Film "Losmen", Kenangan dan Masa Depan

Kemarin (akhirnya) menonton “Losmen” (2021) film layar lebar yang mengadaptasi serial televisi “Losmen Bu Broto” yang dulu tayang di TVRI pada tahun 80an. 

Dua hari lalu “Losmen” masih tayang di XXI MP dan XXI Nipah, kemarin sisa Nipah, sepertinya sebentar lagi turun. Buruan kalau belum nonton. 

Nonton pukul 18.30 Wita, awalnya cuma berempat di Studio 5, seorang di belakang (A8) juga sendirian, saya di B8. Di C8 dan C9 ada sepasang suami istri. Sekitar 5 menit tayang, menyusul 3 penonton lagi, total bertujuh di bioskop.

Datang tidak membawa ‘gelas kosong’, bukan membawa referensi kisah dan interpretasi serial televisi “Losmen Bu Broto” di TVRI. Namun, kenangan menonton nyaris tidak melewatkan satu episode "Losmen Bu Broto" dari 35 episode sehabis "Dunia Dalam Berita" di TVRI dari tahun 1986 sampai tahun 1989. 

Sehabis menonton “Dunia Dalam Berita” dengan Bapak, biasanya uni Iim segera memanggil bergabung dengannya dan Bapak di ruang tengah, “Main mi Losmen An!”. Kami selalu menontonnya bertiga.

Meski belum begitu paham dengan konflik berbeda-beda yang ditampilkan di setiap episode “Losmen Bu Broto”, kami menikmati menonton serial tersebut secara holistik, rumah dan atmosfer di luar kotak kaca televisi adalah bagian dari kisah “Losmen Bu Broto”. Kadang, tanpa dipanggil uni Iim, duduk manis menunggu “Dunia Dalam Berita” usai.

Bapak yang tak pernah habis rindunya pada kota Yogyakarta, sangat menikmati bahasa Jawa Kromo Inggil bahasa kesehariannya semasa kuliah di Yogyakarta, dan petikan ukulele pak Broto, orkes Keroncong yang jadi penutup setiap episode. 

Hampir semua kisah Bapak semasa kuliah di Yogyakarta, yang kuketahui, Bapak ceritakan saat menonton “Losmen Bu Broto”. 

Kami yang masih SMP kelas I ketika itu, belum paham mengapa Bapak bisa memiliki ruang rindu yang begitu besar setiap kali berkisah tentang Yogyakarta. Sesekali mata yang berbinar ketika bertutur nampak berkaca-kaca, bukan saat mengisahkan perjuangan membiayai kuliah menjadi penjahit di pasar Bering Harjo, ketika teringat mendiang kakaknya yang mengajak Bapak agar meninggalkan kampung, merantau dari Simabur Batusangkar melanjutkan kuliah ke Yogyakarta. I love you Pa.

Rindu milik Bapak, meski tidak akan bisa kusaingi, mulai kupahami setelah beberapa kali berkunjung ke Yogyakarta. Terakhir tahun 2019 lalu, sengaja pulang ke Jakarta dari Surabaya naik kereta api agar bisa mampir ke Yogyakarta, sayang, Maudy Ayunda yang ketika itu sedang shooting film Habibie-Ainun 3 hanya melintas, saat menikmati Gudeg di Malioboro.

Uni Iim lain lagi, sebagai perempuan tertua di keluarga kami dan sudah SMA, serius mendalami dan memahami konflik dalam tiap serial “Losmen Bu Broto”. Seolah sedang bersiap menerima peran dan tanggung jawabnya kelak dalam keluarga Minang, menjadi Ninik Mamak, tong besar yang akan mengolah dan mendaur ulang semua persoalan menjadi manfaat. 

Terkadang, terlalu mengantuk untuk menonton “Losmen bu Broto” sehabis main BMX seharian, tetapi kalau uni Iim yang memanggil, patuh juga. Bukan karena sudah menyadari perannya kelak sebagai Ninik Mamak kami 8 orang bersaudara, tetapi cubitannya karena bermain-main saat mengajar matematika dan bahasa Indonesia.

Film “Losmen” dimulai dengan apik, perlahan suasana dan nuansa Yogyakarta memenuhi ruang studio 5 XXI Nipah Mall, membayangkan seandainya bertiga dengan Bapak dan Uni Iim menonton “Losmen”. Ponakan yang kuajak ikut menonton filmnya Maudy melengos dan meledek, “Adek ndak percaya om Aan jatuh cinta sama Maudy.”

Alih-alih menikmati kembali kenangan saat menonton “Losmen Bu Broto” dengan Bapak dan Uni Iim. Pikiran dan perasaanku malah terbang ke masa depan. Ambyar, tidak bersisa melihat udel Maudy saat adegan sedang USG.

Penutup

Film “Losmen” dan serial “Losmen Bu Broto” keduanya menekankan pentingnya peran keluarga sebagai support system, lahir maupun batin untuk setiap anggotanya.

Rumah, baik bangunan maupun lembaga keluarga, adalah support system terbaik, tempat dan ekosistem di mana bibit pertama kali tumbuh dan mulai berakar. 

Rumah tidak hanya menyediakan garis kalibrasi hidup ketika kita mulai melampaui batas atas (ambisi, asa dan harapan) dan batas bawah (kekecewaan, konflik dan masalah), bagi seorang pejalan seperti kami, berkat rumah, ketika kehilangan tujuan atau kehilangan peta, selalu tahu harus pulang ke mana. 

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat