Selamat Jalan Mas Didi Kempot



Sebagai generasi yang mengalami gerakan Reformasi '98, secara materi dan psikis, lagu 'Stasiun Balapan' yang populer setahun kemudian (1999) ikut menemani momentum 'move-on', termasuk merelakan laba mengerjakan proyek konstruksi rumah mesin di pulau Barra Caddi habis untuk menutupi kenaikan harga material dan jasa berlipat-lipat dari 50% sampai 200% akibat inflasi dan nilai tukar rupiah yang keok. Pasal 'keadaan darurat' dalam kontrak dengan pemilik proyek hanya mencakup kejadian alam luar biasa.

Awal tahun 1999 rumah mesin selesai meski harus akrobat, Alhamdulillah, diresmikan walikota Makassar, masuk tipi. Kembali ke Makassar membawa pegalaman manajemen koboi, yang sayangnya tidak berguna menghadapi badai berikutnya, rencana meminang kekasih dengan untung dari proyek tersebut, ambyar. Sepakat tidak melanjutkan hubungan kami.

Umur segitu, patah hati bukan sesuatu yang mudah dong, butuh waktu dan ruang khusus 'merayakan' patah hati dan batal menikah.

Berangkat deh ke Surabaya naik kapal Pelni, jauh sebelum menonton scene epik film 'Titanic' Jack Dawson memeluk kekasihnya Rose di haluan kapal, sudah mengalami memeluk hati dalam diri sendiri, walau ditemani lagu "Bulan" Rhoma Irama dari radio penumpang lain yang mungkin juga sedang patah hati, tetap masuk angin berjam-jam dihantam angin laut malam hari. Jack Dawson enak, ada Rose yang kerokin.

Dari Tanjung Perak, naik angkot ke terminal Bungurasih mau naik bis ke stasiun Pasar Turi, sambung kereta untuk sampai ke Bandung. Suara Didi Kempot sejak di atas kapal merapat di Tanjung Perak, lagu di angkutan kota, pengamen di bis DAMRI, sampai ke atas kereta, setia menemani 'Stasiun Balapan'.

Ini yang membuat berpulangnya Didi Kempot terasa benar-benar sebagai kehilangan, lagunya selalu hadir menemani mereka yang sedang patah hati. Bandingkan dengan negara yang kehadirannya oleh anak-anak remaja pertama kali dalam bentuk surat tilang, bawa kendaraan bermotor sebelum punya izin mengemudi atau karena melanggar aturan lalu lintas.

Dua puluh tahun kemudian, awal tahun 2020 di Jakarta, Didi Kempot kembali hadir menemani. Diajak kawan ikut maraton tiga minggu tanpa libur konsinyering sampai UAT (User Acceptance Test), Penetration Test, sistem informasi untuk sebuah BUMN. Seperti sebagian organisasi lain di Indonesia, korporasi atau kesenian, sosial dan budaya, selalu ada geng-geng kesukuan, walau keberadaannya bukan untuk berebut dominasi, cair, bersinergi, tetapi ada.

Lagu Didi Kempot "Pamer Bojo" menjadi 'mars' penyemangat selesaikan kerja maraton 3 pekan siang-malam di ruangan yang pendinginnya rusak, mentok di 16 derajat Celcius. Aneh bin ajaib, lirik sendu: begini rasanya merindu/ siang malam hatiku rasanya gelap/ masih teringat ingin melihat/ sebentar saja sudah tidak mau/ mengingkari janji, teganya kamu berbohong/ sampai sekarang lamanya aku menunggu/ menangis batinku, merana hidupku/ basah kuyub, air mata menetes//



Sontak dijogeti pas chorus: /cendol dawet / cendol dawet seger// Tidak ada lagi orang Jawa, Sunda, Bali, Makassar, Bugis, Toraja, Padang, semua menjogeti, menemani hatiku yang sedang ambyar diam-diam.

Selamat jalan Mas, terima kasih untuk karya yang telah hadir menemani masa-masa ambyar.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat