Selamat Jalan Mas Danarto (27 Juni 1940 - 10 April 2018)

"Ternyata kematian itu membahagiakan. Sungguh di luar dugaan. Kematian itu tidak terbatas. Luas bagi cakrawala. Mengapa harus ditangisi? Jelas ini salah tafsir." (Danarto, 2008:10)

Berkenalan dengan cerpen-cerpen mendiang awalnya dari majalah Matra, majalah lelaki tahun 90an yang memuja maskulinitas dengan beberapa lembar foto perempuan-perempuan yang membuat dadaku bergemuruh di usia yang kurang setahun dua puluh ketika itu. Membaca cerita pendek tulisan mendiang sengaja kulakukan paling akhir sebelum meletakkan kembali majalah ke rak buku, syahwatku tertunduk malu setiap kali berhadapan dengan metafora yang digunakan Mas Danarto dalam cerita pendeknya.

Banyak tulisan mendiang yang meninggalkan bekas, meluaskan, mewarnai cakrawala berpikir dan imajinasiku. Aku masih ingat ceritanya tentang malaikat maut yang ketika membentangkan sayapnya membuat gerhana segalaksi Bima Sakti, tetapi mampu menyamar menjadi guci keramik pajangan di ruang tamu seorang saudagar. Sejak membaca kisah itu, selama beberapa tahun selalu curiga pada setiap guci besar di ruang tamu rumah yang aku kunjungi.

Tulisannya adalah tulisan kedua yang kuanggap membenarkan imajinasi antara terjaga dan tertidur ketika diselimuti kegelapan yang menyerap seluruh cahaya disekitarku. Pertama, tulisan GM. Sudharta kartunis Kompas yang menggambarkan sosok malaikat maut sebagai makhluk terpekat dari semua hitam yang paling gelap, yang mengunjunginya ketika sedang sakit keras. Sementara mendiang menggambarkan malaikat maut memiliki seribu mata di sekujur tubuh dan sayapnya. Awas mengintai setiap manusia yang diharuskan berpulang.

Walaupun imajinasi dan halusinasiku mendapatkan pembenaran dari tulisan-tulisan mendiang, tidak pernah berani merasa telah disapa oleh dua malaikat Tuhan. Penggambaran mendiang tentang Jibril juga kubenarkan jika pembandingnya halusinasi absurdku lainnya. Jibril sosok yang ceria, wangi, tinggi, tegap, putih dan bersih, dia usil dalam konteks ingin membahagiakan dan menghibur, tetapi tak sanggup menahan kesedihan ketika melihat manusia mati-matian demi kehidupan kini yang tak abadi.

Akulah Jibril, yang pada suatu hari melihat sebuah sekolah dasar yang anak-anaknya sedang mampat pikirannya, maka kutukikkan layang-layangku seperti hendak menyerbu layang layang yang lain, tepat di tengah atap itu: brag-brag kada brag beberapa genting kuperintahkan jatuh, tentu saja kubikin tidak mengenai mereka, melainkan kepingan-kepingan itu biarlah jatuh di lantai saja. Mereka jadi terkejut, semuanya menengok ke atas yang tanpa langit-langit itu, hingga lubang yang menganga itu menghantarkan sinar matahari ke dalam. Setelah itu kukirimkan hujan khusus lewat lubang atap itu. Mereka bubar keluar. Di halaman sekolah guru dan murid-murid itu terheran heran memandang ke langit. Bagaimana mungkin ada hujan setempat yang begitu kecil, demikian mereka saling berkata, yang semuanya kusambut dengan tersenyum saja. Yang menyenangkan adalah pikiran guru dan murid-murid itu menjadi segar dan kemudian mereka ramai-ramai belajar di sebuah bukit yang rimbun di seberang halaman sekolah. Sebenarnya itulah yang kukehendaki. Mengapa mesti belajar di dalam kelas saja? Apakah padang rumput yang luas itu bukan kelas? (Kutipan Cerpen "Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat" - Danarto)


Usai magrib dan isya tadi kubisikkan doa, yang semoga sampai ke telinga mendiang Mas Danarto, aku ini muridmu yang mengaji karya-karyamu.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat