Setelah membaca buku I dan buku II, benar selalu ada hal-hal baik sekalipun dibalik sesuatu yang cenderung berkonotoasi negatif, seperti sihir misalnya. "Picatrix" ada enam buku, cuma nemu dua buku yang tersedia versi PDF dan bisa diunduh gratis (entah bagaimana awalnya sampai bisa menemukan link untuk mengunduh Picatrix, membacanya, kemudian riweh sendiri). Walaupun "Picatrix" dimulai dengan 'Basmalah' dan banyak menaruh catatan bahwa setiap sihir, upaya, hanya akan berhasil jika disetujui Tuhan untuk mewujud, tetapi di bagian lain ditekankan pentingnya menselaraskan diri dengan makro-kosmos untuk jaminan keberhasilan setiap usaha sihir. Sementara baginda Nabi SAW tegas melarang mengaitkan nasib, takdir, dengan bintang, kicau burung, dan hal-hal lain yang lebih tepat dianggap sebagai pertanda sebuah takdir dan nasib, bukan penentu takdir dan atau nasib. Bisa sekali aku yang awam dengan sihir salah, dan mungkin sekali Ghayat Al-Hakim benar, atau kami berdua...
Baru kemarin malam tidak pulang lewat tengah malam, biasanya paling cepat pukul 1 pagi. Katanya kota Makassar lagi rawan begal dan kriminal bermotor. Alhamdulillah, selama ini belum pernah sekalipun bertemu mereka. Ngidernya di selatan kota yang termasuk aman. Daerah yang kebetulan tidak termasuk daftar daerah rawan yang banyak beredar di sosmed dan broadcast bbm. Dulu tinggalnya di selatan kota juga, di kampung Parang, sudah dua tahun pindah di sekitar Mannuruki. Secara umum lingkungan di sini mirip dengan lingkungan yang lama, karena 4 tahun belakangan jalan melulu, baru saling lempar senyum dengan tetangga, belum sampai begadang bareng. Pengalaman ngider tahun 90an, masa SMA sampai kuliah, secara umum karakter masyarakat kota Makassar yang tinggal di Selatan dengan yang di Utara memang beda. Tingkat pendidikan formal dan taraf ekonomi hasil survey pandangan mata, bisa dikatakan sama. Beberapa perbedaan yang terlihat: logat, dan pola pikir. Sekali lagi secara umum dan berd...
Puncak Gunung Talang, Solok, Sumatera Barat (Mei 2015) Dalam kurun waktu dua puluh tahun, tidak banyak yang bisa aku pahami tentang ‘dunianya yang baru’, dunia yang ia bangun di dalam kepala dan perasaannya sendiri. Tanpa pintu masuk, hanya jendela yang sesekali ia buka kepada ‘dunia luar’ sejak tahun 2005 hingga berpulang di tahun 2025. Pembuluh darah vena di kedua kakinya tersumbat akibat minim aktivitas fisik. Puluhan literatur fiksi dan non-fiksi yang aku kumpulkan di era pra-AI hampir tidak membantu sama sekali. Kecuali satu, mereka yang memutuskan --sukarela atau dipaksa keadaan-- memasuki dunia tersebut, mungkin memang bukan untuk dipahami (ingin memahami karena diam-diam berharap kelak bisa kembali hidup ‘normal’ di dunia yang kita anggap ‘normal’), hanya butuh diterima, tanpa label, tanpa stigma, dan tanpa syarat. Mendiang guru mengaji yang berhati lembut menangkap kegelisahanku, menyempatkan diri berkunjung ke rumah menjenguk kakak. Kata beliau, “Kakakmu tidak sakit, ia ...