Kalimat ‘Haram Hadir Kecuali Dia’ yang Kami Pahami

Tidak ingat lagi kapan tepatnya mulai mengenal kalimat “Haram Hadir Kecuali Allah”. Barusan atau sudah lama, sama saja bagi yang masih hidup dan mau mengambil pelajaran. Pengetahuan dan pemahaman tidak selalu harus mengikuti garis waktu.



Kalimat ini lebih sering terdengar di majelis tarekat, diskusi para penikmat tasawuf dan para pejalan sunyi, atau di kajian para guru mursyid. Sungguh, awalnya kami menolak dan tidak sependapat. Terlalu ‘Wihdatul Wujud’ mirip ajaran Al Halaj dan Syekh Siti Djenar, yang rentan merusak akidah jika tidak dipahami dengan baik dan benar, terjebak menuhankan diri.

Belum lama pemahaman yang menautkan ‘haram hadir kecuali Allah’ dengan ‘Wihdatul Wujud’ terkoreksi, lalu mengurai kejadian-kejadian lama ke satu benang merah. Ternyata tidak serumit itu setelah mengalami sesuai porsi kecil kami. Alhamdulillah. Tanpa sadar, beberapa kali telah dan sedang mengalami kondisi ‘haram hadir kecuali Allah’, terutama sepuluh tahun terakhir.

Pada tahun 1995 kami mengikuti ajakan seorang kerabat yang sedang merintis Gerakan Tabligh di Makassar dan pulau Sulawesi. Ayahnya kepala kejaksaan negeri Kendari, pernah menangkap putranya sendiri dan kawan-kawannya saat sedang mengenalkan Gerakan Tabligh di kota Kendari. 

Ajakan ke sekian kali yang akhirnya mau kami ikuti. Kami sedang asyik-asyiknya kuliah di jurusan arsitektur, sementara kerabat kami sudah sarjana teknik elektro dari universitas yang sama. “Ada tamu dari India dan Pakistan yang pasti kau sukai. Satu kontraktor jembatan dan jalan, satunya lagi arsitek. Saya yang menemani mereka selama berada di Indonesia. Kalau kau mau ikut, silakan menyusul ke masjid Nurul Iman di Toddopuli, bawa persiapan menginap tiga hari.” 

Ajakannya kami iyakan, saat itu sedang gamang apa tetap menjadikan ilmu arsitektur dan konstruksi atau ilmu komputer sebagai jalan mencari uang. Ingin mendengar kisah mereka yang datang dari jauh. Kata kerabat kami tamunya telah membangun banyak jembatan dan bangunan di Pakistan dan India, tetapi meninggalkan begitu saja pekerjaannya saat tiba giliran mereka bertabligh. Ini ilmu manajemen canggih, perusahaan auto pilot yang bisa ditinggal pergi beberapa waktu, tidak banyak manajer yang bisa. Sore itu berangkatlah kami dengan seorang kawan ke masjid yang menjadi tempat tinggal mereka selama di Indonesia.

Setiba di sana masjidnya sudah kosong dan bersih. Hari ini tepat tiga malam empat hari mereka di sana, belum tahu pindah ke masjid mana. Kami berdua tertawa menyadari situasi yang sedang kami alami. Beberapa guru mursyid bisa kami temui dengan mudah, mengapa kali ini tidak? Walaupun syariat kami yang wajib-wajib belum beres, tidak pernah rasanya gagal bertemu orang-orang ‘unik’, bahkan banyak yang seolah sengaja dipertemukan. Seorang senior gerakan tabligh (sudah meninggal dunia) yang kehadirannya saja sanggup memberi keteduhan pada kami hampir-hampir seteduh sehabis tunaikan salat malam yang mendekati khusyuk, kami saling dipertemukan, tidak perlu saling mencari.

“Kita sedang berada di cakrawala berbeda dengan mereka yang ingin kita temui dan temani,” demikian kata kawanku. Sambil menunggu salat Asar berjamaah dimulai, kami berbincang di teras masjid. Sehabis salat di sana, mereka yang ingin kami temui dan temani selama berada di Makassar, kelupaan sesuatu di masjid Nurul Iman dan terpaksa kembali, kebetulan pas azan asar sekalian ikut salat berjemaah.

Kejadian kedua yang terurai lewat pemahaman baru pada kalimat ‘haram hadir kecuali Allah’ terjadi empat belas tahun kemudian. Tahun 2009 sedang di Makassar beristirahat dari kesibukan pekerjaan di kota Palu. Biasanya kami isi dengan mengunjungi toko buku, tibalah di Gramedia dan satu buku menarik perhatian kami. ‘Menjadi Kekasih Allah’ kumpulan kajian Syekh Abdul Qadir Djaelani yang dicatat oleh murid majelisnya. Saat akan membayar di kasir, uang tunai yang kami bawa tidak cukup, transferan tagihan dan upah belum masuk. 

Buku itu terpaksa mengalah disimpan dulu, utamakan buku tentang pekerjaan yang menjadi niat dan tujuan ke toko buku. Tidak lupa menyembunyikan buku itu di belakang buku-buku lain, berharap saat masih di Makassar sudah punya uang untuk menebus. Sampai kembali ke Palu belum bisa kami tebus. 

Sebulan kemudian saat ke Makassar lagi, langsung ke sana ingin membelinya, tetapi tidak ada di tempat persembunyiannya. Sudah dicarikan sampai ke gudang, buku itu habis di semua cabang. “Mungkin di toko buku yang menjual khusus buku-buku Islami, masih ada stok,” kata pegawai toko buku yang membantu mencarikan. “Terima kasih, nanti saja, mungkin belum diizinkan membacanya”.

Sehari sebelum kembali ke Palu setelah dua minggu di Makassar, sengaja jalan-jalan ke toko buku sebelum berangkat. Buku itu, sisa satu terpajang selepas pintu masuk, segera kutebus dan bawa pulang ke rumah. Rasanya tidak tamat-tamat membacanya, sehabis membuka dan membaca satu pokok bahasan, kemudian membacanya kembali di lain kesempatan, pelajaran dan hikmah yang bisa kami pungut selalu berbeda.

Beberapa hari yang lalu seorang sahabat menegur halus, agar menyelesaikan esai tentang kisah Chrisye dan lagu "Ketika Kaki dan Tangan Berkata", lirik dari penyair Taufiq Ismail, terinspirasi Surah Yasin ayat 65, dan kisah mimpi kami. “Ikhtiar dong selesaikan!” “Ndak bisa, bukan saya yang mengatur agar melihat cuplikan film dokumenter Chrisye dari mata istrinya yang tampil di beranda Youtube ponselku, yang kemudian mengalirkan esai yang belum selesai.” Tidak sadar kami juga menambahkan, “Haram hadir kecuali Dia, tidak ada ikhtiar saat sedang bertugas jadi printer.” Tepat setelah kalimat tersebut terkirim, pemahaman pada dua kejadian yang kami kisahkan di atas mulai terlihat dari perspektif berbeda.

Kegagalan menemui jemaah tabligh dari India dan Pakistan, karena ingin belajar ilmu manajemen konstruksi dan arsitektur berbeda niat dengan yang datang ke Makassar karena Allah. Setelah membetulkan niat sembari muhasabah dan termenung di teras masjid, kami kemudian dipertemukan. Meski kehilangan niat dan tujuan belajar ilmu manajemen konstruksi, tetapi diganti dengan pengalaman dari mereka tentang menata niat dan berserah diri.

Buku yang dua kali menghindar tidak bisa kami tebus pun demikian. Kali pertama kami berkunjung ke toko buku, memang berniat mencari buku-buku tentang jaringan komputer skala kota kecil. Kali kedua, kami datang dengan niat menjadi kekasih Allah sama seperti judul bukunya, juga tertolak. Kali ketiga, kami kembali dengan keberserahan diri mengakui ketidakpantasan, bahkan tidak berniat lagi mencari dan menebus buku itu.

Pemahaman terbaru terhadap kalimat ‘Haram hadir kecuali Allah’ masih terus mengurai apa yang pernah kami alami, sembari membuka apa yang sedang berlangsung dan akan kami alami. 

Mulai tidak heran mengapa ada doa di multazam, wirid jumlah tertentu, lantunan salawat dengan sokongan para ahli ibadah, sampai itung-itungan mudarat dan manfaat sampai berani mengambil jalan maksiat, tidak mampu menggeser takdir, tetap gagal mengubah hasil istikharah kami.

Serunya, kita semua bebas mengaku karena Allah, untuk Allah atau hanya Allah, sebelum pasti diluruskan dengan tidak menyisakan apa-apa, kecuali Allah Ta’ala.

Wallahualam.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat