Perbaikan Berkelanjutan


"Beberapa kepala berpikir di semesta yang sama, sementara beberapa yang lain belum (mau) menyadari kemampuan berpikirnya."

Kutipan selengkapnya tidak begitu, sengaja mengubahnya karena berpikir bukanlah monopoli orang jenius dengan segala indikator, standar, dan ijazah. Kubenarkan sehabis belajar "Lean Methodology" yang sama persis dengan tulisanku dulu, setelah memahami upaya meraih 'khusyuk' adalah bentuk 'continues improvement'.

Salat saja dulu dengan segala kekurangannya, kemudian periksa bagian mana yang salah, mengapa salat tidak memberi pengaruh apa-apa dalam kehidupan sehari-hari. Wudhunya, istinja, gerakan, bacaan, pakaian, sumber dan sifat zat yang menjadi darah dan daging, sampai ke niat yang akhirnya berujung ke syahadatain.

Kemudian lakukan perbaikan, lalu aplikasikan perbaikan tersebut pada salat selanjutnya. Karena tidak ada yang sempurna, atau  kalaupun ada, kesempurnaan hanya akan mengantarkan kita pada ketidaksempurnaan berikutnya, teruskan salat dan teruskan menggapai khusyuk sampai tidak terhingga dan tidak terbayangkan perbaikan yang bisa diperoleh seorang muslim lewat salatnya. Bukan hanya menjadi pencegah dari perbuatan mungkar dan keji, tapi juga menjadi jalan melakukan kebaikan dan perbaikan.

Unik cara Tuhan membagi 'ilham' di cakrawala yang sama pada beberapa manusia yang berbeda. Setelah tidak tertarik menjadi "man of success" karena jatuh cinta kepada "usefulness", berusaha menjadi sebaik-baiknya manusia yang keberadaannya memberi manfaat, pemikiran tentang metode 'perbaikan berkelanjutan' terpakai untuk memperbaiki siklus menjadikan hidupku bermanfaat. Sementara oleh para ahli manajemen, 'continues improvement' dengan ->> plan->> do->> check->> act->> plan again->> terpakai untuk membuat produk yang menjadikan konsumen titik perhatiannya, dengan mengantarkan produk yang menawarkan 'value' sesuai kebutuhan, dengan solusi yang pas untuk masalah yang dihadapi konsumen.

Beberapa orang diberikan ilham bagaimana membuat senapan mematikan, sebagian mengubah pelurunya menjadi bibit pohon, menjadikan teropongnya alat membaca bintang dan perangai cuaca, dan sebagian lagi tetap menjadikannya alat untuk membunuh. Begitu pula dengan kitab-kitab suci, sebagian menjadikannya sebagai legitimasi melakukan kejahatan dan keburukan, sebagian lagi tenggelam dengan panduan 'continues self improvement' yang ada dalam kitab-kitab suci.

Mana yang lebih baik? Tanpa jeda berpikir kita akan langsung menuding yang satu lebih baik dari yang lainnya. Tidak begitu, baik dan buruk walaupun mampu mengenali, menghakimi tetap bukan wilayah manusia. Salah satu indikasi keberhasilan 'continues improvement' adalah kemampuan melihat gambar besar dari sebuah kejadian, menitik beratkan perhatian pada proses, bukan hasil. Bencana yang membuat kita jadi lebih baik dan membaikkan lebih manfaat ketimbang kemudahan yang membuat kita berlaku buruk dan memburukkan.

Tentu, jika mampu melihat gambar yang lebih besar lagi, akan terlihat semuanya berada dalam wilayah kehendak Tuhan, wilayah dimana menjadikan kehendak Tuhan sebagai pembenaran melakukan keburukan, juga bukan masalah. Toh, sudah ada 'sunnatullah' konsekuensi dari setiap perbuatan. Baik itu perbuatan buruk tapi menghasilkan kebaikan, maupun laku buruk yang hampir pasti selalu menghasilkan keburukan, atau lakukan satu-satunya yang mendapat jaminan kitab suci dan terbukti secara empiris, kebaikan hanya mendatangkan kebaikan. Wallahu'alam..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat