Maaf

Hari itu rumah seorang kawan gempar, istrinya menemukan bekas gincu di celana dalam suaminya. Noda merah di atas katun putih menolak luntur, saat istrinya mengeluarkan kain bersih dari dalam tabung mesin cuci.

“Aku minta diceraikan, atau aku yang menggugat cerai kalau kamu tidak mau. Selama mengurus perceraian, silakan tinggalkan rumah.” Katanya dingin kepada suaminya lewat telepon.

“Apa pun keputusanmu saya terima, tetapi jelaskan dulu mengapa?” Jawab suaminya kebingungan di seberang telepon.

“Kamu belum mau mengaku? Oh. Aku lupa, doktrin para suami, jika kedapatan berbuat salah, jangan akui di depan istrimu apa pun yang terjadi.”

“Saya belum tahu salahku apa.”

“Kalau ini terjadi sebelum kita menikah, sebelum terikat komitmen apa-apa, mungkin bisa aku terima dan maafkan. Bekas gincu di celana dalammu menunjukkan kalau aku dan kamu tidak lagi hidup di bumi yang sama.” Katanya lalu menutup telepon dengan pipi yang basah oleh air mata.

Kami dan semua kerabatnya yang berusaha mendamaikan sepakat, rumah tangga mereka tidak bisa diselamatkan. Suaminya melanggar hal prinsip mengapa berumah tangga. 

Beberapa kawan perempuan suaminya menganggap sikap istri kawan kami berlebihan. Suaminya 'hanya' makan sate kambing, tidak memelihara kambing. Menurutnya, lelaki sampai kapan pun masih mencari variasi hidangan di luar rumah. 

Sebagian yang lain menganggap ujian bagi suami untuk merasa cukup dan syukur dengan apa yang terhidang di rumahnya, ujian untuk istri membuat masakan di rumahnya yang membuat suaminya tidak ingin makan di luar, di kasur dan di dapur. Sebab ketika terjadi perselingkuhan, baik dari pihak lelaki maupun wanita, yang pertama akan diikuti oleh yang kedua dan seterusnya. Apa yang baru ketahuan sekarang, mungkin bukan yang pertama kali dan yang terakhir.

Kami yang secara emosional berada di luar lingkaran konflik hanya bisa berkomentar. 

Hubungan apa pun baru akan berakhir, jika dan hanya jika keduanya sepakat tidak lagi berhubungan. Kalau hanya seorang yang ingin pertahankan, upaya sia-sia. Namun suaminya, kawan kami menolak menyerah sebelum meminta maaf.

“Permintaanku cuma satu, bukan komentar dan nasihat-nasihat baik, yang maaf dalam kondisiku seperti sekarang tidak ada gunanya. Saya butuh bantuan kalian.”

“Bantuan apa?”

“Tolong atur pertemuan dengan istriku di rumahku. Saya hanya ingin meminta maaf sebelum pisah.”

Kata ‘maaf’ memang ajaib kalau tidak sekadar ucapan demi mendapat kesempatan berikutnya sebelum kembali mengulangi kesalahan yang sama, begitu juga dengan kata ‘taubat’ kalau memang sungguh-sungguh tidak ingin kembali melakukan keburukan yang sama. Sebagian ciri taubat diterima bukan hanya dimudahkan mengganti keburukan dengan kebaikan, juga dipersulit mengulangi keburukan.

“Kamu aku maafkan.”

“Terima kasih, saya pamit. Tolong alamatkan ke kantor semua surat-surat perceraian kita.”

“Lalu bagaimana caraku mengetahui kalau kamu sendiri sudah memaafkan dirimu sendiri?”

“Saya tidak tahu.”

“Tinggallah kembali bersamaku.”

“Terima kasih. Sisa hidupku adalah permohonan maaf buatmu.”

Mereka benar-benar kembali bersama hingga kini. 

Dengan kata ‘maaf’ yang ajaib, fakta empiris perselingkuhan adalah candu dan penyakit berulang, berhasil mereka patahkan.

***

Sejak kemarin ingin menulis tentang kata ‘maaf’ dari perspektif dan pengalaman pribadi. Baru hari ini mengingat kisah nyata yang bisa menggambarkan keajaiban kata ‘maaf’. 

Satu dari tiga kata ajaib: “Maaf, Tolong dan Terima kasih” selalu berhasil kembali memanusiakan diri sendiri dan orang lain saat diucapkan dengan tulus tanpa lampiran syarat dan ketentuan. 

Angka perilaku kekerasan dalam berbagai bentuk dari segala usia, ekonomi, latar pendidikan, hingga pengetahuan agama, akan menurun begitu tiga kata tersebut lazim digunakan dan mudah ditemukan. Berupa ucapan, status media sosial, pernyataan dan perbuatan dari mereka-mereka yang sedang berada di panggung. Sekecil apa pun panggung dan lampu sorotnya, dari skala panggung bagi diri sendiri atau dalam keluarga hingga sedunia. 

Lakukan dengan tulus, karena yang paling pertama terbasuh, kotoran dan kesombongan sebelum mengucapkan tiga kata ajaib tersebut jiwa dan hati si pengucap, sebelum hal yang sama terjadi pada si penerima. Lakukan dengan benar, karena meminta maaf tujuannya bukan untuk meminta kesempatan berikutnya. Meminta maaf karena ada yang butuh dimaafkan dan ada pihak yang butuh memaafkan.

Walau banyak yang mampu memaafkan tanpa dimintai maaf, saat ada yang meminta maaf tetap terima dengan tulus. Karena sebuah permintaan maaf baru diperhitungkan sebagai maaf hanya jika disampaikan sendiri dan tersampaikan. 

Seandainya masih terasa berat untuk meminta maaf dengan sekian banyak hambatan psikologis dan emosional. Satu fakta ini harusnya bisa membuat manusia membiasakan mengucapkan tiga kata ajaib, maaf, tolong, dan terima kasih. Iblis dan setan tidak akan pernah mau dan mampu mengucapnya dengan benar dan tulus.

Kami juga sedang berusaha memanusiakan diri sendiri, karena itu tulus ingin meminta maaf lewat tulisan ini sebelum mulai puasa Ramadan besok. Juga ingin memudahkan setengah langkah bagi yang merasa berat untuk meminta maaf, kami sudah memaafkan. Dan maaf kami ini, bukan kesempatan mengulang-ulang kesalahan yang sama, sebab ketika kami meminta dan memberi maaf, kami teruskan lagi kepada Yang Maha Pemaaf. Urusan pengulangan sudah bukan dengan kami lagi. Maaf.


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat