Dear My Future Lovely Wife..


Setelah semua keinginanmu itu kau utarakan, boleh aku sampaikan keinginanku? Aku ingin kau ada di sini, sekarang, atau kau lebih suka ada dalam buku rahasia tergantung pada pohon besar di lauhful mahfudz daripada turun ke bumi menemaniku?

Tadi malam seorang kawan mengeluh padaku tentang istrinya, "Adakah istriku itu menganggap aku suaminya, atau ia menikahi aku untuk mimpi-mimpinya sendiri? Untuk apa kami bersama bila selalu "dia", "aku" tanpa "kita". Aku seperti jembatan tol yang dinikahinya agar dia lebih mudah mencapai semua inginnya. Entah, apakah setelah semua dicapainya aku akan ditinggalkannya juga, seperti meninggalkan gerbang tol."

Dengan "sok tahu sekali" seolah pernah jadi suami. Kuberitahukan padanya bahwa salah satu tugas seorang suami adalah mendidik istrinya, membenarkan bacaan Al-Qur'an istrinya yang salah, dan menjadi pemimpin keluarganya. Kau tidak harus menjadi jalan tol baginya yang akan diinjak saat dia lalui, seberapa besarpun rasa sayangmu padanya. Kau bisa mengantarnya sampai ke tujuan yang dia inginkan. Kawan, dalam perjalanan di jembatan tol akan banyak percakapan, penyesuaian, kehilangan keseimbangan untuk capai keseimbangan baru dan hal-hal indah yang akan kalian alami, yang bisa merubah, "dia" dan "aku" menjadi "kita".

Andai kawanku itu mencibir, akan kukatakan padanya itu bukan pengalamanku karena istriku masih ada di atas sana. Itu yang kusaksikan pada kedua orang tuaku.

Cepatlah kemari, agar apa yang kukatakan itu pula yang kulakukan.

Miss you much..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat