Debat

Sekitar tahun 1999, beberapa tahun setelah resmi meninggalkan lingkungan kampus secara fisik, karena jatuh cinta pada dunia praktik. Tempat di mana aneka teori, hukum, dan hipotesa lahir kemudian terlahir kembali, mendadak seorang kawan menelepon. Mengajakku kembali ke kampus.

"Gratis. Cuma sehari, makan siang, kopi, dan yang terpenting, ada perdebatan dengan gambaran dan suasana berbeda yang kau miliki selama ini, tidak seperti rapat-rapat settingan pengkaderan kepemimpinan di organisasi kampus, atau yang kau lihat di tipi-tipi," katanya panjang lebar, berusaha menghilangkan keraguan yang tergambar jelas dalam suaraku.

"Debat tentang apa? Antar siapa atau antar apa?"

"Topik debatnya saya sama tidak mengertinya denganmu, tentang kesehatan calon ibu untuk menekan angka kematian bayi dan ibu."

"Lalu apanya yang penting?"

"Lihat dan nilai sendiri, saya pernah mengikuti sekali. Debat tertutup, tapi denganku kita bisa duduk di bangku paling belakang. Sejam lagi dimulai, kutunggu di gedung PKM, di warung bakso."


Tiga puluh menit sebelum memutuskan hadir aku sudah berdebat dengan diriku sendiri. Walaupun keputusan meninggalkan kampus sebelum wisuda tidak mendapat halangan dari Bapak dan Ibu, serapi apapun mereka berdua menyembunyikan dibalik anggukan setuju sambil tersenyum, kecewa tetap tersirat di sudut kedua matanya. Hiburan dari saudara-saudaraku untuk Ibu dan Bapak cukup membantu, kelak mereka yang berusaha meraih "S" sebanyak mungkin mewakili aku yang dengan satu "S" saja enggan. 

Selain kekecewaan Bapak dan Ibu yang masih terbayang jelas, juga karena masih teringat kejadian tahun kedua di fakultas teknik, tahun keempat di kampus yang sama di fakultas berbeda. Suatu siang berdua dalam sedan milik kawan menuju kampus, di depan gerbang seorang senior yang wisuda setahun lalu sedang menunggu angkutan umum.

"Coba lihat, salah satu lulusan terbaik jurusan kita masih naik angkot, tidak ada korelasi antara menjadi lulusan terbaik dengan kesuksesan dalam hidup," kata kawanku mengomentari senior kami, yang di mataku justru terlihat tenang dan bahagia. 

Betapa leganya di zaman pra-AutoCad lepas dari tugas-tugas besar dan tugas sarjana. Tidak harus menggambar ulang setelah dosen enteng mencoretnya dengan spidol permanen. Tidak ada lagi tekanan tinggi menyelesaikan rancangan dalam tiga malam, hingga kami sulit membedakan tugas-tugas itu sebenarnya menguji ketekunan dan kesungguhan, atau untuk mengetahui penguasaan dan pemahaman kami sebagai calon arsitek.

"Tapi dia bahagia," sanggahku.

"Bahagia berpanas-panas menunggu angkot, kemudian di angkot duduk berhimpit-himpitan?"

"Kamu merasa lebih bahagia karena sedang berada dalam sedan berpendingin yang dibelikan bapakmu?"

"Bukan. Jangan salah paham, dalam hidup, kecerdasan akademis seorang sarjana harus diimbangi kecerdasan mensiasati hidup."

"Dia belum tentu tidak cerdas dengan hidup dan tidak bahagia. Tergantung perspektifmu tentang hidup, cerdas, sukses, dan bahagia, yang mungkin berbeda dengannya. Coba pertanyakan lagi, berulang kali, kesimpulan awalmu tadi. Bisa saja dia naik angkot karena mobil atau motornya mogok. Atau dia sedang meneliti efektifitas disain terminal kampus yang ada sekarang dengan menjadi penumpang angkot kampus yang menunggu tidak pada tempatnya, kudengar dia sedang kuliah pascasarjana. Kita ini calon ilmuwan yang menarik kesimpulan setelah semua data pendukung teruji valid. Kecuali kamu politikus yang menghindari kebenaran ilmiah saat merugikan kepentinganmu, lalu memaksakan kesimpulan prematur."

"Kamu saja, aku mau jadi politikus."

Aku memilih diam tidak menanggapi, bersyukur kawanku tidak melanjutkan perdebatan sampai kami berpisah ke ruang kuliah masing-masing.

Perdebatan dari sudut pandang berbeda, antara calon politikus praktis denganku yang sedang berusaha memahami kegelisahan pada penjara kesepakatan aneka definisi termasuk definisi sarjana, tidak membawa keuntungan apa-apa. 

Malah menambah pekerjaan dalam kepala dan hati setelahnya, berjuang melawan perasaan merasa lebih benar.

Semoga perdebatan yang mau aku ikuti, tidak demikian, gumamku dalam hati setiba di kampus. Melihatku tiba di gedung PKM, kawanku segera mengajak masuk ke salah satu gedung LT (Lecture Theatre). Telah mendahului kami dan orang-orang yang masih berdatangan, para dosen 'begawan' kampus kami, di depan mereka nampak beberapa orang dosen yang wajahnya kukenali dan sebagian lagi tidak. Lalu beberapa baris alumni resmi yang mungkin tak berbeda jauh angkatannya dengan kami berdua. Aku dan kawanku duduk di kursi paling belakang, dekat lubang proyektor.

Sepuluh menit kemudian lampu diredupkan, lalu salah seorang begawan memaparkan temuannya di lapangan. Di salah satu daerah dengan angka kematian bayi dan ibu yang tinggi, dia menemukan banyak data pendukung untuk menarik kesimpulan bahwa penyebab utamanya adalah ketidaktahuan dukun beranak di kampung-kampung tentang standar kebersihan yang dibutuhkan oleh seorang bayi dan ibu pasca melahirkan. Tidak ada yang memotong selama dia memaparkan.

Giliran begawan yang kedua memaparkan temuan dan kesimpulan berbeda. Angka kematian bayi dan ibu tinggi, karena lulusan sekolah perawat dan fakultas kesehatan masyarakat sebagian besar tidak kembali ke masyarakat, para lulusan lebih memilih menyesuaikan strata ekonominya ketimbang mengamalkan ilmu yang mereka dapatkan selama kuliah. Dia mengusulkan agar kurikulum kampus seimbang antara kebutuhan pasar sumber daya manusia dari sisi kapital, dan dari sisi idealis dan fungsional tujuan kampus melahirkan sarjana.

Belum ada perdebatan, walaupun dua kesimpulan yang berbeda tersebut mesti seru bila beradu. Masih ada dua lagi paparan yang harus ditampilkan.

Pembicara ketiga, seorang ibu yang mengisahkan salah satu bayinya meninggal dunia akibat salah penanganan pra dan pasca melahirkan. 

Kupikir tidak akan ada yang berani menawarkan diri menggantikan tugas seorang ibu. Tidak akan ada gombal, melahirkan itu berat, biar aku saja.

Energi potensial yang berada dalam seorang bayi manusia nyaris tak terhingga, melebihi air terjun, atau gelombang laut, bayangkan sendiri bagaimana rasanya melahirkan potensi sebesar itu.

Pemapar terakhir seorang mahasiswa baru, terlihat dari rambutnya yang belum tumbuh semua usai digunduli semasa OSPEK. Dia memaparkan data temuan, tanpa mengubahnya menjadi informasi yang dibutuhkan untuk menarik kesimpulan. 

Datanya terstruktur dan terklasifikasi cukup rapi, oleh yang mengetahui formula mengolah sudah bisa menarik kesimpulan, angka kematian bayi dan ibu tinggi adalah persoalan menyeluruh yang melibatkan banyak pihak dan faktor. Dua paparan para begawan sebelumnya belum cukup konkrit untuk menyelesaikan masalah secara menyeluruh.

Moderator lalu membuka sesi tanya jawab, sesi pembantaian kesimpulan dan informasi. Si mahasiswa dan sang Ibu tidak termasuk, mereka berdua adalah validasi kesimpulan sang begawan atau malah membatalkan kesimpulan mereka.

Mengejutkan, ternyata dalam ruangan LT ada perawat, ada dukun beranak, ada calon orang tua, dan ada mahasiswa yang sedang puber forum ilmu pengetahuan, satu-satunya yang bersuara lantang karena masih mengandalkan volume suara bukan isi. Luar biasa, tidak ada cemohan, tidak ada yang memotong sampai si mahasiswa selesai berbicara. Sebodoh apapun pendapat semua dihargai dengan diberi kesempatan. Mungkin karena bukan waktu yang membatasi debat, tapi sampai ada kesimpulan bersama.

"Ini musyawaroh kalau kata Asmuni Srimulat, bukan debat," kataku berbisik ke kuping kawanku.

"Musyawarah dalam bahasa Inggris belum ada padanan yang pas. Diterjemahkan jadi diskusi terlalu lembut, kalau disebut dialog, ada bantahan di sini. Pernah nonton rekaman debat calon presiden Reagen dan Jimmy Carter?"

"Belum, kalau baca Nick Carter pernah."

"Anggap perdebatan mereka menjadi patokan sebuah debat, kemudian bandingkan dengan debat ilmuwan dan calon imuwan di sini. Debat Reagen dan Carter seni pertunjukan yang bagus, Reagen yang aktor menang telak, diluar isu kebocoran materi Carter. Sementara debat di sini seni mengulik kebenaran, tidak penting melalui siapa kebenaran datang, selama memang benar."

"Dan kau masih mau jadi politikus?"

"Ayolah, aku sedang berusaha menjembatani kebenaran ilmiah dan kebenaran dalam politik."

"Itu kalau memang ada kebenaran dalam politik yang perlu kau jembatani."

"Ada, kalau kau melihatnya sebagai seni pertunjukan."

"Jangan malu menyebutnya sebagai seni menipu konstituen dengan jargon, ideologi, euforia dan utopia, dengan janji, dengan agama, dengan fakta yang dibatasi bingkai, dengan apa saja yang bisa membuat konstituen bangga, walau sebenarnya telah tertipu."

"Jangan salahkan politikus, hampir semua manusia senang menipu dirinya sendiri."

"Setiap panggung punya sutradara, aktor, dan penontonnya sendiri. Terima kasih sudah mengajak menyimak musyawaroh menarik hari ini."

Walaupun telah berlalu hampir dua puluh tahun, aku masih menyimpan harapan suatu hari kawanku, atau yang sepemikiran dengannya, bisa menjembatani kebenaran ilmiah dengan kebenaran politik. 

Mengubah debat-debat politik dari panggung pertunjukan pencarian bakat, menjadi laboratorium tempat menemukan solusi terbaik untuk masalah-masalah teknis berikut kebijakan yang mendukung solusinya, yang entah mengapa hampir seluruh umat manusia sepakat mempercayakan penyelesaiannya di tangan politikus yang sulit bekerjasama dengan sesama politikus jika berbasis solusi, maunya nanti kerja bareng karena berbasis kepentingan, yang sementara sedang sama.

Debat dua calon presiden RI hari ini yang kedua, dari lima debat yang direncanakan Komisi Pemilihan Umum, dan tidak satupun mengangkat tema sumber daya manusia sebagai topik. Sementara di setiap panggung, masih selalu manusia yang menjadi sutradara, aktor, dan penonton. Sumber masalah dan solusi juga manusia.

Konon, sampai hari ini Tuhan tidak mengirim asteroid untuk memusnahkan manusia, setelah beribu tahun silam memunahkan peradaban Dinosaurus, karena Tuhan kasihan dengan asteroid jika harus berurusan dengan manusia.

Semoga bukan karena itu, tapi karena Tuhan masih percaya dengan kemampuan manusia mengubah diri, beradaptasi, dan manusia memiliki kekuatan yang tidak dimiliki makhluk hidup lain, harapan.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang