Resensi Suka-Suka: "Picatrix" Bagian #3 - Selesai

Ralat Resensi Suka-Suka Bagian #1 :

  1. Ghayat Al Hakim bukan nama pena atau nama asli penulis "Picatrix", tetapi judul asli buku ini dalam bahasa Arab sebelum diterjemahkan ke bahasa latin (Jerman, Perancis dan Inggris) yang kemudian diberi judul "Picatrix".
  2. Ghayat Al Hakim berarti 'Puncak Pencapaian Hikmah'.


***



Talismant, alias Alchemist, alias Arif Bijak, alias Panrita

Istilah dua yang terakhir di atas, sudah akrab dengan bangsa di Nusantara, dengan pemaknaan dan perspektif masing-masing.

Picatrix lebih banyak menggunakan istilah 'Talismant' untuk menyebut seseorang yang memahami dirinya, orang lain, ciptaan lain, gugusan bintang dan planet, keadaan, kejadian yang telah dan mungkin akan terjadi, berikut kemungkinan mengubah dan caranya. "Picatrix" mengakui adanya ruang yang merupakan preoregatif Allah Ta'ala, tak bisa diubah oleh Talismant sedigdaya apa pun.

Talisman secara rasa, setara dengan makna Arif Bijak, Ki atau Kiai (bukan Kyai yang lebih khusus tentang agama Islam) dan Panrita di Nusantara. Sosok yang kerap menjadi tempat jelata dan raja bertanya hal-hal mistis (yang sebagian besar kini berhasil diilmiahkan) seperti iklim, musim menanam, musim melaut, penamaan keturunan, keris, kampung, mendoakan bayi baru lahir, pindah rumah, sampai penentuan jodoh, tanggal menikah, dan lain-lain.

Seperti di bagian #1, seorang arif-bijak disebut golongan hitam atau putih tergantung medium, cara, peralatan, pembantu, niat serta tujuan menjadi seorang talisman dan tujuan melakukan keahlian seorang talisman.

Ilmu dan pengetahuan abad pertengahan tidak boleh dipandang sebelah mata. Meski ada distorsi dan erosi data dan fakta empiris yang lebih banyak dituturkan lisan turun temurun, kalaupun ada yang tertulis manusia modern biasanya kesulitan menangkap berlapis-lapis makna filosofis dalam metafora, simbolisme, dan analogi yang digunakan hingga ke titik di lapisan terdalam (termasuk primbon, mungkin).

Para arif-bijak tidak begitu terpengaruh dengan menurunnya isi dan makna informasi yang dituturkan turun temurun, tanpa data dan fakta empiris yang memenuhi standar ilmiah modern (catat yang kamu kerjakan dan pikirkan - kerjakan yang kamu catat dan pikirkan) seorang arif bijak masih bisa bekerja dengan baik dalam membuat 'kebijaksanaan" karena hubungan baik dengan sumber awal informasi tersebut, alam semesta.

Transfer dan transformasi ilmu dan pengetahuan para arif-bijak ke pada penerusnya tidak seperti proses belajar-mengajar di ruang kelas formal yang kita kenal sekarang. Ilmu dan pengetahuannya belakangan diajarkan, setelah fisik, psikis dan ruhani siap menerima pengetahuan sesuai tingkat dan kadar kesiapannya.

Sumber utama kebijaksanaa Talisman, arif bijak, dan Panrita abad pertengahan bukan dari apa yang mereka pelajari, tetapi bersumber dari hubungan akrab, setara tanpa jarak dengan semesta. Ajaran Zen menggambarkan hubungan tersebut dengan tepat: kondisi di mana seseorang tidak lagi mencari jawaban atas pertanyaan, tetapi hilangnya segala tanya.

Di Galesong, kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, ada seorang arif bijak yang buta huruf latin, tidak bisa baca tulis, tanpa tumpukan data statistik tingkah polah cuaca sejak beberapa puluh tahun sebelumnya, tanpa data astronomi dan geologi, tetapi mampu dengan tepat memberi tahu para petambak dan petani, kapan mengeringkan empang, menabur benih dan panen, hanya dengan duduk berdiam diri di teras rumah panggungnya, bercengkrama dengan angin laut dan bintang-bintang. Beberapa tahun terakhir ia tidak pernah lagi memberi saran untuk petambak dan petani. Sekitar tahun 2012, ia mengaku kehilangan kemampuan melakukan sinkronisasi batin dengan semesta di Galesong. Bahasa yang digunakan alam kini berbeda dan belum pernah diajarkan moyangnya, alam lebih banyak berbicara tentang menyeimbangkan diri agar tetap memiliki daya dukung hidup untuk semua makhluk, bukan lagi menyajikan infromasi daya dukung yang siap digunakan.

***

Menurut "Picatrix", 'kebijaksanaan' memiliki tiga karakter subyektif: terus tumbuh dan tidak bisa dimusnahkan, penuh hukuman kedisiplinan, dan tidak akan mendatangi mereka yang tidak tertarik dengan 'kebijaksanaan' atau hanya ingin terlihat bijak.

Tiga karakter tersebut jika digunakan memandang manusia sekarang, maka nampak jelas perbedaan antara mereka yang bersekolah dan yang terdidik, beda antara mereka yang mengetahui ilmu agama dengan yang mengamalkan ilmu agama.

Mereka yang berilmu agama terhubung ke kitab-kitab dan guru-burunya, sedangkan mereka yang mengamalkan ilmu agama yang bermanfaat untuk dirinya dan alam semesta walau satu ayat, terhubung ke Tuhannya.

Wallahu'alam

Bab-bab tentang konstalasi benda langit, simbol-simbolnya, dan hajat apa yang sesuai dengan hal-hal tersebut tidak kami bahas. Tidak paham dan tidak ingin memahami, makanya tidak dihampiri pemahaman.

Selesai.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat