Mandat - Bab Sekian


Hiruk pikuk reformasi menyebar ke seluruh negeri. Di pulau terpencil dari televisi dan radio kami terus mengikuti perkembangan dan ikut membayar "harga" nya. Nilai tukar mata uang dollar terus menekan rupiah hingga 20.000 rupiah. Malam itu kami putuskan hentikan sementara pembangunan instalasi air bersih dan listrik kepulauan. Besok pulang ke darat coba negosiasi ulang dengan pemilik proyek, hampir semua harga material naik hingga 200%.


"Reformasi ini anak jadah!" kata seorang kawan sambil menonton televisi yang meliput situasi di gedung DPR/MPR-RI. "Belum tentu, ini baru permulaan, jangan terlalu cepat menyimpulkan" bantahku."Coba kau lihat kondom-kondom berserakan itu. Apa bukan anak jadah?!" sambil menunjuk televisi. "Ketimbang tidak pakai kondom?" aku memang mau membuatnya makin marah. "Maksudku bukan itu, tidak ada urusan soal pahala-dosa di sini. Mestinya bila kita sedang mengusahakan sesuatu yang baik, segalanya dari awal kita kawal dengan perilaku yang baik." "Siapa tahu kondom itu terpakai setelah presiden Soeharto mengundurkan diri?" dia mulai marah. "Ah! Kau belum punya anak istri sih. Jadi belum tahu bagaimana model anak-anakku yang persiapannya matang dengan yang kebetulan jadi." "Reformasi mungkin tidak dikawal dengan perilaku yang seluruhnya baik, semoga sumbernya niat baik dan tetap akan membuahkan sistem lebih baik. Tidak semua pejuang reformasi perilaku seksnya begitu."

"Aku pesimis, reformasi ini hanya pertukaran orang dan nama, bukan sikap mental. Etika, moral dan profesionalisme mengelola negara tidak ada bedanya dengan mengelola proyek kita ini, cuma beda skala. Mau perilaku seks seperti binatang juga, asal tidak mengganggu fungsi saat menjalankan mandat sebagai bagian dari sebuah sistem, tidak masalah."

"Itu kalau sistemnya tidak memberi kita celah membawa sisi lain kehidupan kita saat berfungsi sebagai abdi rakyat. Boleh jadi reformasi ini jenjang untuk memuncaki semua kebodohan kita sebagai bangsa. Kalau sudah di puncak tidak ada jalan lain selain turun. "

"Ya seperti kaulah. Malamnya main judi dan mabuk-mabukan dengan nelayan di belakang. Paginya sudah di lokasi dengan mata merah dan mulut bau tuak. Rumah mesinmu bagaimana? Aku dengar kemarin kau kalah taruhan bola, masih cukup modalmu?"

"Mestinya cukup, kalau mandorku tidak salah kasih instruksi ke tukang cat, weathershield dikiranya cat plafond, tambah lagi semua jenis cat naik 3 kali lipat."
"Mudah-mudahan kenaikan harga ini masuk kategori force majeure. Nanti subuh kau pulang duluan, aku sore nyusul, singgah ke kantor dulu. Minta 30% dari anggaranmu sama Fitri. Kalau bisa jangan kau buat berjudi lagi. Sisanya mau kutahan untuk kau pakai melamar, setahun lagi calonmu sudah siap."
"Aku belum di puncak kebodohanku bos. Heheheu.."
"Terserah, aku hanya mau tahu rumah mesin itu kelar tepat waktu dan sesuai spesifikasinya."

***

Persahabatan kami cukup unik. Dia tahu bahwa salah satu bagian terbesar dari proyek air bersih dan listrik kepulauan yang dia pimpin diserahkannya pada pejudi, berarti ia juga sedang berjudi dengan proyeknya. Tidak ada cara lain untuk bisa percaya orang lain kecuali dengan mempercayainya saja dulu.

Aku kenal dia saat kuliah setahun di politeknik, senior dua tahun di atasku. Ayahnya ulama, selalu disembunyikannya pada kami teman-temannya. Sampai suatu hari di kampus kudapati ia murung, ayahnya jatuh sakit, tubuhnya dipenuhi alat penunjang kehidupan. Ia sedang belajar mengikhlaskan ayahnya pergi lebih dulu.

Esoknya kuberi tahu, ternyata Ayahmu guru agama, dan belum akan berpulang, dia akan kembali sehat. Semalam aku bermimpi ayahmu naik bemo bersama denganku duduk di belakang dan ada 6 apa 7 orang lain, semuanya asyik tafakkur, sepertinya berdzikir, bau mereka wangi-wangi. Ada yang menegurku mengapa aku tidak berdzikir, aku bilang dzikirku belum sampai seperti cara mereka dzikir. Saat bemo yang kami tumpangi lewat di depan pekuburan jalan andi Tonro, salah seorang dari kami turun, dan dia bukan ayahmu. Aku turun di depan rumah, semuanya aku salim satu-satu termasuk ayahmu yang mengelus kepalaku. Dia bilang dia akan turun di rumahnya. Benar minggu itu ayahnya kembali sehat. Sejak itu aku dianggapnya adik, sebengal apapun aku, walau aku sudah pindah kampus di tahun berikutnya dan diam-diam tanpa dia tahu aku belajar ngaji pada ayahnya.

***

Pagi hari aku dapati kawanku masih depan televisi. Semangat sekali mengawal reformasi. Aku masih kepikiran mimpi absurdku. Walau selalu berusaha menganggapnya sebagai bunga tidur, tapi beberapa mimpi dibelakang hari terbukti adalah mozaik dari kehidupan di dunia nyata. Mimpi malam tadi masih nyambung dengan mimpi masa di SMA, aku melihat bulan jatuh menimpa masjid depan rumah tempatku belajar mengeja a-ba-ta-tsa, tapi tidak merusak masjid. Di depan mimbar hanya ada dua keping permata, satu berwarna merah darah satunya lagi bening seperti butiran air. Mimpi tadi malam tentang air juga. Proyek di pulau ini juga membangun instalasi air bersih.

Aku bermimpi berada di Mekah, bukan berhaji. Tahu-tahu sudah di tepi sumur zam-zam, lantai dan dindingnya marmer putih, membuat mata silau tapi hati sejuk. "Tugasmu di sini" kata seseorang yang hanya bisa aku tatap wajahnya melalui pantulan marmer.

"Tuan! Tuan salah orang.. Periksalah lagi catatan kelakuanku beberapa tahun ke belakang.. Belum ada maksiat yang luput dariku.." "Kesalahan bukan sifat kami," lalu disebutnya namaku hingga tujuh "bin" ke belakang.

"Kalau begitu bisakah aku menolak?" Dia belum menjawab, serombongan jama'ah membawa tempat air sudah menyerbu.

Apa maksudnya tugas mendistribusikan air zam-zam? Mendistribusikan gelas-gelas tuak di meja tempat kami biasa minum-minum malah yang sering aku lakukan.

Aku minum bukan karena suka bila dalam keadaan mabuk, tapi karena Aku sok dan bodoh. Sok karena beranggapan peminum dan pejudi hanya bisa diajak berhenti minum oleh peminum dan pejudi lainnya. Bodoh karena praktekkan logika aneh itu. Entah aku percaya suatu saat aku akan berhenti sendiri. Anggaplah aku pemalas, menggunakan pintu termudah untuk diterima di dunia mereka. Dunia ayah seorang gadis kecil yang aku yakini jodohku. Dunia para nelayan "under ground" di pulau itu. Dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia di rumahku sendiri.

"Woi! Berangkat sudah, sisa kau yang ditunggu sampai kapal belum berangkat," kawanku sudah berteriak.

***

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat