Surat-surat Yang Mestinya Kubacakan Di Sampingmu #2

Kembang di halaman 'Rumah Gadang' suku kami, suku mendiang Ibu, seusai pemakamannya 5/4/2017

Surat-surat yang kutulis buatmu memang kurencanakan untuk kubacakan di sampingmu, kemudian berbincang tentang isinya. Hampir seluruh pendek-pendek, sekitar 600 karakter atau dua kali ngetwit 300 karakter. Hanya tiga surat yang lebih dari 3000 karakter, lebih dari 300 kata.

Surat pertama isinya singkat: "Jika kamu berpikir suatu hari kita akan bersama, maka kita akan bersama." Bukan Law of Murphy, aku bahkan tidak perlu berpikir.  Bayangkan akan seberapa panjang jadinya pembicaraan tentang kemungkinan bersama, dan ‘Law of Murphy’ saat kita telah bersama.

Isi surat kedua tidak kalah ringkas: “Perpisahan adalah ujian terbaik untuk takdir kebersamaan. Andai dugaanku benar, aku ingin berterima kasih pada mereka yang telah mengusahakan ujian ini untuk kita.”

Surat ketiga: “Mengetahui rencanamu melanjutkan sekolah, aku tidak ingin membebanimu dengan rindu selama di sana. Foto-fotomu yang kusimpan diam-diam aku hapus, kecuali yang menggambarkan keceriaan kanak-kanak. Karena, kelak getirnya merindu akan terbagi dua sama rata, buatmu dan buatku.” Isinya masih tentang keinginanku bersamamu yang (di) atau (ter) pisahkan, kini tanpa menuding siapa-siapa sebagai sebab.


Meski amarahku sempat tumpah pada kawanku yang sampai hari ini masih berlagak tidak terlibat dan tidak tahu rencana yang mencoba meniru cara takdir bekerja ketika memisahkan aku dengan kisah yang lalu di Palu. Setelah kuceritakan kepadanya suatu malam, keesokan hari dan beberapa bulan setelahnya, susul-menyusul alibi, dalih, dan pembenaran yang mendukung keputusanmu melanjutkan sekolah, padahal tidak pernah sekali pun aku menyatakan tidak setuju atau tidak mendukung. Jika masih sinkron antara reaksi semesta dengan akal-akalan manusia yang merasa mampu berbuat makar atas ketetapan Tuhan, merasa aman-aman saja menghalangi niat seorang laki-laki muslim beribadah dengan menikah, kesepakatan meniru kisah tersebut diambil hampir bersamaan dengan gempa Banten 7.4 SR bulan Agustus 2019 silam.

Kawanku kumaafkan, keputusannya berdusta, khianat atau berkata jujur, bukan urusanku lagi, toh bila hari ini ia yang khianat, kemarin aku pernah dibuat bertengkar dengan kerabat dan saudaraku, besok beda orang lagi. Aku malah bersyukur, semakin hari semakin sedikit yang mau membantu usaha menukar kontrakku dengan Tuhan yang berusaha kuperbaharui lima kali sehari dengan kontrak antar manusia, dengan kontrak yang katanya demi bangsa dan negara. Sampai tiba masanya tidak ada lagi manusia yang mau diperalat atau sekadar menjadi penyampai pesan. Masa ketika memunculkanmu bak pawang setiap kali situasi memburuk akibat sikap sok Tuhan, tidak lagi memberi efek apa-apa. Bersiaplah, selama belum mau berhenti, eskalasi konsekuensi masih akan membesar. Sebesar apa konsekuensi yang dibutuhkan untuk meruntuhkan kesombongan manusia, hanya Tuhan dan yang merasa mampu menantang takdir yang tahu.

Melompat ke surat ke lima, surat ke empat masih sekonteks dengan surat ketiga, prosesku menerima kenyataan dan takdir tanpa menyalahkan dan memusuhi mereka yang sedang bertugas menjadi sebab. Isi surat ke lima juga pendek: “Entah dari mana asalnya keyakinan ini, dengan berusaha tetap denganmu, kelak bukan hanya mengobati masa lalu, tetapi juga membangun sesuatu yang baru”.

Surat ke enam berisi dukungan untuk keputusanmu: “Ada sesuatu yang kusembunyikan dalam-dalam agar tak ketahuan. Aku ingin menikahimu sebelum kamu pergi, tetapi melihatmu tumbuh dan berkembang jauh lebih indah. Karena itu aku akan menyusulmu ke sana”.

“Sudah, menyerah dan pasrah saja.” Kata kawanku yang lain, padahal kontrak ‘iftitah’ yang ia perbaharui lima kali sehari sama persis bunyi dan isinya dengan kontrakku, tetapi kok memintaku menyerah dan pasrah selain kepada Tuhan. “Dasar kepala batu, lebih baik cari perempuan yang tidak berasal dari dunia hiburan, yang tidak mudah pelukan dan ciuman dengan laki-laki yang bukan muhrimnya, yang integritasnya tidak bisa dibeli.” Kata kawan yang masih enteng berbohong demi kelancaran pekerjaan, yang masih membeli cinta artifisial meski telah menikah. Tuhan, bantu aku bertahan hanya bergantung pada-Mu. Berapa banyak lagi salah kaprah pada akidah, cinta dan hipokrisi yang harus kutemui, yang kuketahui ada pemahaman yang lebih baik dari itu.

Barusan terlintas di pikiranku sehabis subuh tadi, selepas mendoakan keselamatanmu dan semua yang sedang memandangku sebagai musuh reputasi dan gengsi, tantangan untuk ditaklukkan dan piala kemenangan. Bagaimana kamu melalui bulan Ramadhan di sana dalam kondisi lockdown? Aku sampai berpikir sejauh ini, aku sedang tidak mampu menemani dan memberi rasa aman dengan berada di sampingmu, jika dengan menikahi laki-laki lain di sana, kamu lebih tenang, bahagia, dan aman. Lakukanlah, karena ketenangan dan kebahagiaanmu lebih penting ketimbang mempertahankan format hubungan yang kuimpikan denganmu. Aku butuh waktu sedikitnya enam bulan sampai setahun sebelum bisa menemuimu di sana, itu pun dengan kondisi tanpa gangguan dan halangan yang mustahil berharap akan diberikan orang lain. Untukku, usahlah khawatir. Jika itu yang harus terjadi, ada koridor yang membatasiku dalam memilih perempuan menjadi istriku, semua perempuan boleh, kecuali yang tidak dibolehkan ibuku. Tenang-tenanglah, aku belum menyerah berusaha menyusulmu ke sana, dan Tuhan belum mengizinkan mencari perempuan selain kamu.

Pikiran aneh itu membuka satu cakrawala berpikir baru buatku, menerangi beberapa sisi gelap yang kutemui dari salah kaprah memahami cinta, agama, nasab, reputasi di mata manusia, nasionalisme dan akidah, pada diriku sendiri dan orang lain. Nantilah kita cerita tentang itu, terlanjur menjadi bagian tentang akidah dari draf tulisan yang sedang kuselesaikan.

Kupilihkan satu surat yang panjang untuk menemani di sana, sambil terus belajar membuat  musik-musik pendek dan memanjangkan surat-surat yang singkat, agar pikiran dan perasaanku tetap bekerja dan seperti biasa, entah bagaimana, tanpa memikirkan masalah, jalan keluar selalu muncul sendiri.

***

4 Juni 2019, pukul 18.20 WIB, Malam Lebaran di Grand Metropolitan Bekasi.

Sejak di stasiun Kramat sampai tiba di stasiun Bekasi, sibuk lalu lalang orang-orang suruhan yang berusaha menonjolkan masa lalu. Aku tersenyum kemudian berlalu, masa lalu bukan musuh. Tidak mengira sepulang dari melihatmu di Grand Metropolitan Bekasi, setengah jam sebelum kembali ke Jakarta, semesta kembali bereaksi pada usaha yang menghalangiku menemuimu. Setengah jam lebih sekian menit gempa di Maluku Utara. Beberapa jam kemudian setiba di Jakarta, giliran pantai Selatan Yogyakarta yang diguncang gempa.

Alhamdulillah, mirip dengan setahun lalu saat menghadiri peluncuran bukumu di Gramedia Bintaro. Menatapmu langsung walau dari jauh. Semoga seperti dulu, cukup untuk membayar bunga tabungan rindu selama kepergianmu. Sebenarnya ingin menunggu sampai acaramu usai, berbincang berdua denganmu. Sebulan lagi kamu pergi, kapan lagi kesempatan seperti tadi. Aku ingin membuat komitmen, kalau setuju kita jaga bersama sampai kepulanganmu, atau aku tetap akan menyusulmu ke sana sebelum keduluan takdir baru. Mendadak perasaanku tidak enak, bakal terjadi sesuatu setelah melihat gencarnya bagian dari masa lalu lalu lalang dan sikap dan bahasa tubuhmu selama di panggung. Aku belum cukup egois untuk ikut-ikutan enteng mengabaikan akibat yang timbul. Sebelum acaramu usai, kuputuskan pulang ke Jakarta, komitmen antara kita kuputuskan tak lagi butuh lisan, dan benar terjadi lagi penolakan semesta.

Entah sampai kapan mereka mau bertahan pura-pura bodoh. Aku mungkin bodoh secara pendidikan formal, tapi tidak terlalu bodoh untuk membaca pola, gelombang, dan energi yang mengikuti, masih bisa mereka-ulang apa saja poin-poin kesepakatan dengan menandai sebab dan akibat, tidak terlalu buta untuk melihat rangkaian proses memberi apa atau melakukan apa, akan mendapat apa, kemudian mengenali siapa yang terlibat dan apa kepentingannya. Juga tidak cukup lugu untuk tidak mengenali apa saja yang bisa membuat seorang muslim mampu mengabaikan peringatan Tuhan, memanfaatkan kalimat Tuhan, hingga melawan peringatan Tuhan dalam Al Qur'an dan Hadits.

Untuk apa aku menyebut beberapa kali tentang buku bacaanku, ‘Dunia yang Dilipat’, ‘The Black Swan’, ‘Hero With The Thousand Faces’, kemudian ‘Sapiens’, terakhir ‘Homo Deus’ bila bukan untuk memberi tahu, aku sudah tahu rencana yang sedang berjalan. Mari hadapi bersama, persoalan bangsa ini hingga umat manusia jauh melampaui soal ras, bangsa, dan agama mana yang akan memenuhi panggilan aneka mitos, legenda, ramalan, nubuat, hingga hadits, untuk meminimalkan kerusakan yang kita buat sendiri yang tidak hanya mengancam spesies manusia, tapi seluruh alam. Satu keyakinanku, mengharapkan satu orang atau satu ras dan bangsa saja mampu menyelesaikan semua kerumitan umat manusia, sama saja memasuki gerbang kegagalan. Piala dan piagam penghargaannya bisa untuk siapa saja yang mau, yang penting tidak menunda melakukan perbaikan yang terjangkau sekarang. Jangan tunggu tokoh pahlawan dengan seribu penyebutan dan wajah dari banyak budaya di dunia muncul. Aku sendiri sudah memulainya dengan menulis. Meskipun judulnya 'Sketsa Indonesia', aku berharap dengan usaha mengurai kerumitan kondisi negeri kita yang seperti 'Supermarket Masalah' bisa mewakili sebagian besar kerumitan yang dihadapi dunia, dari soal agama, ideologi, kesejahteraan, perikemanusiaan, perikebinatangan dan hayati, sampai akal sehat.

Berangkatlah, kepergianmu kupandang sebagai ketetapan Tuhan, bukan muslihat manusia. Semoga dengan begitu, ketetapan Tuhan berikutnya mendapat jalan untuk mewujud. Jangan khawatirkan muslihat manusia, fokus selesaikan niat dan tujuanmu berangkat. Tirulah Abu Nawas yang memakai terompah barunya salat di dalam mesjid. Usai salat, semua jamaah menegurnya, “Mengapa memakai terompah di dalam masjid?”. Abu Nawas menjawab, “Kalau terompah baru ini kutinggal di luar mesjid, maka aku akan kehilangan salat dan kehilangan terompah.”

Jika kepergianmu membuat kita tidak bisa bersama untuk sementara waktu, maka jangan pernah kehilangan prasangka baik kepada ketetapan Tuhan atas takdir yang diizinkan-Nya mewujud.

***

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat