Tentang Kehilangan

Dua batu gamping penanda pusara mendiang ibu sebelum dipasang subuh-subuh sehari setelah pemakaman.

"Ibuku pernah menasihati, kekasih yang berani mengambil risiko kehilangan dirimu bukan perempuan yang tepat untuk dinikahi." Kata kawanku dengan mimik serius, lalu kembali sibuk dengan aplikasi obrolan di ponselnya.

Walau sekadar menyalin ulang, nasihat ibunya cocok bagi yang merasa memiliki lalu takut kehilangan. Bukan buatku yang sedang belajar malu hati kalau sampai takut kehilangan sesuatu yang memang bukan milikku, nyawa yang membuatku bisa menulis sekarang juga bukan punyaku. Sengaja kudiamkan agar obrolan berlangsung singkat. Kami pun berpisah tanpa mencari tahu, mengapa ia menjadi bagian dari gelombang ke sekian yang memasuki wilayah yang beberapa tahun terakhir berusaha diubah orang-orang, tanpa menjelaskan di balik gelombang yang membawanya menemuiku dengan nasihat ibunya ada apa, siapa, dan mengapa.

Tidak heran, besarnya imbalan dan idealnya ambisi, harapan serta cita-cita dari sisi manusia yang berada di wilayah tersebut, memang menuntut aneka rupa usaha keras untuk mengubah apa yang ada di sana. Wilayah yang mampu membujuk putri raja negeri seberang sudi turun tahta, Alhamdulillah tersadar balasan lebih baik hanya dari sisi Allah dan kembali putri, karena itulah dia layak menjadi putri raja. Andai wilayah itu buatanku akan kubantu tanpa diminta, ketimbang bertahun-tahun melihat akal sehat, hati nurani, bahkan akidah dipermainkan demi sesuatu yang pasti ditinggal mati. Tindakan-tindakan tersebut memaksaku sibuk menjaga akidah, semoga dengan begitu akidah orang lain ikut terjaga. Wilayah yang coba diubah dan diutak-atik manusia tidak perlu dijaga dari gangguan manusia, itu dari Tuhan dan Tuhan akan menjaga sampai tiba waktunya diambil kembali, sampai tiba waktuku kehilangan.

Namun, bagaimana bisa kehilangan kalau tidak memiliki apa-apa? Di usia sekarang, kehilangan bukan lagi soal meratapi hilangnya kepemilikan. Pergerakan dan pergantian orang, barang, uang, panggung, sorot lampu dan kamera, jabatan, nasib, dan lain-lain yang dulu masih aku anggap kehilangan yang pantas diratapi, sebenarnya bukan kehilangan.

Walau tahu semuanya sementara, masih wajar sesekali merasa kehilangan meski tidak punya hak milik, dan gelombang yang bertahun-tahun mulai tidak manusiawi mencoba mengubah wilayah dari Tuhan dengan berusaha mengubahku akan kuakhiri sekarang, sebelum semua yang terlibat semakin mirip sosok yang menyukai kecintaan berlebihan pada dunia dan hal-hal sementara lainnya termasuk manusia, sebelum kesibukan menahan gelombang demi gelombang membuatku menjelma menjadi sosok tersebut setelah menahun mencegahku segera menikah tanpa melanggar wasiat mendiang ibuku.

Kutipan hadis, "Tidak ada yang dapat mencegah apa yang Tuhan ingin berikan, dan tidak ada yang dapat memberi apa yang Tuhan cegah", cukup lama menjadi pegangan yang membuatku tidak pernah lagi merasa kehilangan dan dibuat tidak berdaya oleh rasa memiliki. Terakhir kali tahun 1994. Belum habis duka kehilangan kakek, Buya Pakih Mulya, adikku menyusul kecelakaan lalu lintas sepulang dari kampusnya. Pintu kamarku roboh kutinju, protes tidak terima kehilangan dua orang dekat berturut-turut kurang dari sebulan. Marah dengan menyakiti diri sendiri bukan orang lain dan bengkak di kepalan tanganku, semuanya perbuatan sia-sia yang tidak mengubah apa-apa. Maklum ketika itu masih muda, sekarang semarah apa pun aku enggan merusak, kecuali untuk memperbaiki. Itu pun kubatasi dalam wilayah wajib dan bisa memperbaiki diri. Berkelahi karena perkara asmara, kehilangan, cemburu atau perselingkuhan sejak dulu tidak berminat kujalani, menantang terbuka lain perkara. Aneh saja rasanya kalau bukan istri, tanpa komitmen dengan dan dalam nama Tuhan, tapi mati-matian dipertahankan. Cinta yang aku kenal tidak begitu, tidak membuatku berani kena marah Tuhan yang memberi cinta. Cinta yang membaikkan diri dan orang lain.

Ketika ibuku berpulang tahun 2017, tidak ada pintu yang roboh. Mengatasi rasa kehilangan wangi bayi di ketiak ibuku tempat melabuhkan lelah, cukup dengan membetulkan perabot-perabot tua di rumah mendiang di kampung. Semakin merasa tidak memiliki sesuatu, semakin jarang kehilangan. Terakhir kehilangan ponsel di bagasi pesawat tahun 2011, malingnya lucu, ada dua ponsel, satu bl*kberry onyx terbaru yang harganya empat kali ponsel lipat klasik Motorol* startac V, yang bb malah ia tinggalkan.

Hampir sepuluh tahun, sampai Jum'at pagi yang baru lalu setelah malam sebelumnya dompetku tercecer di trotoar kembali dengan utuh. Kehilangan mulai fasih kumaknai sebagai berakhirnya hak guna atau hak pakai, tanpa hak milik. Di antara pergerakan, pergantian, dan perpindahan yang dulu kusebut kehilangan, ada hal yang tetap meski berganti kurir. Pagi itu sebelum berangkat main sepeda sambil olah raga, keponakan-keponakanku menitip dibelikan jajanan.

Uang seratus ribu rupiah kukantongi kemudian mulai mengayuh sepeda dengan misi khusus, menulis pesan lewat peta perjalanan naik sepeda. Keponakan-keponakanku ini termasuk bukti kalau apa yang diambil Tuhan akan diganti dengan yang lebih baik dan lebih cocok. Di Jakarta kemarin semua serba terpasung, di Makassar cinta yang ditahan, tertahan dan yang kutahan meluap-luap untuk keponakanku. Marah jadi tidak efektif untuk mendidik, semarah apa pun mereka tahu marahku karena sayang.

Setiba di minimarket, selembar uang seratus ribu rupiah hilang dari dalam kantong. Bukan soal jumlah yang Alhamdulillah bisa dicari gantinya yang membuat tertegun. Setelah sembilan tahun, mengapa hari ini kembali kehilangan? Adakah zakat dan sedekahku belum tunai? Adakah hak orang yang kutahan?

Sepeda kukayuh menuju mesin ATM melewati jalur di mana uang tadi mungkin tercecer. Tidak ketemu dan berusaha merelakan, semoga yang menemukan benar-benar membutuhkannya. Di perjalanan kembali ke minimarket setelah mengambil uang ganti, mendadak sepeda motor melaju kencang hampir menyambar sepedaku. Remnya blong, becak motor di depanku ditabrak begitu saja. Rusak kecil, tidak ada yang luka, pemotor itu bangkit dan kembali memacu sepeda motornya. Sedekah atau berbagi kebaikan dalam ajaran agama sebagian fungsinya mencegah musibah kecil seperti barusan, dalam fisika disebut hukum kekekalan energi.

Besar kepala, bersyukur sudah dipaksa Tuhan bersedekah seratus ribu rupiah untuk keselamatanku sendiri, jadi tahu paksaan yang berasal dari Tuhan dan yang berasal dari manusia, mana yang baik sangka kepada keburukan buatan manusia dan baik sangka pada keburukan dan musibah yang datang dari Tuhan langsung yang ternyata tidak mengandung keburukan sedikit pun.

Pemahamanku bahwa kehilangan adalah jeda untuk memahami pergantian sarana tanpa mengubah nilai dan tujuan yang terkandung dari apa yang hilang dan diganti, kini bertambah. Juga jalan bagi takdir baik untuk mewujud dengan harga hanya seolah-olah saja kehilangan.

***

Tentang memahami kehilangan, tidak bisa hanya belajar dari pengalaman orang lain, harus dengan mengalami kehilangan demi kehilangan sampai tidak ada lagi yang tersisa untuk hilang.

Tidak ada yang sebaik cinta sebagai jalan dan guru dalam mengenal dan memahami kehilangan akibat rasa memiliki. Kehilangan dalam cinta berbeda dengan kehilangan biasa, hanya zat yang mustahil hilang yang tinggal.

Sekitar sembilan tahun lalu pernah nekat melakukan perjalanan selama tiga tahun hanya untuk menemui takdir kehilangan harapan mengubah status lajang, tidak berjodoh dan tidak direstui mendiang ibuku.

Seperti sikapku ketika bertemu kawanku, tidak ada penjelasan dariku apa saja yang telah aku lalui selama itu dan apa saja yang telah berhasil melembutkan hatiku sebelum menerima dan mematuhi permintaan ibuku. Tentang masa lalu, film seri televisi "The LXD: The Uprising Begins (2010)" menjelaskannya lebih baik:

Life is not fair. Sometimes dreams not come true. Sometimes you are not the hero in the story of your life. Sometimes people die before they're supposed to. Life is not fair. 

But fair has nothing to do with who you are inside, what you dream about, who you love, and what you stand for. Life cannot touch that, war cannot touch that. Hope, greed, love, and the force that moves all cannot touch that. 

The past can be forgotten, but at some point is part of who you are and part of who you will become. The past is always right behind you, not infront of you. Sometimes the past hold your back, but not your future.

***

Bertahun-tahun gelombang itu berusaha keras mengubah wilayah yang aku sendiri tidak memiliki daya mengubahnya, so worry not supposed to be here.

Tentang masa depan, film "Wonder Park (2019)" menggambarkan hampir mendekati kenyataan. Splendiferous, I am the wonder in the wonderland. 

The Darkness will always there, that's how we feel grateful for the light.

Masa depan bukan hanya tentang siapa yang seharusnya, dan nyatanya siapa.

"Siapa" selalu menjadi sumber masalah, bahkan sejak penunjukan Adam sebagai khalifah. Kepedulian tentang "siapa" untuk masa depan seharusnya tidak sebesar "mengapa" dan "bagaimana" yang tidak terikat ruang dan waktu seperti "siapa".

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat