Semoga Tahun Depan, Bukan Tahun 2020 seri II

 

Pelaut di Pelabuhan Paotere Makassar 2013

Rasanya baru kemarin melayat ke rumah kawan SMA di Makassar yang berpulang tanggal 3 Februari 2020 karena komplikasi jantung koroner dan asam lambung, tahu-tahu sudah di penghujung tahun 2020, bulan Desember. Satu dari beberapa tanda akhir zaman, waktu berlalu begitu saja tanpa terasa.

Akhir zaman dalam sudut pandang orang beragama (Islam) maupun dalam konteks ilmiah yang disebut sebagai kepunahan massal, kedua perspektif tersebut sedang sepakat dengan indikatornya masing-masing, kita sedang menuju ke sana dan upaya ilmuwan maupun agamawan untuk mencegah (lebih tepat menunda lebih lama, karena yang memiliki awal pasti berakhir) belum menampakkan dampak signifikan. Pandemi COVID-19 hanya meredam sejenak kerusakan alam di laut, darat, dan udara.

Sebagai seseorang yang beragama Islam, setidaknya bisa bersyukur masih ada waktu segera bertobat, mumpung belum semua pertanda telah terjadi, dan sebagai manusia yang menjadikan cara berpikir ilmiah sebagai dasar berhitung dengan hukum alam, setidaknya kenaikan suhu permukaan bumi sebesar 1,5 derajat Celsius tidak serta merta menenggelamkan pesisir pantai sekian meter di semua benua. Mungkin butuh waktu 20 atau mungkin 200 tahun lagi jika upaya merestorasi penyebab pemanasan global berhasil membendung.

Tidak ada godaan baru, yang membuat kita yang beragama dan menuhankan Tuhan dengan para kapitalis yang menuhankan pertumbuhan ekonomi saling berkolaborasi mempercepat datangnya kepunahan massal ke enam. Masih sama-sama godaan uang. 

Berdasarkan kisah-kisah di Al Quran tentang bala dan musibah yang memusnahkan suatu kaum, suatu negeri hingga suatu bangsa selalu karena kerusakan akidah yang membuat kedua tangannya berbuat kerusakan di muka bumi, tetapi merasa yakin sedang berbuat perbaikan. 

Puncak godaan untuk umat akhir zaman juga tentang akidah, berupa keinginan menuhankan yang bukan Tuhan dan rasa takut jika tetap menuhankan Allah Ta'ala, karena kemampuan tuhan-tuhan palsu menawarkan surga di dunia bila mengikuti kehendaknya dan neraka dunia bila membangkang dan tidak patuh. 

Sebenarnya umat Islam tidak perlu terlalu khawatir dengan fitnah akhir zaman, Allah Ta'ala sudah memberi jalan keluar dalam Al Quran, di surah Al-Fajr ayat 27-30, yang mengisyaratkan ada nikmat yang melampaui kenikmatan surga bahkan menjadikan surga bagian dari imbalan bagi mereka yang diundang khusus Allah Ta'ala untuk kembali pada-Nya.

"Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabb-Mu dengan hati yang puas lagi diridai-Nya. Kemudian masuklah ke dalam (jamaah) hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku".

Jiwa-jiwa yang tenang tidak akan bergeming karena ancaman neraka jika tidak patuh atau gagal ujian, juga tidak mengidam-idamkan surga jika ia patuh atau lulus ujian, bagi mereka tidak ada harga yang bisa membayar ketenangan jiwa dan hati yang puas dengan apa pun ketetapan Tuhan yang berlaku atas diri mereka, kecuali berkumpul kembali dengan Allah Ta'ala yang telah memberikan karunia jiwa yang ridha dan diridai-Nya.

Bagian tersulitnya, bagaimana memiliki jiwa yang tenang lagi puas dengan setiap ketetapan-Nya, jika hal tersebut bukan sesuatu yang seratus persen hasil kerja keras sendiri, ada faktor 'suka-suka' Tuhan, siapa yang ingin Dia karuniai dengan hati yang mampu merasa cukup. 

Kembali bersyukur, Baginda Nabi Muhammad Salallahu 'alaihi wasalam sudah memberi petunjuk bagaimana agar pantas dikaruniai jiwa yang tenang dan hati yang mengenal cukup (puas), segala amal perbuatan tergantung niatnya. Mereka yang berniat karena Allah ikut hijrah ke Madinah bertemu dengan ridha Allah, yang niatnya ingin memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga juga akan mencapai niatnya.

Berdasarkan hadis tersebut, maka umat Islam dan kalangan ilmiah bertemu di satu titik yang sama dalam menghadapi akhir zaman atau kepunahan massal yang ke enam, yaitu niat, yang keduanya sedang menghadapi godaan uang yang hampir bisa membeli segalanya, kecuali ketetapan Tuhan.

Sebagai muslim, tidak ingin zaman berakhir (walau pasti) karena merasa belum memiliki jiwa yang tenang dan hati yang puas, sedapat mungkin sempat mencicipi ketenangan jiwa sebelum akhir zaman tiba, dan semoga keberhasilan meraih hal tersebut termasuk hal yang melengkapi sebab akhir zaman pantas ditunda. Sebagai manusia, saya merasa bersalah jika mewariskan bumi yang rusak dan tidak layak huni untuk generasi manusia dan makhluk lain berikutnya tanpa melakukan upaya perbaikan.

Alur karsa manusia dalam mewujudkan banyak hal, dimulai dengan niat, lalu diucapkan, kadang ada yang menambahkan visualisasi konkret, kemudian aksi atau cara, lalu tiba di tujuan yang menelanjangi niat kita sesungguhnya. Meluruskan niat sebelum hasil akhir menutup kesempatan mengoreksi niat sebenarnya tidak terlalu sulit, asal mau jujur pada diri sendiri. Bahkan niat buruk atau yang belum lurus pun bisa dibetulkan di tengah jalan selama masih mampu jujur. 

Misalnya saya salat karena niat yang lafaznya 'Lillahi Ta'ala', konkretnya karena ingin berkeluh kesah pada Allah sebagai bentuk menuhankan Allah Ta'ala sebaik-baiknya tempat mengadu. Kalau usai salat, jiwa dan hatiku tidak menjadi lebih tenang, maka niatku salat belum karena benar-benar ingin mengadu pada Allah. Mungkin saja niatku berganti saat masuk ke masjid sempat melirik ke perempuan cantik di barisan belakang, atau ketika berkeluh kesah dalam lafaz 'Ihdinas siratal mustakim' tidak sadar telah berlaku congkak kehilangan kemampuan berbaik sangka dan mulai mendikte Tuhan, mestinya jalan yang lurus itu tidak ada pandemi COVID-19, jadi susunan rencana untuk menyusul perempuan yang ingin kunikahi berjalan sebagaimana harusnya, mestinya dia mampu bertahan dari godaan kesepakatan, mestinya restu-Mu yang mengikuti restu Ibu lebih dari cukup sebagai alasan bagi orang lain memudahkan ikhtiarku mengubah status lajang dengan menciptakan berbagai alasan yang seolah lebih besar dari ridha-Mu, dan banyak lagi kemungkinan pembengkokan niat lainnya yang masih bisa kita periksa dan perbaiki asal mau jujur pada diri sendiri.

Kalau merasa sedang melakukan sesuatu 'demi cinta' lebih mudah lagi memeriksa dan meluruskannya. Bagaimana menggambarkan cinta, kisah yang kubaca kemarin di tab eksplor Instagram, mungkin bisa memberi gambaran yang lebih baik.

Suatu hari Habib Umar terkejut ketika ada jamaah yang menemuinya sehabis ceramah bukan untuk meminta ijazah dan amalan, jemaah tersebut meminta diberi tahu bagaimana caranya agar ia dicintai Allah Ta'ala. Tercengang dengan pertanyaan yang tak biasa, Habib Umar balik bertanya, "Mengapa engkau ingin dicintai Tuhan?" "Begini Bib, aku dan istriku baru saja dikarunia Allah seorang bayi. Begitu cintanya kami kepada bayi kami, sekalipun ia buang air besar, buang air kecil, membangunkan kami tengah malam, kami dengan suka cita tetap mengurus kebutuhannya. Andai aku bisa dicintai serupa orang tua mencintai bayinya, maka jiwaku akan tenang dan hatiku mengenal cukup." Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Habib Umar yang kagum dengan hikmah yang diperoleh jemaahnya melalu bayi yang sedang ia besarkan sebenarnya sudah menunjukkan cinta Tuhan kepadanya.

Dari kisah tersebut, jelas tergambar ketika seseorang berniat 'Demi Cinta', maka ia akan melakukan segalanya agar kecintaannya bahagia, tidak sedih, tidak marah, dan tidak menderita karena cintanya, walau tidak berbalas serupa dengan cinta yang telah ia curahkan. Kotoran, senyum manis, tangisan yang memekakkan telinga, terasa sama indahnya.

Cinta adalah harapan terakhir umat manusia jika benar-benar ingin memanusiakan dirinya dan orang lain. Tidak seperti agama, hukum, kekuasaan, kekayaan, yang masih menyediakan 'kemewahan' untuk orang tertentu, bisa karena nasab, warisan harta, ilmu pengetahuan, jejaring kekerabatan dan kepentingan, dan lain-lain. Dalam cinta yang murni tidak ada 'kemewahan' berupa 'orang dalam' atau 'pintu belakang' yang bisa menjamin cinta kita akan berakhir seperti yang diharapkan. Hanya orang-orang tertentu yang dipilih untuk mengalami ketidakberdayaan mengatur akhir kisah cintanya tanpa merasa dan menganggapnya sebagai kelemahan, kekalahan dan kekurangan dari orang lain yang kisah cintanya sesuai harapan. Cinta tidak pernah salah karena hasilnya selalu membuat sang pencinta menjadi lebih baik, meski tidak berjodoh.

Begitu pula dengan niat-niat para politikus, penguasa, agamawan dan siapa saja yang ingin memeriksa kemudian meluruskan niatnya. Cukup dengan menyinkronkan kata setelah 'Demi ...' dengan kenyataan menjadi apa '...' tersebut. 

Misalnya, ada yang mengumbar niat baik, ini demi Indonesia, kita bisa membantunya meluruskan niat dengan membuka data dan fakta sejak ia berniat 'Demi Indonesia' ternyata Indonesia malah ditimpa musibah korupsi, alam gonjang-ganjing, dan hal-hal buruk lainnya, hampir bisa dipastikan Indonesia sendiri tidak mengakui bahkan membantah niatnya. Atau jika ada yang berniat 'Demi Umat' tetapi akidah umat malah bengkok yang terlihat dari merosotnya akhlak terhadap diri sendiri dan orang lain, umat semakin menjadi pembawa 'musibah' ketimbang membawa 'kasih sayang' bagi alam semesta, maka niat 'Demi Umat' jelas perlu dibetulkan.

Ada satu prinsip yang di kalangan ilmuwan yang tidak semuanya ateis dan sedang berusaha keras mencegah kepunahan massal ke enam, "Tuhan Maha Pengampun, tetapi tidak dengan alam semesta". Prinsip yang seharusnya juga menjadi pegangan umat beragama.

Saya tidak meragukan sedikit pun sifat Maha Pengampun Allah Ta'ala, yang saya khawatirkan bila kita menganggap pengampunan dosa dari-Nya sekaligus menghapuskan konsekuensi. Karena percaya dan sudah mengalami sendiri, dengan menutup aib orang lain di depan umum, dan hanya dibuka di tempat pribadi itu pun bila hanya berdua dengan yang bersangkutan dan yang bersangkutan memang meminta masukan, tidak keberatan dan kita mampu memilih kata yang tidak membuatnya tersinggung, maka aib sendiri juga akan ditutup Tuhan dengan catatan tidak mengulanginya sendiri setelah Tuhan menutupnya, sepulang dari Jakarta dan selama hampir sepuluh bulan di Makassar, saya benar-benar menyadari Tuhan memang Maha Pengampun, tetapi tidak serta merta ampunan-Nya membatalkan sunatullah hukum alam yang berdasarkan hukum sebab-akibat, aksi-reaksi, dan konsekuensi yang dengan hukum tersebut alam semesta mampu bertahan dengan mencapai keseimbangan-keseimbangan baru.

**jeda tarik nafas**

Tidak ada untungnya menyimpan kebencian dan tidak ada ruginya memaafkan. Andai dengan memaafkan sudah bisa menghentikan konsekuensi, mungkin pikiran dan niatku tidak akan cukup kuat untuk membuat jari-jari menulis ini semua. Kalau sudah berhadapan dengan konsekuensi pikiran, ucapan, dan perbuatan masing-masing, saya cuma mampu mengurus konsekuensi yang kutimbulkan dan memaafkan, selain itu di luar jangkauanku. 

Silakan tetap bekerja sesuai niat sambil berusaha menjaga dan meluruskan, sesuai keyakinan, kontrak, bayaran, dan kesepakatan masing-masing, sembari memohon ampunan pasti lebih baik, dan bersiap menghadapi konsekuensi yang merupakan bagian dari sunatullah.

Tahun 2021 sebentar lagi, sayang dan amat merugi rasanya jika hanya berisi tumpukan konsekuensi buruk dari pikiran, ucapan dan tindakan yang juga buruk dari tahun 2020. Masih ada beberapa hari sebelum tahun berganti, semoga sempat membuat sesuatu yang mendatangkan konsekuensi baik di tahun depan. 

Biasanya konsekuensi baik dan buruk tidak matematis perbandingannya dengan pikiran, ucapan dan tindakan yang memicu. Berniat melakukan keburukan belum terhitung dosa sampai dilaksanakan, berniat baik walau batal dilaksanakan tetap dihitung sebagai satu kebaikan. Bersedekah makan malam untuk gelandangan yang tertidur kelaparan di trotoar dan emperan toko, mengundang konsekuensi baik yang nyaris tidak terhingga. Pertama untuk yang bersedekah itu sendiri berupa kebahagiaan sehabis berbuat baik, kemudian untuk wali kota, camat, lurah, rw, rt, hingga pemilik emperan toko tempat gelandangan menumpang tidur tertolong dari konsekuensi gagal melaksanakan tanggung jawab seorang pemimpin memastikan dirinya tidak tidur nyenyak selama masih ada warga atau rakyatnya yang kelaparan. Gelandangan yang kenyang membatalkan niat mencuri kaca spion mobil yang diparkir di jalanan, dan keesokan harinya memberi tahu kawan-kawannya masih ada orang baik di bumi, Tuhan tidak ingkar janji semua makhluk hidup sudah dijamin rezekinya. 

Jika konsekuensi baik tersebut akhirnya mencapai Tuhan, maka kerugian, kekalahan, rasa berdosa, derita dan nestapa sepilu apa pun, tak ada artinya lagi untuk jiwa yang dibolehkan mencicipi ketenangan dan rasa cukup sebagai konsekuensi dari perbuatan baik yang tulus, ikhlas tanpa pamrih, dan jujur.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat