Ramadan dan COVID-19

Tadinya ingin menulis kemungkinan akan bagaimana ramadanku tahun ini tanpa kegembiraan dan kebahagiaan sebelum COVID19 bertamu untuk memaksa manusia menyadari posisinya di alam semesta tak lebih mulia, tidak lebih perkasa dari makhluk dan penghuni bumi lainnya.

Semoga setelah para ahli berhasil menemukan vaksin COVID19, tidak disikapi sebagai kemenangan dan bukti dominasi manusia terhadap ciptaan lain di muka bumi, tetapi sebagai kemampuan belajar dan beradaptasi. Belajar dari pandemi lain yang pernah dialami umat manusia, bisa disimpulkan pandemi termasuk cara alam semesta menyeimbangkan diri dan kembali mendudukkan manusia sebagai salah satu spesies yang sejajar dengan yang lain. Mekanisme yang akan terus dilakukan oleh semesta setiap kali kesimbangannya rusak,

Dalam Islam banyak doa dan tuntunan bagaimana bersikap ketika ada wabah. Mulai dari yang bersikap ingin syahid terkena wabah kemudian mati, hingga yang memohon perlindungan sembari menghindari daerah wabah, atau berdiam diri jika sedang berada di daerah yang terkena wabah. Sampai dzikir pagi dan petang yang isinya termasuk memohon perlindungan dari bahaya dan musibah yang terlihat maupun yang tidak terlihat. Tentu, doa saja tidak cukup. Jika doa termasuk rangkaian usaha dan ikhtiar, maka letaknya paling akhir dan paling awal, sebelum dan setelah melakukan usaha agar tidak tertular dan menulari.

Memandang COVID19 dari sudut mana pun, seorang muslim akan menganggapnya sebagai ciptaan Allah yang memiliki karakter unik dan bisa dikategorikan sebagai berkah di satu sisi. COVID19 memberi umat muslim dua tanggung jawab sekaligus. Pertama, menjaga keselamatan dirinya, kalaupun telah memiliki akidah yang sekuat: "mati pun tak apa selama dalam menjalankan ketaatan pada perintah Tuhan, bukan perintah manusia atau penguasa", seorang muslim tetap harus memikirkan orang lain yang belum tentu memiliki akidah serupa itu, yang menjadi tanggung jawab keduanya, "menjaga orang lain dari kerusakan dari diri kita". COVID19 memaksa seorang muslim memandang dirinya sebagai seseorang yang terinfeksi, seorang pendosa, bukan seorang yang suci dan imun.

Semalam selepas isya di rumah, berjalan kaki mengintip beberapa mesjid, kota Makassar yang sedang menerapkan PSBB dipatuhi oleh hampir semua mesjid di sekitar rumah. Tidak nampak satupun yang masih menyelenggarakan tarwih berjemaah. Ada rasa haru melihat mesjid yang pagarnya terkunci, lampunya padam, sunyi tanpa anak-anak kecil yang berlarian dan bermain menunggu salat tarwih berjemaah dimulai. Dan lebih sedih lagi ketika tersadar, jangan-jangan kita semua sedang dihalau keluar dari masjid, dari rumah-Nya, agar pulang kembali ke rumah masing-masing, belajar dan membenahi kembali hal-hal mendasar yang tidak terlihat oleh manusia lain seperti akidah, niat dan tujuan, dalam hal ketaatan beribadah, dalam menghamba, dan dalam mencintai Tuhan. Wallahu'alam.

Setelah hari kedua puasa dengan malam yang diisi berbagai kegiatan (yang semoga termasuk ibadah), siangnya berhibernasi, rasa-rasanya kemuliaan ramadan tidak berkurang sedikitpun dibandingkan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin karena puasa termasuk ibadah rahasia, benar tidaknya niat, batal atau makruhnya, hanya yang berpuasa dan Tuhan yang tahu pasti. Berbeda dengan salat, zakat, haji, manfaatnya untuk yang melaksanakan, puasa secara tegas disebutkan untuk Allah, walaupun kenyataannya mereka yang berpuasa tetap mendapat manfaat yang tidak sedikit dari puasanya.

Kembali mengaji Al Qur'an berusaha khatam bacaan dan terjemahan yang ramadan tahun lalu belum selesai, dan membaca ulang beberapa buku yang telah lama menunggu dibuka kembali. Selain buku-buku umum, ada dua buku yang kini sedang menyita lahir dan batin kami, karena terang-terangan menelanjangi diri kami. Benar-benar membuat kami tersadar betapa belum lurusnya akidah dan niat kami selama ini ketika taat beribadah, ketika menghamba, dan ketika mencintai.

Ada kekhusyukan tersendiri membaca buku-buku agama di bulan Ramadan dibandingkan di bulan-bulan lain.

Sekalipun buku pertama dan buku kedua pernah kami tamatkan sebelumnya, hikmah dan pelajarannya tak pernah sama. Bandingkan dengan Al Fatihah yang entah berapa kali kita baca setiap salat sejak dulu, namun selalu saja mampu menampung beraneka rupa keluh kesah, kesyukuran, ketakutan, dan pengharapan yang berbeda-beda.

Buku pertama, kumpulan tauziah Syekh Abdul Qadir Djaelani. Tidak berani membahas buku ini di tempat umum. Bahasa yang digunakan beliau halus, tetapi tajam serupa pinggiran kertas yang menggores jari. Tanpa basa-basi menyebutkan kemunafikan, kebohongan, kepalsuan, dan kebodohan adalah masalah terbesar umat muslim dalam beragama mulai dari tingkat taat beribadah, tingkat menghamba, hingga ke tingkat mencintai, terutama kami sedang yang membacanya. Membahasnya di sini, tanpa ruang dialog yang utuh dengan ekspresi, intonasi, bahasa tubuh, dan atmosfer, hanya akan membuat sebagian besar kita tersinggung dan merasa dihakimi kemudian luput dari keberkahan sedang dikoreksi oleh Allah Ta'ala melalui SAQD dan kumpulan tauziahnya. Wallahu'alam.

Buku kedua, Al Hikam. Ada dua versi PDF yang berhasil kami unduh, setelah versi cetaknya kami pulangkan kepada pemiliknya sekitar dua belas tahun lalu. PDF versi pertama yang diterjemahkan dan ditafsirkan oleh ulama Malaysia, walaupun dalam bahasa melayu, hikmah dan pelajaran yang sesuai kemampuan kami tetap mengalir masuk tanpa halangan sesuai kapasitas kami menampung. PDF kedua, tanpa penjelasan. Benar-benar manaj Al-Hikam. Satu kalimat Ibnu Ataillah bisa sehari semalam merenungkan dan mencari mengapa ada bagian diri yang tertohok kemudian berusaha menemukan sebabnya, lalu memohon usaha perbaikan.

Buku ketiga,  Latha'if al-Minan, Rahasia Yang Mahaindah, juga karya Ibnu Ataillah. Buku yang masih kami baca, belum tamat. Dari pengantar hingga Bab 2, sebagai pembaca buku dan penulis, kami beroleh kesan buku ini embrio Al Hikam. Namun, sebagai muslim, sebagai orang bodoh dan awam, kutipan-kutipan dari Latha'if al-Minan, hanya bisa kami tinggalkan di sini sebagaimana adanya tanpa komentar dan pendapat terhadapnya. Tanpa penjelasan, telah menyelesaikan banyak kerumitan yang sedang kami hadapi.

Kutipan Pertama

Kutipan Kedua, (koreksi: 'kehiaanku' seharusnya 'kehinaanku')

Kutipan Ketiga

Kutipan Keempat


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat