yang Ilahi. Suka cita yang dibicarakan oleh Bapak adalah buah alami dari tindakan yang tidak lagi dibebani oleh kecemasan akan hasil. Ia adalah kegembiraan murni yang ditemukan dalam proses melakukan hal yang benar, dengan cara yang benar, untuk alasan yang benar.
Ketulusan sejati yang melahirkan suka cita adalah sebuah 'pelukan aktif' (active embrace). Ini adalah kondisi di mana seseorang 'memilih' untuk mencintai kewajibannya. Bukan "Saya harus melakukan ini," melainkan "Saya 'diberi kesempatan' untuk melakukan ini." Pergeseran perspektif inilah yang mengubah air keruh kewajiban menjadi anggur suka cita.
Ada lintasan paralel yang menarik. Stoikisme adalah aliran filsafat Yunani kuno yang menekankan pentingnya hidup sesuai dengan alam dan kebajikan, serta mengendalikan emosi untuk mencapai ketenangan batin. Stoikisme mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati dicapai melalui penerimaan terhadap hal-hal yang tidak dapat dikendalikan dan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan, yaitu pikiran dan tindakan.
Kaum Stoa atau stoikisme, seperti Marcus Aurelius, memahami agar manusia tidak hanya menerima takdir, tetapi untuk 'mencintainya' (Amor Fati). Melihat setiap tugas, setiap tantangan, dan setiap kewajiban bukan sebagai beban hidupnya dan tidak akan menjadi beban untuk hidup orang lain, kewajiban itu bahan bakar yang diperlukan untuk melatih kebajikan dan membentuk karakter. Cinta inilah yang melahirkan ketenangan dan kepuasan yang mendalam, sebentuk suka cita yang hening.
***
Semalam habis 'bersihkan' laptopnya Uda, napakarrukka, almarhum sudah tahu dirinya akan berpulang sekitar 40 hari sebelumnya, Uda menyalin partiture gitar lagu "When the Saints Go Marching In" (Uda fasih main gitar dan piano/organ). Liriknya setelah kucari tahu:
Oh, ketika orang-orang kudus berbaris masuk;Oh, ketika orang-orang kudus berbaris masuk;
Oh, Tuhan, aku ingin berada di antara mereka
Ketika orang-orang kudus berbaris masuk.
Saya tidak heran mengapa himne Nasrani yang Uda temukan di internet untuk kemudian menjadi file terakhir yang disimpan di laptopnya, bukan puisi Rumi atau Ibn Arabi, sebagai penanda waktunya hampir tiba. Semasa hidupnya Uda pernah mengaji tasawuf, sewaktu mulai 'sakit' buku dan kitab bacaannya kubaca ulang semua, karena khawatir 'belajar tanpa guru' adalah penyebabnya 'sakit', ternyata bukan. Wallahu'alam maqamnya sudah di mana..
***
Selamat jalan, Uda, maafkan, sepuluh tahun belakangan tak pernah lagi membuatmu tertawa bahagia. Terima kasih Raisa, terima kasih Maudy. (Batang Gadis, 16 Agustus 2025).