KangeM 3



Komposisi 'KangeM 3' hanya berisi sekitar 10% hasil mengolah rasa dengan menambahkan perkusi India dalam aransemen contoh setengah jadi, bawaan aplikasi studio musik yang kupakai. Enggan 'merusak' nuansa rasa di dalamnya yang membuatku ingin menambahkan 1 kolom perkusi India, 1 kolom efek, dan satu kolom drum dan bass pengisi, tanpa melengkapi strukur (tanpa penutup) dan tanpa mengatur peak level volume agar aransemen awal tetap dominan.

Untuk sementara niat mencari tahu mengapa para penghafal Al Quran terganggu hafalannya (bahkan ada yang mendadak lupa hafalan) jika ada jeda yang digunakan mendengar musik buatan manusia sebelum menuntaskan hafalan, apakah ada hubungannya dengan kesepakatan menggunakan frekuensi 44100 Hertz (freuensi yang diyakini oleh ilmuwan Nazi sebagai freuensi yang tepat untuk propaganda) sebagai standar ISO yang sebelumnya 43200 Hertz, frekuensi yang dikenal sebagai frekuensi alami alam semesta. Kesimpulan sementara yang telah terbukti empiris secara pribadi pada bidang kesenian lain, keharuan, kebahagiaan serta emosi lain dan dalam musik dan karya seni lainnya pada cakrawala tertentu masih bisa mengenalkan kesadaran sebagai makhluk penghuni semesta dan hamba Tuhan. Minimal bisa membuat seorang muslim bertanya-tanya dan mulai memeriksa dirinya, jika musik bisa membuatnya terharu bahagia atau sedih kemudian menangis, mengapa lantunan ayat Al Quran tidak bisa. Jika akting pemain film dan skenario buatan bisa membuatnya sedih dan bahagia, mengapa kisah tragis dan bahagia para nabi di Al Quran gagal menyentuh hati. Jika media konvensional dan media sosial berhasil membuat manusia menabikan manusia lain, mengapa nabi beneran dalam kitab-kitab suci gagal menjadi idolanya, jika rela mengantri sebelum bertemu idola, mengapa tak tahan duduk beberapa puluh menit sehabis magrib untuk menunggu isya, dan banyak lagi.

Kisah Di Belakang Komposisi
Nuansa dalam 'KangeM 3' hampir-hampir menyamai atmosfer dalam diriku ketika berhasil mendudukkan semua unsur dalam diri untuk duduk bersama, sebelum memulai pertemuan para diri, "Ini situasi dan kenyataan yang sedang kita hadapi, ini yang memperburuk, dan kemungkinan menyelesaikannya melalui jalan apa saja". Ada nuansa ketenangan dan kedalaman yang tetap dinamis.

Tentu saja tidak akan kutuliskan utuh di sini hasil pertemuan kami, kecuali yang perlu dan harus. Kami sepakat memprioritaskan orang banyak dengan melakukan sesuatu untuk menutup jalan yang selama ini menjadi sebab bagi konsekuensi buruk dari keburukan yang masih disalahpahami sebagai kebaikan.

Pertama, kami sepakat berhenti berharap kepada sesama makhluk, pasal semua kekecewaan. Ada banyak harapan yang kami sepakati untuk diserahkan kembali ke sebaik-baiknya tempat berharap. Beberapa diantaranya, berhenti berharap akan ada yang mau mengalah dan meng-Allah (menerima ketetapan-Nya kemudian berserah diri) agar perjalananku meminta kesediaanmu menjadi istriku sejak dua tahun silam menjadi lebih mudah, meski tidak dimudahkan setidaknya tidak dipersulit, tidak akan datang dengan berharap kepada orang lain.

Jika melihat kerusakan yang timbul, yang masih akan terus bereskalasi, maka satu-satunya yang harus mengalah dan berada dalam jangkauan diri sendiri, itu aku. Mengalah mencampuri urusan dan kelurusan 'akidah' orang lain pada cinta, idealisme, nasionalisme, patriotisme, dan ajaran agama dengan tidak lagi bereaksi, agar semakin jelas bukan hanya aku dan wasiat ibuku yang menolak. Syukur-syukur jika itu bisa membuat kita semua tersadar, semoga.

Berhenti berharap pada jalur komunikasi tercela akan bisa merawat hubungan ini yang mendatangkan konsekuensi buruk. Tidak ada yang selesai dengan cara tersebut sejak pertama kali digunakan sekitar sepuluh tahun lalu. Cara yang membuat kita semakin fasih dalam mendua, menduakan dan hipokrit. Jika tanpa komunikasi ternyata membuatku atau membuatmu menghadirkan cinta dan takdir berikutnya, sebelum berhasil menemuimu langsung di sana, maka Tuhan telah mengubah takdir kita menjadi tidak ditakdirkan bersama atau berpisah baik-baik. Mari patuh pada konsekuensi yang mengikuti kontrakmu, dan berserah diri pada ketetapan Tuhan yang menanti.

Kedua, kami sepakat untuk mulai menghargai diri kami sebagaimana kami menghargai manusia lain, dengan menolak muslihat agar keluar rumah sekadar melintas menjadi obyek pemuasan ego, perlakuan buruk, cara komunikasi tercela, dan hal-hal lain yang kamu dan orang lain juga akan menolak jika diperlakukan demikian. Sudah terlalu banyak akibat buruk beruntun yang terlalu sulit disebut kebetulan karena ketidakinginanku menghargai diri sendiri sebagai mana mestinya karena berharap orang lain masih bisa sadar sendiri. Bukan dengan melawan, tetapi dengan meninggalkan baik-baik dalam diam. Sederhana saja, jika tidak bisa menjalin komunikasi karena halangan semesta atau karena halangan ego demi menjaga pintu keluar darurat agar reputasi tetap terjaga ketika cinta berakhir tidak sesuai harapan, maka sejak awal cinta jenis ini bukan untuk berakhir di pelaminan, bukan untuk bervisi sama di horizon yang sama.

Udah, begini saja dulu, mau ngeronda.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat