Hujan Bulan Sya'ban **

** tadinya mau diberi judul "hujan bulan Juni" batal karena belum ijin penulis puisi tentang hujan yang pandai merahasiakan rintik rindu, Sapardi Djoko Damono. Lagian menurut penanggalan Hijriah, sekarang masih Sya'ban, belum Syafar.

Rasanya bukan cuma saya yang merasa bila hujan beberapa tahun terakhir ini lebih sensitif dari sebelumnya. Alam nampak menyatu kembali dengan beragam aktifitas manusia. Teguran dan koreksi alam nampak lebih spontan tidak butuh waktu lama.

Ada yang berhasil membuat penjelasan ilmiah dan masuk akal, anomali cuaca ini karena efek pemanasan global. Bagiku terasa sebagai gerak alam mencari keseimbangan baru, menyesuaikan diri dengan tingkah polah manusia.

Alam nampak menegaskan diri bahwa posisinya sejajar dengan manusia, sesama ciptaan. Manusia mungkin menerima mandat sebagai khalifah di muka bumi, mandat yang ditolak gunung dan lautan, tapi alam juga menerima mandat untuk menjalankan hukum alam. Posisi kekhalifaan manusia kembali pada tempat semestinya, bagian dari hukum alam, bagian dari Sunnatullah.

Beberapa yang bisa kuingat: Sebelum wukuf di Arafah, banjir bandang menyapu bersih padang Arafah, besoknya sudah kering lagi dan orang-orang memulai berdiam diri, tafakkur di atas tanah yang masih menyisakan bau tanah usai hujan;

Sebelum waisak di Borobudur; Sebelum misa malam natal; dan di bulan Sya'ban sebelum memasuki Ramadan, di hampir semua kota dari Palu, Batang Gadis, Makassar, Bandung, Jakarta sejak lima tahun lalu hujan selalu turun di bulan Sya'ban, bagai rindu yang tak tertahan pada Ramadan yang akan tiba.

Mestinya umat muslim yang memegang amanah menjadi "Rahmat bagi alam semesta" bisa seperti alam yang menerjemahkan Rahman dan Rahim Allah SWT tanpa tafsiran.

Dibagikannya udara, air dan hasil bumi bagi semua mahluk, tanpa memandang penting perbedaan cara yang dipilih untuk mengenal, menuju dan mengakrabkan diri dengan Tuhan.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat