Niat

Senja di dermaga 'POPSA' Makassar, 2014.

Ciri kata-kata yang mengandung sifat-sifat baik, yang juga kata kerja —karena butuh kerja keras dengan banyak pengulangan sebelum berkarakter atau bersifat demikian— biasanya hanya satu kata. Seperti; sabar, syukur, tulus, ikhlas, baik, benar, indah, harapan, bahagia dan lain-lain. Satu kata, tetapi tidak membuat seseorang serta merta demikian setelah tahu, dan memahami definisi, ciri dan sifat, sesuai kata yang dimaksud.

Seorang fotografer (IG @brunosoaresfphotography), menulis keterangan gambar untuk fotonya di Instagram, foto satu sampan kecil tenang mengapung di teluk yang tenang dengan pasak-pasak bekas tiang dermaga kayu yang berdiri lebih tenang, untuk ketergantungannya pada media sosial. (Foto di sini belum mendekati 50% ketenangan yang digambarkan fotonya).

“Dalam dunia yang semakin cepat, setiap hari semuanya semakin buram. Dunia di mana kita tanpa sadar dan tanpa niat masuk ke dalamnya sembari berusaha meyakinkan diri sendiri, bahwa kita melakukannya bukan karena tidak sengaja, tetapi hanya dengan niat dan ketika ingin.

Bahkan dengan kadar kepastian dan keyakinan yang lebih besar, kita semua percaya bahwa dunia yang telah kita masuki (dengan semua kecepatannya) akan berhenti pada saat kita inginkan. Tetapi, kita tidak pernah benar-benar menginginkannya berhenti, saya menyadari itu ketika memotret dermaga tua ini, tidak ada kepastian dan keinginan berhenti. 

Saya mencoba, saya memang mencoba, tetapi lihatlah, ketika ponselku bergetar, dan tanpa niat, keinginan atau keyakinan, saya benar-benar kembali ke dalam.

(In an ever faster, each day more blurred world, in which we unknowingly enter, assuring ourselves that we don't do it unintentionally, but only because we want and when we want.⁠ ⁠ It is with even with greater certainty that we believe that all this speed will stop at the moment we want.⁠ ⁠ But we don't really want it, do we? And it is when, looking at this old pier, once offering us a way, I feel it today devoid of certainties and will. I try, I indeed try, but behold, the mobile phone vibrated, and without my wanting, I actually go back inside.⁠) 

Kami memahami keterangan gambar tersebut dari sudut lain, bukan tentang kesadaran dan kendali diri ketika bermain media sosial berikut niatnya di dunia yang bergerak semakin cepat, tetapi pengantar menemukan penjelasan untuk diri sendiri, mengapa kata-kata yang mengandung sifat-sifat baik, kini lebih sulit menjadi karakter di dunia yang bergerak semakin hari makin cepat.

Kawanku yang mengutip dua nasihat ibunya buatku, agar memiliki hati yang tulus dan ikhlas, setelah nasihat sebelumnya yang subyektif dalam menilai orang lain, tidak serta merta kuiyakan. Bak dialog opera sabun populer para ibu, (karena remote televisi adalah bukti siapa penguasa rumah sebenarnya) menjelang tahun 90. “Tidak secepat itu Rudolfo!”, jawab Maria Marcedes menanggapi ajakan Rudolfo untuk kawin lari. Bukan karena peragu atau terlalu berhati-hati, sebagian generasiku, generasi X, baby boomers, adalah sikap standar yang mungkin general. 

Meski kami belum paham, bagaimana generasi Z, para milenials, mentransformasi kata-kata yang mengandung sifat baik, dari kata benda menjadi kata kerja kemudian mulai menjadi kata sifat, yang jelas sebagian dari generasi yang lahir ketika dunia mulai berakselerasi lewat koneksi internet, dan masa remaja dan dewasa dengan kecepatan koneksi dan daya tampung yang meningkat pesat dari satuan bps ke gbps (dari satu ke milyar), memang mampu menari-nari dengan gerakan yang mewakili sifat-sifat baik. Vlog-vlog sikap dermawan, prihatin, dan kepedulian yang banyak lahir dari generasi ini termasuk buktinya. Lepas dari komposisi berapa persen kadar artifisial, keikhlasan, narsistis, pertunjukan, pencitraan, pesan sponsor, dan lain-lain. Harus diakui, di sana kata benda sedang menjelma menjadi kata kerja, sebelum menjadi kata sifat atau karakter mereka yang membuat konten dan yang menontonnya.

Generasiku, atau aku saja ketimbang menggeneralisir tanpa data statistik pendukung, memandang semua yang ada, termasuk diri, bagian integral dari dimensi ciptaan, bahkan pada titik tertentu adalah alat sang pencipta. Kegagapan dengan kecepatan, keberanian, dan keyakinan ketika terjun ke dunia yang semakin cepat, selesai jika telah memiliki kesadaran dari mana dan akan menuju ke mana.

Pengetahuan tentang dari mana dan ke mana akan memberi kita niat dan tujuan holistik yang tidak terpengaruh dengan apa saja yang harus dilalui, yang sebagian besar dimasuki dan dilakukan nyaris tanpa kesadaran utuh.

Ambil satu kata sifat, Ininnawa misalnya. Pengakuan atau keinginan memiliki hati yang tulus dan ikhlas berkarakter “ininnawa”, mau tidak mau harus bertemu ujian komprehensif dengan kehilangan semuanya.

Soal mau terbolak-balik kehidupan nyata menjadi tempat istirahat setelah kelelahan menjalani kehidupan di dunia maya, perkara waktu sebelum tahu bagaimana membagi komposisi yang sehat untuk jasmani dan rohani hidup di dua dunia.

Fakta kematian di dunia maya tidak selalu diikuti kematian di dunia nyata, lebih dari cukup untuk mengenali mana yang hidup sebenarnya, karena setelah hidup di dunia nyata, masih ada kehidupan lain yang lebih nyata ketimbang ilusi holografik ini.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat