Memoar Veteran Pejuang Kemerdekaan Pada Sahabatnya
Zaman Edan dan Doa Buat Husni Djamaluddin
Oleh: Ali Walangadi, terangkum dalam buku "Husni Djamaluddin (alm) yang Kami Kenal" kalo tidak salah gitu deh judulnya. Bukunya ama hardcopy tulisan asli dengan mesin ketik (Pak Ali 88 tahun ini tetangga, guru lukisku, kakek, ayah, teman, sahabat, saudara dan juga musuhku :) ada di Makassar Ada banyak memoar "old-crack" Indonesia utamanya yang sekampung dengan almarhum pak Husni. Tulisan pak Ali Walangadi ini salah satu favoritku dan untuk kali ke-3 setiap bulan Agustus aku repost.
Kita lahir di zaman edan, ketika kita mulai mengenal huruf dan tanda-tanda alam, hutan, laut, dan langit, kita pun melangkah masuk Kota Makassar. Di taman kota terpajang pengumuman dengan huruf besar: “Verboden voor Dieren en Inlander.”
Ketika kita tanya pada papa dan mama: “Apakah kita sama dengan binatang?” Papa diam dan beranjak dari kursi malasnya yang tua, sedang mama diam dan merunduk, “Kok begitu?”
Di Eropa, Perang Dunia II meletus. Jerman dan Italia menyerang negara tetangganya. Belanda porak-poranda. Belanda di Indonesia murka lalu menyatakan perang terhadap Jepang. Kita turut menyumbang “Maandag Cent” untuk membeli pesawat tempur melawan Jepang lalu menyanyi hymne : “Eens komt de dag dat Nederland zal herijzen. Tra la la. Tri li li” Tai di di! (aan: makassar slank, tai di di, means "bullshit")
Jepang telah siap tempur. Dalam waktu singkat seluruh Asia Timur Raya ditaklukkan kemudian mendarat di Filipina dan serentak di Manado, Ambon. Melalui Barombong mereka mengejar Belanda di Sulawesi Selatan. Belanda terbirit-birit mundur. Tak ada satupun peluru keluar dari moncong senjata Belanda dan mengangkat bendera putih di Garege. Kok gitu!
Semboyan Nippon-Indonesia: Sama-sama ne! Hai, Hai, Hai! Umur kita meningkat dewasa. Perlahan-lahan kita berani mengangkat kepala dan berani menatap samurai walaupun tubuh kita kurus kekurangan gizi.
Serangan over lord Sekutu menghujam Jerman. Italia tak berkutik. Mereka menyerah sebelum diserang.
Bom-bom berjatuhan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Jepang di Asia Timur Raya tidak kecuali di Kota Makassar. Mayat-mayat bergelimang darah dengan tubuh tersayat-sayat, baik di jalan maupun di sekolah. Dan tak ada lagi isak tagis terdengar.
Lagi-lagi kita sama dengan binatang. Inilah perang, membunuh atau dibunuh. Dengan dua bom atom Jepang menyerah tanpa syarat dan kaisar Hirohito berjanji tidak berbuat kesalahan yang sama di kemudian hari. Kita adalah sisa-sisa Perang Dunia II. Kita alami ini, kita derita ini, kita menjadi siksa zaman edan ini, tidak dialami generasi setelahnya.
Dengan gerak detik, kita masuk era baru yang tak pernah dialami juga generasi yang telah melahirkan kita. Kita adalah seniman yang menjadi saksi terpercaya di zaman edan ini, kita menjadi penderita dari kebiadaban ini.
Kita yang telah berani menatap samurai, kini menghunus badik, lagecong, tombak dan berperang menatap ke depan membela tanah air Indonesia. Tujuan kami satu, kemerdekaan Indonesia.
Dengan langkah tegap dan mata binar kau masuk SMP Nasional di Makassar sekolah republik pertama di Provinsi Sulawesi. “Kenapa kau kemari. Ini sekolah merah putih, sekolah ekstremis. Masuk ke sini berarti siap mati untuk Indonesia."
“Saya Husni Djamaluddin dari Mandar! Ibu Depu bersama kita kawan seperjuangan.” “Bergabung bersama di sini haram hukumnya berkhianat. Penghianatan akar segala bencana. Bohong, curi, zina, itu juga perbuatan khianat.”
Di sinilah kami bertemu. Belajar dan berjuang untuk Indonesia. Hanya dalam waktu lima tahun saja. Penjajahan selama ratusan tahun kita tumpas dengan badik.
Sejenak kita tafakkur. Kita menatap wajah-wajah para pemimpin kita. Begitu sederhana, tulus. Satu dalam kata dan perbuatan. Betapa bangga jika kita berada di samping Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Mattalatta. Kemulian yang terpancar dari hati mereka, menyejukkan hati kita.
Sejenak kita menghirup udara “kemerdekaan,” lalu berpisah, mencari ilmu, mencari hidup, untuk mengisi kemerdekaan yang telah kita menangkan melalui pengorbanan jiwa, darah, air mata, dan harta benda agar bangsa ini bebas dari kebodohan dan kemiskinan dan dapat hidup sejajar dengan bangsa-bangsa sedunia.
Tahun-tahun menyedihkan mewarnai perjalanan kita yang panjang dan melelahkan. Badai ini meluluhkan semangat juang kita. Keserakahan pemimpin-pemimpin kita tidak dapat dibendung lagi. Bagai air bah menggenangi seluruh daratan tanah air.
Angka 70:30 menjurus menjadi benih perpecahan. ”Di balik baju warna-warni hatiku tiada lagi.” Syair Sitor Situmorang tanpa judul. Lagi-lagi kita dirudung kesedihan setelah banjir darah G/30/S/PKI.
Di saat inilah kita bertemu kembali dalam “Kamar Pertemuan Seniman” lalu bersama-sama menjadi pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM). Memang pada awalnya sempat berjalan baik dengan sisa denyut jantung yang masih setia mengiringi perjuangan kita. Secara sistematis kesenian harus dibendung sebab ia musuh buat Orde Otoriter.
Kita tersisih dan terlempar ke dalam lumpur. Kita terhibur dari duka oleh “Mutiara walaupun dalam lumpur tetap mutiara”. Begitu salah satu bait penyair Perancis, Andre Gide. Memang!
Di saat itulah Husni Djamaluddin melejit, meradang, dan menerjang. Lahir syair-syair Husni Djamaluddin menembus ruang dan waktu tentang kezaliman zaman edan yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Syair-syair tersebut mengisi pustaka Indonesia dan negara tetangga.
Penyair Husni Djamaluddin sekali ke rumah. Itupun hanya sejenak. Tak mau menghirup tehku. Pada wajahnya tertitip senyum kecil. Pada matanya kulihat hatinya. Kutahu engkau datang membawa bait-bait syair dan kemudian kau serahkan sebuah syair “Kisah Seekor Reptil Tua” buat Ali Walangadi.
Kekuatan seniman ada pada matanya. Matanya menembus hatinya. Ia tidak sendiri, ada kekuatan yang halus di dalam dirinya melahirkan ciptaannya. Berbahagialah Mereka Menjadi Seniman:
Sejak Perang Kemerdekaan hingga Reformasi kita bersahabat dan jalan seiring. Kita tak pernah berselisih baik dalam wujud ucapan maupun perbuatan. Inilah persahabatan yang indah dan abadi. Betapa bahagia kita dalam ikatan persahabatan ini.
Dan ketika engkau terbaring rumah sakit di Jakarta sekian lama, kami dengar itu walaupun engkau merahasiakannya lantaran ingin kau kulum sendiri. Untuk itu kami kirim doa setiap kami dengar dan menyebut namamu. Doa dan simpati dari teman seperjuangan, doa dari sesama seniman!
Selamat berjuang sampai akhir. Merdeka!
Tonasa I, 17 Agustus 2004.
Ali Walangadi, pelukis senior Makassar
Bom-bom berjatuhan menghancurkan kubu-kubu pertahanan Jepang di Asia Timur Raya tidak kecuali di Kota Makassar. Mayat-mayat bergelimang darah dengan tubuh tersayat-sayat, baik di jalan maupun di sekolah. Dan tak ada lagi isak tagis terdengar.
Lagi-lagi kita sama dengan binatang. Inilah perang, membunuh atau dibunuh. Dengan dua bom atom Jepang menyerah tanpa syarat dan kaisar Hirohito berjanji tidak berbuat kesalahan yang sama di kemudian hari. Kita adalah sisa-sisa Perang Dunia II. Kita alami ini, kita derita ini, kita menjadi siksa zaman edan ini, tidak dialami generasi setelahnya.
Dengan gerak detik, kita masuk era baru yang tak pernah dialami juga generasi yang telah melahirkan kita. Kita adalah seniman yang menjadi saksi terpercaya di zaman edan ini, kita menjadi penderita dari kebiadaban ini.
Kita yang telah berani menatap samurai, kini menghunus badik, lagecong, tombak dan berperang menatap ke depan membela tanah air Indonesia. Tujuan kami satu, kemerdekaan Indonesia.
Dengan langkah tegap dan mata binar kau masuk SMP Nasional di Makassar sekolah republik pertama di Provinsi Sulawesi. “Kenapa kau kemari. Ini sekolah merah putih, sekolah ekstremis. Masuk ke sini berarti siap mati untuk Indonesia."
“Saya Husni Djamaluddin dari Mandar! Ibu Depu bersama kita kawan seperjuangan.” “Bergabung bersama di sini haram hukumnya berkhianat. Penghianatan akar segala bencana. Bohong, curi, zina, itu juga perbuatan khianat.”
Di sinilah kami bertemu. Belajar dan berjuang untuk Indonesia. Hanya dalam waktu lima tahun saja. Penjajahan selama ratusan tahun kita tumpas dengan badik.
Sejenak kita tafakkur. Kita menatap wajah-wajah para pemimpin kita. Begitu sederhana, tulus. Satu dalam kata dan perbuatan. Betapa bangga jika kita berada di samping Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Mattalatta. Kemulian yang terpancar dari hati mereka, menyejukkan hati kita.
Sejenak kita menghirup udara “kemerdekaan,” lalu berpisah, mencari ilmu, mencari hidup, untuk mengisi kemerdekaan yang telah kita menangkan melalui pengorbanan jiwa, darah, air mata, dan harta benda agar bangsa ini bebas dari kebodohan dan kemiskinan dan dapat hidup sejajar dengan bangsa-bangsa sedunia.
Tahun-tahun menyedihkan mewarnai perjalanan kita yang panjang dan melelahkan. Badai ini meluluhkan semangat juang kita. Keserakahan pemimpin-pemimpin kita tidak dapat dibendung lagi. Bagai air bah menggenangi seluruh daratan tanah air.
Angka 70:30 menjurus menjadi benih perpecahan. ”Di balik baju warna-warni hatiku tiada lagi.” Syair Sitor Situmorang tanpa judul. Lagi-lagi kita dirudung kesedihan setelah banjir darah G/30/S/PKI.
Di saat inilah kita bertemu kembali dalam “Kamar Pertemuan Seniman” lalu bersama-sama menjadi pendiri Dewan Kesenian Makassar (DKM). Memang pada awalnya sempat berjalan baik dengan sisa denyut jantung yang masih setia mengiringi perjuangan kita. Secara sistematis kesenian harus dibendung sebab ia musuh buat Orde Otoriter.
Kita tersisih dan terlempar ke dalam lumpur. Kita terhibur dari duka oleh “Mutiara walaupun dalam lumpur tetap mutiara”. Begitu salah satu bait penyair Perancis, Andre Gide. Memang!
Di saat itulah Husni Djamaluddin melejit, meradang, dan menerjang. Lahir syair-syair Husni Djamaluddin menembus ruang dan waktu tentang kezaliman zaman edan yang menyengsarakan rakyat Indonesia. Syair-syair tersebut mengisi pustaka Indonesia dan negara tetangga.
Penyair Husni Djamaluddin sekali ke rumah. Itupun hanya sejenak. Tak mau menghirup tehku. Pada wajahnya tertitip senyum kecil. Pada matanya kulihat hatinya. Kutahu engkau datang membawa bait-bait syair dan kemudian kau serahkan sebuah syair “Kisah Seekor Reptil Tua” buat Ali Walangadi.
Kekuatan seniman ada pada matanya. Matanya menembus hatinya. Ia tidak sendiri, ada kekuatan yang halus di dalam dirinya melahirkan ciptaannya. Berbahagialah Mereka Menjadi Seniman:
penyair itu
akulah itu
mawar itu
kaulah itu
sayangku
Sejak Perang Kemerdekaan hingga Reformasi kita bersahabat dan jalan seiring. Kita tak pernah berselisih baik dalam wujud ucapan maupun perbuatan. Inilah persahabatan yang indah dan abadi. Betapa bahagia kita dalam ikatan persahabatan ini.
Dan ketika engkau terbaring rumah sakit di Jakarta sekian lama, kami dengar itu walaupun engkau merahasiakannya lantaran ingin kau kulum sendiri. Untuk itu kami kirim doa setiap kami dengar dan menyebut namamu. Doa dan simpati dari teman seperjuangan, doa dari sesama seniman!
Selamat berjuang sampai akhir. Merdeka!
Tonasa I, 17 Agustus 2004.
Ali Walangadi, pelukis senior Makassar