Ininnawa

Mungkin takdir menganggap urusan dengan kawanku belum tuntas, kami dipertemukan lagi di sebuah warung kopi. Tanpa basi-basi, kembali mengingatkan dengan nasihat ibunya, “Ibuku pernah menasihati, kalau kamu menerima perlakuan buruk yang tidak kamu sukai dari siapa saja, sebelum membalasnya ingatlah satu hal, tidak ada yang lebih membutuhkan kebaikan ketimbang mereka yang terpaksa atau tidak telah berbuat buruk kepadamu.”

“Bagaimana menunda marah?” Tanyaku sembari tersenyum bersyukur, nasihat keras dari seorang kawan tetap lebih baik dari pujian seorang musuh.

“Ininnawa, sabbara’e!” Jawabnya singkat, kemudian pamit sebelum sempat bertanya, maksudnya lagu yang dinyanyikan ibu-ibu suku Bugis ketika menidurkan anak?

Meskipun lahir dan besar di Makassar, bahasa Bugisku tidak sefasih bahasa Makassar. Lagu “Ininnawa” sering diputar sopir angkot, di warung kopi, langgam pengiring di kedai Ballo (tuak khas Sulawesi Selatan) atau di televisi lokal. Ada tiga verse dengan lirik yang hanya berbeda sedikit, ketiganya familier.

Ininnawa sabbara’e
Ininnawa sabbara’e
Mulolongeng gare’ deceng
Alla tosabbara’ede

Pitu taunna sabbara’
Pitu taunna sabbara’
Tengnginang kulolongeng
Alla riasengnge deceng

Potongan lirik dari verse paling populer di atas, tidak banyak yang bisa kutebak maknanya, padahal bahasa Makassar dan bahasa Bugis keduanya menggunakan aksara "Lontara" yang sama, 'Ka-Ga-Nga-Pa', banyak kata yang berarti serupa, tapi cuma sedikit digunakan dalam lirik lagu di atas.

Makna samar “Ininnawa” kutemukan dari pengembangan kata dasar ‘nawa-nawa’ ketika bertamu untuk urusan seformal lamaran, menyampaikan ‘nawa-nawa pattuju’ yang artinya kira-kira menyampaikan niat dan tujuan.

‘Nawa-nawa’ tanpa kata lain yang menjelaskan (hukum DM-MD), dalam bahasa Makassar bisa berarti khayalan, impian, atau niat dan cita-cita yang belum konkret, masih abstrak bagaimana mewujudkan, tujuannya apa, hanya gambaran kasar keinginan dan atau kerinduan.

“Sabbara’e” hampir pasti artinya kesabaran. “Pitu” artinya tujuh, “taunna” tadinya kusangka sama dengan bahasa Makassar, “tau” yang berarti orangnya atau manusianya. Ternyata satuan waktu, tahun. “Pitu taunna”, tujuh tahun lamanya.

Satu kesalahan mengartikan lebih dari cukup untuk mulai mencari tahu arti lirik lagu “Ininnawa” dari ahlinya. Syukurnya, banyak yang menulis di internet. Memahami makna dan nuansa rasa sebuah lagu tidak cukup dengan menerjemahkan lirik. Musiknya membawa pesan tersendiri, mengenal penulisnya, kemudian emosi dan perasaan penyanyinya dan diri sendiri ketika menyimak, sedang dalam suasana hati dan pikiran bagaimana (terima kasih Anwar Fauzi, pengetahuan tentang ini bertambah setelah beberapa bulan tinggal di studio musiknya di Jakarta).

Memahami sebuah lagu daerah saja harus serumit ini, bagaimana dengan Al Quran dan hadis? Semoga yang berani menyampaikan terjemahan dan makna ayat Al Quran dan hadis lebih keras usahanya dari usaha memahami lagu Bugis. Al Quran dan hadis masih harus diikuti dengan mengamalkan, kalau bukan karena dimudahkan oleh ‘Yang Berfirman’ rasanya tidak ada yang bisa, semoga selalu dimudahkan Allah Ta’ala.

“Ininnawa” seperti dolanan untuk menidurkan anak yang hampir semuanya berisi nasihat dan doa, lagu anak berbahasa Indonesia seperti  “Bintang Kecil” atau “Ambilkan Bulan” pun tidak kalah dalam makna tersiratnya. Potongan lirik ‘Bintang Kecil’, “Aku ingin terbang dan melayang, jauh tinggi ke tempat kau berada”, hampir sama dengan dolanan Makassar, “Battu ratema ri bulang makrencong-rencong” yang artinya kira-kira: “Saya sudah pernah ke atas bulan dan berjoget-joget di sana”. Keduanya lagu tentang optimisme.

“Ininnawa” yang berarti ‘hati yang tulus dan ikhlas’ sudah menampung makna lirik keseluruhan lagu. Namun, bagaimana bisa “Ininnawa” dari kata dasar ‘nawa-nawa’ hanya dengan tambahan imbuhan ‘inni’ drastis berganti makna, dari ‘niat yang masih samar’ menjadi ‘hati yang tulus dan ikhlas’?

Kalau bukan karena pemahaman tentang kehilangan, kesadaran bahwa tidak ada yang benar-benar milik kita termasuk ‘niat’, maka transedensi makna “Ininnawa” pasti gagal kupahami. Memahami sesuatu yang samar hanya bisa dengan hati hati yang tulus dan ikhlas dan tanpa niat memahami.

Hanya hati yang tulus ikhlas yang mampu menyadari niat ada yang berasal dari Tuhan, dan ada yang berasal dari ambisi, harapan dan mimpi diri sendiri yang berusaha sinkron dan berharmonisasi dengan niat yang dari Tuhan. Kadang berhasil padu-padan dan kadang gagal.

Niat ‘Lillahi ta’ala’ tidak lengkap jika hanya dimaknai sebagai ‘demi dan untuk Allah’, terlalu percaya diri (kalau tidak bisa disebut sombong) jika tidak menambahkan kesadaran, bahwa niat ‘Lilahi Ta’ala’ pun berasal dari-Nya, dan Dia pula yang akan menjaga dan meluruskan.

ININNAWA SABBARA’E 2X
(ketulusan dan kesabaran)
LOLONGENG GARE’ DECENG
(konon akan mendapatkan kebaikan)
ALA TOSABBARAEDE
(juga untuk orang yang penyabar)

PITU TAUNNA SABBARA’ 2X
(tujuh tahun bersabar)
TENGGINANG KULOLONGENG
(belumlah kudapatkan)
ALA RIYASENGNGE DECENG
(jua namanya kebaikan)

DECENG ENRE’KI RI BOLA 2X
(kebaikan naiklah di rumah)
TEJJALI TETAPPERE
(tanpa tikar permadani)
ALA BANNA MASE-MASE
(walau dalam kesederhanaan/keprihatinan)

MASE-MASE IDI’NAGA 2X
(kesederhanaan inilah)
RISURO MATTARANA
(ditasbihkan dalam mengasuh anak)
ALA MUTEA MABELA
(jua engkau tak menjauh)

MABELAMPI KUTIROKI 2X
(dari jauh kumelihatmu)
MUJOPPA ALE-ALE
(engkau berjalan sendiri)
ALA MUTELLU SITINRO
(sebenarnya engkau bertiga)

TELLU MEMENGNGA SITINRO 2X
(benar bertiga kami jalan beriringan)
NYAWAKU NA TUBUKU
(nyawaku, dan tubuhku)
ALA PASSENGERENGNGEDE
(juga amal perbuatan)

SENGERENGMU PADA BULU 2X
(kebaikan setinggi gunung)
ADATTA SILAPPAE
(walau salah dengan satu kata saja)
ALLA RUTTUNGENG MANENGNGI
(semua bisa runtuh)

***

Kawanku enak saja meminta agar hatiku tulus dan ikhlas, seolah keduanya selalu siap dihaturkan. Aku belum sebaik itu, tanpa sabar dan syukur tidak ada ketulusan dan keikhlasan.

Lagu “Ininnawa” hanya tujuh tahun bersabar, sementara yang kujalani dua kali lebih lama dan belum ada tanda-tanda segera berakhir. Jangan-jangan tidak akan pernah berakhir, kecuali aku dan semua yang terlibat mengenal dan mengamalkan “Ininnawa” sembari menjaga ucapan dan tindakan agar tidak merobohkan kebaikan setinggi gunung. Belakangan ini menjaga ucapan lebih diutamakan dari menjaga tindakan, padahal keduanya mewakili apa yang tersimpan dalam hati.

Sumber kekecewaan terbesar sering kali karena berharap orang lain juga akan melakukan hal yang sama. Sekalipun mungkin berbeda niat dan tujuan, kesamaan tindakan lebih dari cukup untuk bersama-sama keluar dari neraka pengulangan yang tidak mengubah apa-apa. Nasihat kawanku agar ber-ininnawa harus kumaknai tuntutan bagi diriku sendiri, bukan untuk menuntut orang lain.

Ikhlas dan tulus merelakan, tidak memaksakan mimpi dan keinginanku melalui jalan dan ikhtiar yang sama setelah sekian tahun, atau semakin banyak kerusakan jika kuteruskan. Untukku tidak perlu merasa kasihan, dengan ininnawa, tidak ada yang terlalu sedih dan terlalu berat untuk dijalani, berbeda ketika sebelum kenal ininnawa, memang butuh belas kasihan, dan Alhamdulillah, Tuhan selalu ada untukku.

Doakan ininnawa berhasil kusempurnakan, semoga dengan begitu pertunjukan sirkus dan drama yang melengkapi sebab-sebab timbulnya kerusakan yang semakin lama makin besar juga terhenti, lalu membebaskan semua dari kesia-siaan.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat