Catatan Acak Halaman 47

Alhamdulillah, masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan dan keburukan di masa lalu saat usiaku memasuki 47 tahun. Bersyukur mengambil keputusan tepat bulan lalu, memindahkan pikiran dan perasaanku ke cakrawala yang berbeda dengan ekosistem beracun nan manipulatif sampai dengan tanggal 19 Desember 2020, bermain-main dan mempermainkan hidupku sembari tetap menjaga wasiat mendiang ibu, mengambil pelajaran dan dijadikan pelajaran.

Belum genap sebulan, banyak hikmah baru yang bisa kupungut sekeluar dari sana. Beberapa diantaranya yang masih ingat dan bisa menjadi topik dalam draf 2021, dan semoga pembacanya kelak bisa mengambil hikmah yang sama, atau bahkan lebih. 

Poin-poin berikut bisa menjadi pokok-pokok tulisan:

#1. Termasuk ciri utama melakukan kebaikan atau sesuatu dengan niat Lillahi Ta'ala, ketika perbuatan baik tersebut hanya membutuhkan apa yang memang milik Allah Ta'ala yang sedang dititipkan untuk dimanfaatkan dan membuat hidup kita bermanfaat. 

Melakukan kebaikan dengan apa yang ada dan apa yang bisa sekarang hampir pasti semuanya gratis, tidak memerlukan biaya besar, kalau pun harus keluar ongkos di luar yang ada, maka ongkosnya diberikan Allah melalui jalan dan cara yang tidak terduga.  

Sebaiknya segera memeriksa dan meluruskan niat ketika sedang melakukan sesuatu yang rasa-rasanya Lillahi Ta'ala, tetapi untuk mewujudkannya sampai menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Kaum pejalan sunyi yang tampaknya sedang menyusahkan diri, bukan sedang kesusahan, mereka sedang diguyur cinta dari Tuhannya yang datang dalam wujud --yang gegabah kerap kita sebut, kadang sembari menghakimi, sebagai-- derita atau nestapa bahkan hukuman.

Nanti menulis terpisah kisah kesaksian, tentang seorang Ibu yang kehujanan dan kehabisan ongkos, dan kisah-kisah lain yang kami alami dan menjadi dasar kesimpulan ini.

#2. Berapa banyak kerusakan yang bisa diturunkan oleh satu kebohongan karena gengsi dan karena lain-lainnya? Tidak terhingga, dari akidah, perdukunan, mendekati zina dari berbagai dimensi, hingga rusaknya silaturrahim antar teman, sahabat, kerabat, dan keluarga. 

Berapa banyak sumber daya yang dibutuhkan untuk memperbaiki seluruh kerusakan dan menghentikan kebohongan? Cuma satu, kejujuran. 

#3. Cinta tidak pernah salah, tetapi manusia selain Baginda Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam tidak memiliki jaminan maksum dan suka mencintai-dicintai, adalah gudangnya kesalahan. 

Malaikat tidak pernah salah, iblis pernah salah dan tidak pernah mau mengakui dan belajar dari kesalahannya. 

Manusia bisa melebihi keduanya ketika dengan kodrat selalu melakukan kesalahan, mau mengakui dan memperbaiki dengan belajar dari kesalahannya.

#4. Bagaimana pun balasan dari sisi Allah selalu lebih baik dari balasan dari sisi manusia. Catatan kalau-kalau masih berharap 'balasan' dari sisi manusia setelah keluar dari ekosistem beracun manipulatif untuk akidahku sendiri dan orang banyak.

#5. Hati-hati ketika ingin menolong orang lain yang tidak meminta dan sebenarnya tidak butuh ditolong, siapa tahu orang yang ingin kita tolong sedang berada di posisi hanya berharap pertolongan dari Allah Ta'ala, sebaik-baiknya penolong melalui sabar dan salat.

Bisa saja Allah marah pada yang ingin menolong tanpa diminta dan menegurnya dengan memberikan godaan merasa mampu menjadi sebaik-baik penolong sebelum tergoda sendiri menjadi sok Tuhan. Wallahu'alam.

#6. Demi bangsa dan negara, demi cinta, demi ideologi, demi ras, demi golongan, demi status sosial dan reputasi, bahkan demi agama dan demi-demi yang lain, jika sengaja diadu dengan yang benar-benar demi Allah, maka semua 'demi' selain demi Allah tidak akan berdaya, bahkan musnah ketika mencapai cakrawala semua ciptaan haram hadir kecuali pencipta. 

Dulu heran mengapa masih begini-begini saja bangsaku yang mayoritas muslim dengan kekayaan spektrum pemahaman dan penafsiran terhadap agama Islam dan terhadap Allah sendiri, tetapi belum diikuti dengan kekayaan kebaikan akhlak terhadap diri sendiri dan orang lain, ternyata akidahku dan sebagaian komponen bangsa Indonesia masih ada demi-demitnya yang belum sampai berurat berakar di Lillahi Ta'ala.

Sekarang tidak heran, mengapa dahulu bangsa-bangsa di Nusantara tenang-tenang saja membangun negeri di atas wilayah kepulauan yang merupakan cincin api dengan banyak catatan terdahsyat di dunia, dari gempa, tsunami, hingga gunung meletus. Para arif bijak, agamawan, dan rohaniawan di masa itu telah mencapai posisi yang membuat alam mencintai mereka dan ikut mencintai apa yang mereka cintai, karena Allah mencintai mereka. 

Masih adakah orang-orang di Nusantara (bahkan di dunia) yang membuat Allah bersabda pada semesta langit dan bumi agar mencintainya, karena Allah cinta kepadanya. Andai masih ada, rasanya masih ada, yang tersembunyi dan yang dibuka oleh Allah Ta'ala sendiri. Di zaman yang menghargai keindahan kemasan dan dari apa yang terlihat atau tercitrakan, sementara Allah sendiri Maha Gaib, rasa-rasanya akan terseret-seret agar lebih mencintai demi-demi yang lain, yang masih turunan Lillahi Ta'ala, tetapi hanya mengambil bagian yang enak-enaknya saja dari niat berbuat sesuatu demi Allah Ta'ala.

Cinta yang berakar ke Lillahi Ta'ala tidak akan mengabaikan apa-apa yang bisa membuat dirinya dan apa yang ia cintai terjerumus kedurhakaan pada Allah karena dorongan memiliki wujud kecintaan, dengan kehilangan nilai-nilai kebaikan dan ketuhanan yang tersembunyi dalam cinta. Wallahu'alam.

#7. Manusia tidak akan pernah memiliki segalanya, selalu ada yang tidak boleh ia miliki. Naifnya, kita kerap menderita karena masih juga ingin memiliki yang bukan buat kita, memilih menyiksa diri dan orang lain ketimbang bersabar dan bersyukur untuk semua yang telah dimiliki. Seisi surga milik kita, Adam dan Hawa hanya dilarang melakukan satu hal. 

Kesalahan ini bisa diperbaiki dengan menyadari hal mendasar, sebagai ciptaan cuma punya hak guna pakai, tidak ada yang hak milik kecuali pada pencipta, semua memang milik Tuhan termasuk kebebasan untuk memilih dan merasa memiliki. 

Kemudian membenahi pemahaman terhadap kepemilikan yang dulu kutandai termasuk ciri belum lurusnya akidahku, memiliki berarti memiliki wujud, baik berupa orang, jabatan, maqam, pengakuan dan bendanya. Ternyata 'hanya' memiliki spirit mencintai tanpa syahwat kepemilikan terhadap wujud kecintaan memberikan nuansa kebahagiaan tersendiri. Seolah bertemu keadaan yang membuat paham, mengapa mustahil memastikan cinta Allah hanya untuk diri sendiri atau hanya untuk umat tertentu, tetapi rasanya tidak mustahil kalau berkeyakinan sedang berusaha mencintai Allah yang Maha Gaib melalui seluruh ciptaan-Nya yang berwujud tanpa rasa memiliki. Wallahu'alam..

#8. Kebenaran tidak butuh pembenaran, jika butuh maka belum kebenaran yang utuh, masih bercampur dengan proyeksi kepentingan pribadi terhadap kebenaran.

#9. Kemarin khawatir kalau tidak menikah, kali ini tenang-tenang saja kalau ditakdirkan meninggal dunia dalam keadaan lajang. Allah Maha Tahu, Maha Adil dan Al-Hakim, teramat jauh melebihi kemampuanku berhitung antara melaksanakan perintah segerakan menikah (yang tidak dimudahkan dengan dalih demi-demi) atau mematuhi wasiat mendiang ibuku. Tidak menikah bukan karena tidak berikhtiar atau tidak ingin menikah, juga bukan karena memaksakan kehendak harus menikah dengan siapa. "Semua perempuan boleh asal kalian berdua dan keluarga masing-masing mau, kecuali yang tidak Ibu restui, demi kebaikan kalian berdua dan orang banyak." Kurang lebih demikian wasiat ibu. 

Tidak ada lagi kekhawatiran akan mendajjal karena tidak menikah, setelah mulai mengenal perilaku dan karakter dajjal dari sesama manusia dan diri sendiri, dengan pola khasnya berupa punishment and reward, 'mengkloning' Tuhan dalam membimbing manusia yang masih bermental budak dan pedagang, bukan karena ingin mendidik, tetapi untuk menguasai, surga bila patuh dan neraka bila membangkang. 

#10. Kemarin takut kehilangan sesuatu atau seseorang yang kuanggap segalanya, sekarang silakan saja semuanya menghilang atau dihilangkan, ketimbang Allah menghilang dari hatiku. 

Dulu kebahagiaanku banyak ditentukan oleh orang lain dan benda lain, kini lebih banyak bergantung pada-Nya untuk jenis kebahagiaan khusus, sementara kebahagiaan sehari-hari bisa kutemukan dari mana saja tanpa mengharuskan orang lain atau benda lain menjadi sumber kebahagiaanku, yang bisa sekali saya malah jadi sumber derita mereka.

#11. Membantu menghentikan keburukan orang yang tidak ingin ditolong atau orang yang merasa lebih baik dan tidak sedang berbuat keburukan, lebih terhormat, lebih tahu dan lebih pandai dari yang ingin menolong, masih dimungkinkan tanpa mencederai nilai-nilai yang menjadi pegangan orang tersebut. Ketika keburukan tersebut diturunkan oleh orang lain dalam berbagai bentuk, wujud, walau diyakini sebagai niat baik atau pertolongan, harus berhenti ketika tiba di diri kita, tidak membalas keburukan dengan keburukan, sembari memohonkan bimbingan Tuhan untuknya dan diri sendiri. 

Terkadang Allah menguji kita melalui manusia lain, terkadang Allah memaksa kita menjadi penguji bagi manusia lain. Keduanya posisi yang semoga sama baik, hanya jika sedang menjadi petugas Allah Ta'ala, bukan petugas syahwat sendiri dan orang lain. Wallahu'alam.

***

Tidak ingin perasaan lain mendominasi diriku hari ini, kecuali hanya rasa syukur kepada-Nya. Alhamdulillah. Wallahu;alam..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat