Tulisan 14 Februari Diposting 15 Februari

Sebenarnya sejak sekitar lima belas tahun lalu tidak lagi menganggap 14 Februari sebagai hari yang penting dan khusus. Delapan belas tahun lalu dan sebelumnya lagi, memang masih menerima coklat, kartu, kembang, sampai pesan singkat ke *starpage* (beeper, alat komunikasi andalan awal tahun 90an) dan lain-lain, dari kawan, saudara, sahabat, dan kekasih. Lalu menyusut drastis hingga akhirnya tidak ada sama sekali setelah sama-sama paham, ketimbang *be my love on this day*, lebih asyik *being love for everyday*.

Apalagi setelah kejadian sembilan dan tujuh tahun lalu.

***

Semut hitam di pendopo sumbangan PT. Semen Padang di tepi lembah Anai pada suatu sore, tempat istirahat kesukaan setiap berangkat dengan sepeda motor ke kota Padang dari Batang Gadis, Tanah Datar.


Sembilan tahun lalu. Pukul sebelas malam lewat lima puluh menit sekian, tanggal 13 Februari, guru lukisku Ali Walangadi berpulang.

Menerima kabar tersebut sambil protes diam-diam, mengapa maut tidak menunda beberapa menit sebelum membawanya pulang tepat di tanggal 14 Februari, mendiang yang mengajarkan bagaimana membahasakan cinta dalam bentuk warna, tekstur, rupa, dan bentuk. Mauku, beliau mendapatkan kehormatan berpulang di hari yang hampir setengah penduduk Bumi sepakat sebagai hari merayakan cinta.

Protesku tidak dipedulikan, malah aku yang dipaksa merayakan sendiri di depan nisan mendiang guruku yang tegak dan dingin, pagi hari menjelang pukul sebelas setelah ditakdirkan mendapat tiket penerbangan ketiga dari Palu ke Makassar.

Perlu menunggu dua tahun sebelum maut menjawab protesku. Tanggal 14 Februari tujuh tahun lalu, seorang kawan, sahabat, teman gila-gilaan kemudian menjadi teman hijrah, sekaligus orang yang telah aku anggap ayahku sendiri, berpulang.

Kali ini diam-diam aku tersenyum. Bukan karena besar kepala menganggap maut akhirnya mau mendengar protesku dua tahun lalu, tapi sentilannya pada pemahamanku tentang cinta kali ini luar biasa hebat. Kalau cinta aku titipkan pada wujud berupa manusia, maka cintaku barusan mati (lagi). Nasihat maut melalui kepulangan dua orang yang aku cintai dan hormati makin membuat tanggal 14 Februari terasa sebagai hari yang sama dengan hari-hari lain, membuat semua hari terasa sama baik untuk mencintai dan membaikkan. Berhenti memberhalakan hari dan cinta itu sendiri.

Namun tanggal 14 Februari tahun ini berbeda, kepingin menulis sesuatu tentang cinta. Pertama, setelah membaca sebuah esai berbahasa Inggris yang indah di sini: https://goodmenproject.com/featured-content/beautiful-man-i-cant-have-wcz/ yang buatku menjadi seperti laki-laki dalam esai tersebut masih "too good to be true", walaupun tidak ada permusuhan dengan mantan-mantan kekasih yang tak berjodoh menikah denganku, tapi membuat mereka memahami diriku seperti penulis itu memahami "laki-laki yang tidak bisa ia miliki" masih mustahil, karena aku memang belum seperti itu. Justru bersikap seperti sang penulis, aku pernah, beberapa kali.

Kedua, setelah menemukan kutipan Rumi. Ia menantang dukacita berkunjung ke hatinya, dimana api kecintaannya kepada Tuhan yang menyala-nyala akan membakar habis setiap duka lara.

Ketiga, karena draf tulisan fiksi terakhir yang konsepnya masih menari-nari dalam kepala dan hatiku ingin mendapatkan pembenaran dengan berdialog lewat tulisan ini, bahwa idenya sejalan dengan sebab pertama dan kedua. Draf awal halaman pembukanya mungkin begini...

***

Pada sebuah ruang yang tersembunyi dan terkunci, dalam sebuah rumah yang terpencil di kota yang teduh. Seorang laki-laki asyik berdua-duaan dengan komputernya.

Nampaknya ia sedang berduka, tapi senyumnya mengembang. Nampaknya ia sedang bersuka, tapi matanya basah. Ditulisnya sebaris kalimat di layar komputernya yang sedari tadi kosong.

"Buku kecil ini cocok untuk mereka yakin tahu tentang cinta, karena cinta bukan pengetahuan. Juga cocok untukku yang mencintai cinta, karena cinta bukan berhala. Kutulis karena ingin mengalami cinta, menjadi cinta."

Selesai menulis, ia baca berulang-ulang, meyakinkan dirinya tidak ada yang salah dengan kalimat pembuka lembar pertama draf tulisannya ke sekian. Lembar penentu, apakah akan melanjutkan ke halaman berikutnya, lalu membeli buku tulisannya.

"Ganti, bahasanya tidak cocok untuk generasi yang tahu cinta saja tidak tapi yakin tahu." Entah dari mana datangnya, sejak tadi seorang perempuan menemaninya menulis dalam ruang yang tersembunyi dan terkunci, pada sebuah rumah yang terpencil di kota yang teduh.

"Ternyata bukan cuma generasimu yang salah kaprah, berusaha membuat, membentuk, mengubah cinta sesuaii keinginannya, agar cinta cocok ke dirinya. Kalau bukan karena aku dan kamu yang menyerah, terserah sedalam apa jurang, setinggi apa penghalang, sehancur apa cinta meleburkan diri, jiwa, dan ruh agar cocok ke dalam cinta, kita tidak berada dalam ruang rahasia ini sekarang."

Pada sebuah ruang yang tersembunyi dan terkunci, dalam sebuah rumah yang terpencil di kota yang teduh. Seorang laki-laki asyik berdua-duaan dengan kekasihnya.

***
Gitu aja dulu, mau bawa kucing ke dokter hewan..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat