Seperti Kemerdekaan, Kebahagiaan Pun Bisa Dipasung


anak ayam warna-warni
"Jual-beli (kemerdekaan) anak ayam di depan sebuah sekolah, Makassar 2014"

Tulisan pertama dari beberapa seri bertema #kemerdekaan dan #17an.


Tambahan Referensi, arti 'merdeka' menurut KBBI):



Agar tidak terjebak euforia absolutisitas semu ‘kebahagiaan dan kemerdekaan’, selain menyarankan referensi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) baik kalau pernah membaca buku “The Black Swan”, tulisan ekonom Nassim Nicholas Thayeb, yang menurutku berhasil memenangkan gugatan intelektual atas “White Swan” yang selama beberapa dekade, putih diyakini sebagai satu-satunya warna bulu angsa sampai ditemukan angsa berbulu hitam di Australia. 

Muslim yang sering membaca surah ‘Al Ikhlas’ dan memahami nuansa ketauhidan di sana, rasanya tidak perlu membaca ‘The Black Swan’ jika hanya untuk memahami ketidak-absolut-an dunia. 

Penegasan bahwa Allah Ta’ala tidak dapat diserupai dan menyerupai apa pun, juga menekankan selain Tuhan semuanya tidak absolut. Mesti berpasang-pasangan, selalu ada yang menyeimbangi apa pun yang kita yakini absolut. Dalam dimensi ciptaan semua memiliki padanan, bahkan keyakinan terhadap absolutisitas Tuhan pun mendapat pasangan berupa ketidakyakinan. 

Tidak absolutnya segala hal dalam dimensi ciptaan adalah kunci mengapa inovasi dan perubahan lestari berlangsung di muka bumi, mengapa meminum air laut tidak pernah bisa menuntaskan dahaga. Setiap jawaban menimbulkan pertanyaan baru, setiap pengetahuan melahirkan ketidaktahuan baru. Setiap keyakinan akan menemui keraguan.

Tulisan ini tidak (lagi) bertujuan menemukan kemerdekaan dan kebahagiaan absolut. Hanya berbagi pengalaman yang pasti tidak akan tuntas karena berlangsung di dimensi yang tidak absolut, berbagi pengetahuan yang tumbuh setelah mengakui kebodohan dan ketidaktahuan, mencicipi kemerdekaan setelah menjadikan penjara bagian dari diri sendiri, mulai mengenal kebahagiaan setelah menerima penderitaan sebagai sumber dan bagian tidak terpisahkan dari kebahagiaan. 

Kita hidup di dunia indikator, algoritma (cabang ilmu matematika) makin menegaskan hal yang tadinya absurd dan abstrak, kini terukur dan berindikasi. Algoritma memungkinkan lahirnya kecerdasan artifisial, buatan di dunia buatan oleh buatan. 

Berapa lapis kepalsuan yang dibutuhkan sebelum mengenal kesejatian? 

Kalimat terakhir di atas terinspirasi lirik lagu Bob Dylan “Blowin In The Win”, “How many roads must a man walk down, before you call him a man? How many seas must a white dove sail, before she sleeps in the sand? Yes, 'n' how many times must the cannon balls fly, before they're forever banned? The answer, my friend, is blowin' in the wind.” 

Piramida hierarki kebutuhan hidup manusia layak menjadi standar indikator apa saja yang harus manusia miliki agar hidup bahagia. Meskipun puncak piramida Maslow bukan lagi tentang kebutuhan mendasar penunjang kehidupan, aktualisasi diri lebih banyak tentang keinginan dan kesombongan. Sebab tanpa pengakuan diri sendiri dan orang lain, manusia tetap bisa bahagia dan membahagiakan, setelah maupun sebelum kebutuhan mendasarnya terpenuhi, selama tidak terjebak atau sengaja menjebak diri mengejar indikasi kebahagiaan hidup. 

Orang-orang yang berhasil mencapai puncak-puncak aktualisasi diri adalah orang-orang sombong yang sedang tersiksa dengan kesombongannya sendiri, dan sedang kesulitan saat ingin kembali rendah hati. Ini bukan tuduhan umum, tetapi pengakuan setelah memuncaki banyak puncak aktualisasi diri, meski bukan puncak kesuksesan duniawi yang membuat beberapa sahabat dan kawan dekat enggan menghadiri reuni sekolah, tetapi kadar 'kalau aku' yang sombong sama besar, antara yang aktual lewat karya, perbuatan baik, pertolongan, prestasi, harta, karier, popularitas, bahkan garis keturunan. Jika belum pernah di sana, mana mampu menolak paksaan dan godaan dari diri sendiri dan orang lain agar kembali memuncaki puncak lain dari gunung aktualisasi diri? 

Meruntuhkan kesombongan ternyata tidak begitu sulit, asal mau jujur pada diri sendiri. Puncak-puncak yang pernah kita raih mesti memiliki titik kritis, antara berhasil ke puncak atau malah gagal. Bukalah kembali, di sana semua pemuncak gunung aktualisasi diri terlihat tidak berdaya dan putus asa sebelum ada saja sebab yang menolongnya. Mungkin sedang lupa sampai berani mengaku 'kalau bukan aku'.

Berhasil mengatasi kesombongan diri, belum tentu berhasil menghadapi kesombongan orang lain. Penolakan memuncaki puncak lain dari aktualisasi diri akan dianggap kesombongan oleh sebagian orang, minimal mengusik kemapanan mereka yang lebih dulu berada di sana, padahal saya cuma mau mampir loh. Mengatasi kesombongan orang lain juga tidak begitu sulit, sama saja rumusnya dengan mengatasi kesombongan diri sendiri. Bukan aku, tetapi DIA, bukan ana, tetapi HUWA.

Ambisi, persistensi, ketekunan dan kerja keras tidak pernah gagal meraih (semua) indikator kebahagiaan hidup di dunia, meskipun perjalanan mengejar dan meraih semua indikator kebahagiaan hidup bukan perjalanan yang menyenangkan, tetap banyak yang ingin mencapainya hingga menjadikannya tujuan hidup. 

Terjajah ‘ingin bahagia’ tahapan yang harus dilalui dan memang penuh derita. Tanpa penderitaan bagaimana bisa berbahagia dan membahagiakan. 

Ingin bahagia atau pun ingin merdeka, ingin beriman dan banyak lagi ingin, semua penjara keinginan yang mengurung dengan jeruji putus asa, tertekan, dan kesendirian. Beberapa orang beruntung menemui kegagalan yang dibawa sendiri oleh takdir Tuhan. Berkesempatan mencicipi kebahagiaan sejati, setelah perjuangan menimbun diri dengan berlapis-lapis kebahagiaan semu dipaksa Tuhan berakhir.

Jadi sebelum melanjutkan ke seri #kemerdekaan dan #17an berikutnya, tulisan ini tidak akan menginspirasi bagaimana meraih puncak-puncak aktualisasi diri di dunia semasa hidup. Bukan berbagi pengalaman bagaimana meraih indikator sebagai manusia bahagia atau manusia merdeka, juga bukan untuk membangun nasab baru yang penuh kemuliaan di mata manusia. Seri tulisan ini justru ingin berbagi pengalaman membebaskan diri dari aneka keinginan meraih definisi dan indikator, mengenal kebahagiaan dan kemerdekaan tak berdefinisi.

belum selesai..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat