Husni Djamaluddin Bergabung dengan Kehendak Allah Saja

Tulisan Taufiq Ismail, yang kebetulan masih nangkring dalam PC di Makassar.

Tengah hari, Selasa 7 September 2004, sahabat kami Husni Djamaluddin muncul di Rumah Horison, Jalan Galur Sari II/54, Jakarta Timur. 

Koalisi penyakit di dalam tubuhnya telah menjadikan dia alumnus (paling kurang) lima hospital: Rumah Sakit Akademis, MMC, Persahabatan, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Pisau bedah telah menyayat-nyayat tubuhnya dua kali untuk menyingkirkan kanker di saluran pencernaannya dan meringkas sembilan meter ususnya. 

Dalam tiga tahun terakhir ini, penyair ini telah melompat-lompat antara hayat dan maut silih berganti dengan tangkas dan ritmis, menghindar jangan sampai tersentuh tali yang diayun-ayunkan ke kiri ke kanan ke atas ke bawah dalam permainan kehidupan ini, mondar-mandir Makassar-Jakarta-Makassar-Jakarta. 

Husni kelihatan segar siang itu. Dia memperhatikan galeri foto sastrawan yang baru disusun rapi fotografer-wartawan Ed Zoelverdi di dinding ruang tamu Rumah Horison, dan melihat citra wajahnya dibingkai. 

Husni suka sekali fotonya yang diambil Ed itu.

“Belum pernah saya melihat itu,” katanya. “Bagus sekali.”

Ed memang memiliki kemampuan merekam karakter obyek pemotretannya. 

Himpunan lengkap empat kumpulan sajaknya, Indonesia, Masihkah Engkau Tanah Airku?, Pustaka Jaya, telah terbit, mendahului peringatan ulang tahunnya ke 70 (10 November 2004). Dalam sisipan Kakilangit/Horison, edisi Agustus 2004, orang Mandar ini menjadi penyair tamu yang dibicarakan khusus sepanjang 13 halaman. 

Saya tanyakan apakah undangan untuk besok peluncuran buku baru saya Katastrofi Mendunia ---Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba, 8 September pukul 14:00 di TIM sudah sampai? Sudah, katanya, dan dia akan datang. (Karena salah baca, Husni datang malam harinya. Dia disambut galeri yang gelap, dan sejumlah karangan bunga yang masih dipajang di depannya).

Husni memiliki rasa humor yang tinggi. Dia memberi saya tiga helai kertas ketikan puisi barunya. Halaman pertama berbunyi begini:

Apa Kata Rakyat Tentang HPH Konglomerat
seluruh kawasan hutan ini kita yang punya
kecuali pohon-pohonnya.
Makassar, 17 Agustus 2004.
Sajak ini baru berumur 20 hari. Saya tertawa terbahak-bahak membacanya. Rasa jenaka yang kritis ini khas Husni, baik dalam sajak maupun dalam percakapan sehari-hari. Dia sering mengejutkan orang dengan metafor-metafornya. Sejenak saya lupa bahwa sahabat saya ini, alumnus lima hospital penting, dalam keadaan sakit. Istilah cuti, biasanya melekat pada pekerjaan. Bagi Husni, istilah ini merujuk pada rumah sakit.

Demikianlah, dia berkali-kali mendapat cuti rawatan rumah sakit, karena kegiatan kemasyarakatannya. Dalam memperjuangkan terbentuknya provinsi baru Sulawesi Barat, yang makan energi dan waktu banyak, ketika delegasi harus pergi ke DPR-RI, Husni sebagai penggagas dan aktivis yang masih terbaring di rumah sakit, tiba-tiba seperti hilang sakitnya, minta cuti untuk ikut berangkat berunding di DPR. 

Begitu pula ketika berlangsung acara Indonesia International Poetry Festival di Makassar (2002), saat dia harus dioperasi di Jakarta, Husni mendapat cuti, bangkit dari pembaringannya di rumah sakit. 

Sebagai penyair senior paling dihormati di Indonesia Timur, kehormatan membuka acara dunia itu diserahkan kepadanya, dengan membaca tiga puisi yang akan dikenang lama sekali, yaitu “Namaku Toraja”, sebuah puisi indah tentang Tana Toraja, “Salib”, mengenai Jesus yang turun ke Jerusalem kini dan kecewa melihat kondisi di dunia, dan “Tepi”, puisi menghormati Mandela.

Baca puisi hebat itu dilakukannya di atas kursi roda. 

Hadirin gemuruh bertepuk tangan, termasuk penyair-penyair dari lima negara luar. Sehabis baca puisi pembukaan itu Husni langsung dilarikan ke bandara, terbang ke Jakarta untuk operasi keesokannya. 

Saya tidak tahu macam apa ketahanan badannya, menangkis rasa nyeri di tubuhnya itu.

Kini Husni, Ati dan saya makan siang bersama, Selasa 7 September itu. Husni bercerita bahwa dia sudah lepas dari semua kehendak pribadi. Dalam hidup, ujarnya, kita condong membuat daftar panjang kehendak, tapi banyak betul yang tak tercapai. Ternyata yang pasti tercapai adalah kehendak Allah. Karena itu, Husni memutuskan, dia bergabung dengan kehendak Allah saja. Dia tak lagi memikirkan dosa, tak lagi mengurus pahala. Husni menyerahkan semua itu bulat-bulat pada Allah semata. 

Saya tercenung mendengarkan Husni. 

Maqam sahabat saya ini sudah tinggi benar. Saya merasakan ucapannya tidak dibuat-buat, karena gelombang getaran kata-katanya masuk mulus tanpa gangguan ke dalam kalbu saya. 

Selepas shalat asar di rumah adik iparnya, Azwan Hamir, suatu sore Februari yang lalu, Husni berdoa minta panjang umur. Tiba-tiba dia merasa luar biasa malu pada Allah. Sudah diberi usia (hampir) tujuh puluh tahun, kok masih minta panjang umur juga? Husni merasa sangat-sangat-sangat malu pada Sang Maha Pemberi dan Maha Pemurah itu. Karena keputusan bergabung dengan kehendak Allah itu, antara kehilangan dan mendapat, tak terasa lagi bedanya.

Di bulan Februari silam itu dua barang mahalnya, arloji Raymond Weil dan telepon genggam Nokia-nya hilang. Raib. Aneh, kata Husni. Dia tidak merasa rugi, tak risau apa pun. 

Minggu yang lalu, Agustus 2004, seorang kawannya yang kaya-raya (pemilik mobil balap Bentley seharga 10 milyar rupiah), mendengar Husni kehilangan arloji, memberinya ganti. Tidak tanggung-tanggung, dia dihadiahi arloji Vacheron Constantine, produk Jenewa, seharga $AS21.000. Dikonversi ke kepeng kita, setara Rp189 juta. 

“Saya tidak merasa jadi kaya,” kata Husni. 

Sekali lagi saya merasakan ucapannya polos tak berpura-pura, karena gelombang getaran kata-katanya masuk mulus tanpa gangguan ke dalam kalbu saya. 

Saya memeriksa arloji Jenewa itu dipergelangan tangan kiri Husni. “Cobalah pakai,” kata Husni. 

Saya coba pakai. Seumur hidup baru kali itu saya menyentuh kronometer seharga tiga rumah itu.

Dalam menu makan siang di Rumah Horison waktu itu antara lain terhidang kari ayam. Husni terkejut. “Masya Allah,” katanya. “Ada apa?” tanya Ati. 

Sejak dari rumah pagi tadi, dia ingin betul makan kari ayam, sehingga berencana mau mencarinya ke restoran. Eh, karena Allah menentukan menu siang itu di Horison kari ayam, dan Husni sudah berkoalisi dengan kehendak Allah, maka secara tepat kari ayamlah yang diperolehnya. 

Sebagai alumnus S-5, tamatan 5 hospital penting, zikrul-maut sudah basah di lidah dan bibir Husni. Wiridnya antara lain membaca shalawat Rasul 202 kali sehari. 

Penyair yang pernah tiga kali bertemu Rasulullah Muhammad SAW di dalam mimpi sebelum shalat subuh ini (pengalaman rohani luar biasa hadiah bagi seorang Muslim, bahkan kiyai-kiyai pun belum tentu mengalaminya), sebulan yang lalu, 7 Agustus 2004 menulis puisi mengharukan tentang El-Maut berikut ini:

Ajal, Sebelum Datang
Ajal sepertinya semakin mendekat setelah dua tahun lewat aku digerogoti kanker usus stadium empat ajal adalah tamu yang tak mungkin kuhindari tamu yang tak tahu basa-basi dan tak kenal kompromi ajal pelaksana eksekusi yang taat pada waktu tak mau terburu-buru tapi tak pernah terlambat biar sesaat ajal adakah pilihan lain kecuali menunggumu di depan pintu dengan sikap tawakkal atas segala amal dan dosa-dosaku ajal kau tahu apa yang paling kudambakan menjelang detik-detik kedatanganmu ampunan dari Tuhan doa dari keluarga dan simpati dari teman-teman ajal jemputlah kapan saja pada saatnya toh kita bukan seteru kita adalah sekutu yang mestinya sudah kenal sejak dari awal ajal sebelum kau datang perkenankan aku bilang selamat pagi matahari selamat malam rembulan aku cinta kehidupan
Makassar, 7 Agustus 2004


Puisi ini ditulis dalam lembar halaman 2 dan 3 kertas ketikan yang diberikannya kepada saya tadi. Di rumah saya merenungkan kedalaman makna zikrul maut yang digoreskan sahabat saya Husni Djamaluddin, yang cuma bisa ditulis penyair yang telah diping-pong intensitas pengalaman fisik dan batin, melintas net antara hayat dan maut.

Terima kasih Husni, terima kasih. Kapan saya akan sanggup mengikuti siraath Anda, bergabung dengan kehendak Allah semata?

Jakarta, 27 September 2004. Taufiq Ismail, penyair dan salah seorang pendiri majalah sastra Horison.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Debat

Ejapi Tompi Na Doang