Tidak Ada Pembenaran Mendurhakai Ibu

Kromosom X atau kromosom Y dalam benih seorang Bapak memang yang menentukan apakah janin anaknya kelak lelaki atau perempuan. Kemudian Ibu yang menyabung nyawa sembilan bulan, berbagi semua sumber daya tubuhnya, selama beberapa waktu, denyut jantung Ibu menjaga jantung janin tetap berdetak, udara yang ia hirup menghidupi sang janin.

Sembilan bulan dengan beraneka rupa kesakitan, seorang Ibu masih harus mengalami puncak rasa sakit fisik yang pernah dikenal manusia di bumi saat melahirkan. Itu pun masih ditambah dengan puncak-puncak kesakitan batin dan perasaan saat membesarkan dan mendidik anak.

Wajar kalau Baginda Nabi Muhammad Salallahualaihiwassalam mengharuskan seorang Bapak menunggu anaknya menuntaskan tiga lapis keutamaan mengabdi kepada sosok Ibu, sebelum ketiban giliran.

Seharusnya semua Ibu dan manusia paham mengapa seorang anak wajib menolak mengabaikan wasiat mendiang ibunya.

Seharusnya semua pembenaran yang menurut logika lebih besar dari bakti anak kepada ibu, tidak lagi menjadi pembenaran. Sedemikian banyak akibat yang timbul setelah berulang kali membenturkan antara merasa berhak dan benar dengan aturan dan ketetapan Al Haq.

Kematian kedua orang tua tidak menggugurkan kewajiban seorang anak berbakti dan mewujudkan wasiatnya.

Abu Usaid Malik bin Rabiah berkata: Ketika kami berada bersama Nabi Muhammad tiba-tiba datang seorang laki-laki dari Bani Salamah. Ia bertanya: "Wahai Rasulullah, masih adakah bakti saya untuk kedua orang tua saya setelah keduanya wafat?"

 ﻗَﺎﻝَ: «ﻧَﻌَﻢْ، اﻟﺼَّﻼَﺓُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ، ﻭَاﻻِﺳْﺘِﻐْﻔَﺎﺭُ ﻟَﻬُﻤَﺎ، ﻭَﺇِﻳﻔَﺎءٌ ﺑِﻌُﻬُﻮﺩِﻫِﻤَﺎ ﻣِﻦْ ﺑَﻌْﺪِ ﻣﻮﺗﻬﻤﺎ، ﻭَﺇِﻛْﺮَاﻡُ ﺻَﺪِﻳﻘِﻬِﻤَﺎ، ﻭَﺻِﻠَﺔُ اﻟﺮَّﺣِﻢِ اﻟَّﺘِﻲ ﻻَ ﺗُﻮﺻَﻞُ ﺇِﻻَّ ﺑِﻬِﻤَﺎ»

Nabi menjawab: "Ya, ada. (1) Mendoakan dan meminta ampunan untuknya (2) mewujudkan wasiatnya (3) memuliakan teman-teman orang tua, dan (4) menjaga silaturahim dengan keluarga orang tua".

(HR Ahmad no 16059, Bukhari dalam Adab Mufrad no 35, Ibnu Majah no 3664, Abu Dawud no 5142, Ibnu Hibban no 412, Baihaqi 6893, dan Hakim 7260, ia menilai sahih dan disetujui Adz-Dzahabi).

***

Ibu berpulang tahun 2017, hari Senin tanggal 3 April, selepas Asar di tanah kelahirannya, di Tanah Datar, Sumatera Barat. Sesuai dengan harapannya, dimakamkan bersampingan dengan mendiang nenek, setelah seorang putranya lebih dulu menemani mendiang kakek, keduanya dimakamkan berdampingan di Makassar tahun 1994, tanah kelahiran anak-anaknya, tanah rantau ibu dan bapak.

Semasa hidupnya, tidak banyak senyum kebahagiaan yang berhasil kami torehkan di wajahnya.

Beberapa harapannya padaku berhasil terpenuhi, termasuk ketika mengiyakan menemani pulang kampung. Memang membuatnya tersenyum, walau pun gagal menjadi teman menghabiskan masa tua yang baik, karena selama menemani mendiang, kami lebih banyak berbincang, berdiskusi, hingga berdebat tentang hidup. Sesuatu yang lama tak kami lakukan setelah beberapa tahun meninggalkan Makassar, bekerja di kota lain. Sungguh, sehebat apa pun pengetahuan hidup seorang anak tidak akan pernah benar ketika berhadapan dengan pengalaman hidup ibunya sendiri. Mana bisa melawan debat Ibu yang merantau ikut suaminya hanya membawa satu koper besar dari kampung mengolah hidup.

Semasa kesehatannya mulai melemah, sebesar apa pun cinta seorang anak pada ibunya, ia harus menyisakan ruang bagi suami kecintaan ibunya yang juga ingin merawat kekasihnya. Semoga mampu meniru kesabaran bapak. *Sehat selalu Pa, semoga sempat melihatku menikah.

Harapannya agar aku menikah semasa hidupnya gagal kami penuhi. Bukan menolak keinginannya, lebih banyak tentang takdir yang akhirnya kami sadari bersama. Ada saja sebab yang menggagalkan memenuhi harapan kami sendiri yang juga harapan mendiang Ibu. Tiga tahun berturut-turut sekitar enam bulan meninggalkan ibu dan bapak di kampung, berikhtiar mengubah status lajang di Jakarta.

Kegagalan yang akhirnya ibu akui sebab utamanya karena ketiadaan restu darinya. Tidak ada penjelasan mengapa, kecuali restu Tuhan tergantung restu ibu.

Senyum terakhirnya mengembang ketika harapannya agar kami yang mendampingi, dan bersama-sama melafazkan kalimat Tauhid terpenuhi sehabis Asar, setelah sebelumnya di waktu subuh meminta agar membasuh tubuhnya.

Bagi kerabat, kawan, dan sahabat yang mengenal mendiang ibuku secara pribadi, mesti tahu karakter mendiang saat memegang keputusan, jika belum tahu kebiasaan mendiang sebelum mengambil keputusan-keputusan penting, untuk dirinya atau untuk seluruh anggota keluarganya, mendiang bolak-balik salat tahajud agar keputusannya juga keputusan-Nya.

Bagi yang baru tahu sekarang, tulisan ini bukan ingin menyurutkan keinginan mencari celah pembenaran di antara kewajiban seorang anak mematuhi perintah ibunya, surut atau terus maju sama saja bagi kami.

Bukan saja karena kami tidak mampu melawan, tetapi wilayah yang menjadi arena permainan atau sebut saja perjuangan demi kepentingan yang konon lebih besar dari bakti anak kepada ibunya, adalah wilayah Allah Ta'ala yang berupa apa pun bentuk pelajaran-Nya selalu mengandung hikmah dan kebaikan.

Masih ada dua tugas lagi, "(3) memuliakan teman-teman orang tua, dan (4) menjaga silaturahim dengan keluarga orang tua." yang seharusnya tetap tunai dengan menjaga wasiat mendiang.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat