Kesadaran Semesta

Setiap melewati jalan Kumala, kadang juga sejak keluar dari rumah di jalan daeng Tata, mataku selalu melirik apa saja, mendengar apa saja, mencium bau apa saja, tanpa diniatkan sebelumnya. Biasanya saat sudah mau keluar, kepalaku fokus mikirin gimana mencapai target dan tujuanku keluar rumah. Tentu ada tujuan yang absurd, seperti pengen keluar aja. Ada juga tujuan yang konkrit seperti menyelesaikan pekerjaan di suatu tempat. Kadang juga ada interupsi sesaat sebelum keluar, ibu yang mengingatkan makan dulu, ponakan yang manggil karena belum salim, dll. Toh proses mendengar, melihat dan mencium tanpa diminta tetap berlangsung.

Informasi-informasi ini tidak semua berlanjut menjadi "kepikiran" beberapa hanya numpang sebentar di "short term memory" sebelum mekanisme "flush" atau "timpa data lama dengan data baru" mengenainya. Motor yang aku kendarai, lobang, tikungan jalan, asumsi rata-rata pengguna jalan lainnya, kebiasaan mereka, dan beberapa unsur "kejutan" yang sudah biasa kita temui di jalan, bagai data "GPS" yang terinput masuk ke otak, kemudian mengeset "auto respond" pada setiap kemungkinan ke tangan yang memegang handle rem dan gas. Kupikir kita semua mengalami itu, yang baru saja aku sadari dan coba merunutnya, sambil menunggu kabar dari teman di warung kopi.

Tidak Ada Kebetulan
Semua kejadian kecil, remeh temeh adalah bagian dari sebuah "rencana" super besar. Seperti "butterfly effect" kepakan sayap kupu-kupu di Amazon adalah penyebab badai di Arizona? Aku merasa semua kemungkinan dan pilihan, dari tahun, bulan, hari, jam, hingga sepersekian detik sudah "terancang" sebelumnya, kemudian "tergambar" tepat saat kita melalui atau melihatnya. Aku merasa ada "keteraturan" yang amat teratur. Bahkan bila aku bertindak "random" atau apa yang aku anggap acak tanpa rencana, atau berlaku "ingkar", tetap terasa "keteraturannya". Bahkan kadang kita temui beberapa "aturan" bersifat "memaksa" dan "harus" dilalui. Misalnya, keadaan tanpa pilihan.

Akal Budi, Nurani, Emosi dan Perasaan
Andai tak ada cinta yang absurd, hidup rasanya kering dan mekanis. Sejak dari bangun tidur hingga kembali tidur dan dalam keadaan tertidur, sebagian besar adalah proses "yang memang sudah seharusnya" demikian.

Kita tak lebih seperti asteroid, bulan, bintang atau elektron tanpa nama dalam sebuah atom, andai manusia tidak punya akal budi, nurani, emosi dan perasaan dalam menjalani hidup, saat menyadari bahwa ada "road map" maha besar dimana "road map" hidup kita bagai debu di dalamnya. Road map maha besar yang mengatur trilyunan "debu" lainnya, membentuk "universe road map". Wallahu'alam..

Pada skala tertentu, manusia sebenarnya bisa merancang dan merencanakan "road map" hidupnya, orang lain, keluarganya, kampungnya, bangsanya, hingga seluruh bangsa di dunia, dengan atau tanpa membuat orang lain tersebut merasa terenggut "kebebasan berkehendak".

Contoh dalam ilmu planologi (tata kota), master plan sebuah kota mengatur zonasasi wilayah, daerah pendidikan, daerah pemukiman, daerah niaga, daerah industri dan seterusnya, namun tidak bisa mengatur "bentukan dan tumbuhan" baru, seperti zona dagang kecil dalam daerah pemukiman, warung kecil dalam pemukiman, atau kegiatan berdagang tanpa outlet, pedagang door-to-door dalam kompleks. Master plan bisa mengatur arah tumbuh sebuah kota, tanpa membuat manusia yang tinggal dalam kota tersebut merasa terenggut kebebasannya oleh pembagian zona.

Road Map Indonesia
Kadang bingung sendiri dan tidak bisa mengerti, di negeri ini begitu banyak orang pandai, berpengetahuan luas dengan cakupan kekuasaan lebar namun tidak bisa "mengarahkan" dengan jelas bangsanya mau dibawa kemana. Keadaan tanpa "visi" ini ujungnya cuma "chaos". Chaos dalam banyak konteks, bisa kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, beragama, etika, moral, dan semuanya. Biasanya setelah chaos, akan tercipta sistem "rimba" dan "alami". Tanpa visi bagaimana kita bisa tahu akan kemana? Hanya dengan punya visi, baru bisa "menggambar" jalan konkrit untuk mencapainya, tanpa itu hanya jalan centang-prenang bentukan visi kelompok masing-masing. Puji Tuhan, tidak semua bentukan-bentukan alami itu egois dan merusak. Banyaknya komunitas tumbuh, dan memiliki visi yang sama, ingin membuat bangsa ini lebih baik dan tak berharap banyak pada pemerintah tanpa visi. Tak hanya diam atau duduk berkomentar menggerutu. Tidak peduli perannya besar atau kecil, selama masih berperan, masih tetap harus disyukuri. Besar dan kecil bukan soal skala cakupan saja, besar itu volume, tak hanya melebar-memanjang tapi juga mendalam.

Saat ikut penelitian AMDAL pembukaan jalan baru di Sulawesi Tengah, aku belajar banyak tentang air dan "kerusakan" yang bisa ditimbulkannya bila tak diatur. Sebelum membangun jalan yang akan mengikis sisi gunung, 1-2 tahun sebelumnya telah diteliti "pola" pergerakan angin, air hujan dan sungai-sungai, lalu memprediksi perubahan pola setelah jalan dibangun hingga 20-50 tahun ke depan. Lalu dirancanglah pengalihan aliran sungai dengan memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan dan ekosistem di sekitar. Pada tanah pertanian di lereng, hewan di hutan dan tetumbuhan. Melihat apa yang mungkin akan terjadi di masa akan datang itu visi, dan merancang perubahan alur sungai itu "jalan" mencapai visi. Ah, analogi sederhana ini dimakan mentah kok sama "regulator".


*footnote; Nulis ngelantur begini membantu banget ilangin suntuk menunggu. Tulisan ini pun aku yakini sudah "terencana" sebelumnya. Seperti keruwetan hidup lainnya. Jalani aja, semoga bisa stay grateful. Mengurai benang kusut di keramaian itu kerjaan tukang sulap yang memang harap pada teplokan atau cacian penonton. Aku bukan tulang sulap. Semoga minggu ini sudah bisa "keluar" menemui siapa saja yang memegang ujungnya. Bisa panjang begini, padahal pemicunya adalah papan iklan besar di bundaran pasar pabaeng-baeng, hari ini wajah di iklan besar itu mirip siapa?

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat