Bintang Jatuh

"Bintang itu kok jatuh Kek?"
"Bukan jatuh, lagi kejar penguping rahasia langit."
"Kenapa langit mesti berahasia?"
"Tidak ada rahasia, bila kau sendiri sudah rahasia."

"Bingung.. Masuk ah, embun mulai turun."
"Tidurlah duluan, mintakan kopi panas untukku pada nenekmu.."

bunga api berlompatan dari kretek kulit jagung
bintang jatuh di ujung bibirnya

***


Banyak yang berubah, teras kayu berganti ubin jadi kamar, pohon rambutan sudah ditebang. Namun, udara di sekitar tempat mendiang kakeknya biasa duduk memandang bintang masih terasa hangat.

"Kau nampak sedih seperti bintang jatuh malam itu nak.." desir angin berbisik.

"Sebentar lagi lebaran, puasaku kali ini hampir semuanya selamat, tidak ada yang kubatalkan di tengah jalan, karena kubuat cacat."

"Tupai juga bisa puasa melompat kalau mengunci diri tidur dalam kamar."

"Sekarang mah, 'ke jalan' bisa dari kamar mandi Kek, lewat internet. Dulu nanti keluar rumah baru bisa ngukur diri, sekarang dalam kamar masing-masing."

"Lalu sendu itu? Nampaknya bukan hanya karena ramadan tinggal beberapa hari."

"Menurut kakek, aku termasuk hamba yang berserah diri, menyerah atau malah terserah?"

"Jawab dulu, sendu itu. Aku kenal cucuku seperti mengenal batang kelapa di seberang jalan yang kutanam di hari lahirmu. Hingga usia delapan bulan, kumandikan, kusuapi bubur beras merah yang kutumbuk sendiri, dari padi yang kutanam di sawah yang kata ibumu kemarin, kelak kau yang harus mengurusnya."

"Sawah tidak usah kau pikirkan, sebelum kau kemari semuanya sudah teratur, bahkan sebelum kau lahir. Hidup kakakmu juga. Apapun, diluar dirimu tidak akan tuntas sebelum masalahmu sendiri selesai. Ayolah.. Dulu waktu kita tidur sekamar, igauanmu waktu tidurpun aku sahuti."

"Tidak ada yang sendu, sendu sudah kita sendiri."

"Puisi memang bisa menghiburmu nak, tapi tidak menuntaskan masalah. Ceritalah, sebelum nenekmu menyusulku kemari, tau sendiri kalau dia sudah di sini, hanya ceritanya yang bisa kita dengarkan. Kau ingat di kolam kecil yang kini jadi dapur. Waktu nadi almarhum adikmu teriris sembilu, sekampung dibuatnya sibuk. Padahal sarang laba-laba yang putih bersih sudah menghentikan pendarahan, dokter sisa menjahit sobeknya."

"Laporin lho.."

"Ku ketok keningmu."

"Terima kasih Kek. Aku sudah dapat jawabannya. Tafsiran jadi hebat-hebat dan melebar kemana-mana tanpa tatap muka. Sederhana sekali. Biar coba kutemui lagi, satu-persatu. Bila benar aku termasuk hamba yang berserah diri, maka isyarat yang kudapat tentu dari-Nya, dan bila dari-Nya kita semua akan ridha. Kalau aku belum harus menetap di sini tidak apa kan?"

"Tanya ibumu, buatku kau di mana, bersama siapa, sama saja. Menulislah nak.. Bagilah apa yang sekiranya bisa membaikkan dirimu dan orang lain. Kampung ini sebenarnya butuh teknologi tepat guna untuk mendaur ulang sampah. Tanah sepetak kecil di seberang jalan walau punya nenekmu, bukan untuk menumpuk sampah. Pergilah usai lebaran, selesaikan."

***

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat