Prolog 1 ~ Pengantar


Mengantar seseorang pergi tidak pernah mudah. Kali kedua, ketiga dan seterusnya sama sulitnya dengan kali pertama.
Namun kita bisa belajar dari ahlinya. Dari keikhlasan para masinis, pilot, kapten kapal dan sopir saat mengantar penumpang.
Seperti keikhlasan senja merelakan keindahan jingga pada pekat malam.
***
Setiap pejalan, mesti pernah merasakan masa ketika diharuskan hidup menjadi pengantar.
Mendiang paman, kakak ibu tertua, seorang sopir tronton lintas pulau Sumatera – Jawa, sebelum akhirnya menikmati hari tuanya di Prabumulih dan berpulang di sana, pernah bertutur sedikit kisahnya saat menjadi seorang ‘pengantar’.
Kadang-kadang dia harus berangkat sendiri tanpa sopir cadangan atau kenek, nanti di kota berikutnya baru mendapat sopir cadangan. Melintasi hutan sawit, lereng dan tebing gunung, sulit untuk tidak merasa sepi tanpa kawan seperjalanan.
Biasanya bila ada orang yang melambaikan tangan di tepi jalan minta menumpang, atau saat singgah makan di warung ada yang meminta ikut sampai ke kota tertentu yang dilaluinya, akan dia ikutkan, menemani membunuh sepi.
Istri mendiang adalah salah satu penumpang yang melalui proses ‘transformasi’ lengkap bersamanya. Dari penumpang dan sopir, menjadi teman seperjalanan hingga akhirnya menjadi teman hidup.
“Ketahuilah buya ketek, menjalani proses yang utuh jelas lebih mudah, ketimbang saat harus merelakan penumpang yang sudah atau kita inginkan menjadi teman seperjalanan, harus turun dan berhenti di kota tujuannya. Sebelum tantemu ini, sudah ada beberapa teman seperjalanan.”
Paman bertutur padaku tentang menjadi ‘pengantar’ tahun 1995 di Prabumulih, dan 5 tahun sesudahnya, tiba giliranku menerapkan apa yang sudah diajarkannya. Sekedar mengantar, walau belasan tahun mengantar, dan memang tidak mudah.
Siapapun yang berdiri di samping atau di belakang yang berusaha menyemangati dan menemani, apalagi di depan mencoba menghalangi jalan, semuanya sama saja, tidak akan ada yang mampu membantu mengubah keadaan.
Kendati menabrakkan diri ke dinding takdir seberapa lama yang aku mampu, tidak ada sedikitpun yang berubah.
“Saya bisa apa, memangnya mauku? Tapi kalau mau, pilihlah takdir baru berikutnya. Mulai dengan tidak menganggapku penghalang keinginanmu, tapi sebagai pelindungmu dari apa yang ada dibalik dindingku, yang bisa sesuatu yang buruk untukmu, bisa juga sesuatu yang baik namun tidak cocok bagimu, bisa juga di depanku malah jauh lebih baik dari yang ada dibalik dindingku.” Begitu kira-kira kata takdir.
Takdir banyak omong, begitu pikirku, dan tidak hanya sekali dua kali dia menghalangi keinginan. Masih banyak lagi sesudahnya. Saya memang tidak berdaya mengubah takdir, tapi saya bebas memilih bagaimana bersikap terhadap takdir, dan melawan takdir tidak lagi aku masukkan sebagai pilihan.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat