Utopia Mengeuforia Paranoia **

Intrik Pilkada DKI Jakarta 2017 'terpaksa' menjadi konsumsi nasional karena statusnya sebagai ibu kota negara dan semua media nasional bermarkas di sana. Tidak semuanya buruk, kami di daerah bisa belajar bagaimana para politikus di Jakarta menggoreng isu yang berskala nasional, mendunia hingga akhirat. Keadaan yang eskalasinya melebar, menyebar, kemana-mana tidak tertebak dan beberapa luput diantisipasi. Hampir sama tidak jelasnya dengan judul yang menjadi pilihan redaksi untuk opini pertama di tahun 2017 (** mestinya ini dimuat di kolom opini situs komunitas pewarta warga di wartakita.id yang sedang ganti server sampai malam nanti).

Penggerak kehidupan dunia dan menuju akhirat masih sama dari jaman manusia mulai mengenal hidup berkelompok dan memilih pemimpin kelompoknya: utopia; euforia; dan paranoia, yang artinya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:


Kapitalisme mengkonversi segala sesuatu menjadi kapital dan bisa diuangkan. Segila apa pun nafsu manusia pada uang, penggeraknya tidak akan lepas dari tiga hal di atas, bedanya ada yang dengan sadar menjadikan uang sebagai alat, dan ada yang tidak sadar sedang diperalat uang. Sama saja antara yang memperalat dan diperalat uang karena dasarnya sama, dorongan utopia, euforia dan paranoia* (*di sini = ketakutan tidak beralasan).

Atau sesosialis bagaimanapun seseorang yang agamais, komunis dan fasis, meski malu mengakui bahwa nilai dalam semua ideologi dan agama kini banyak yang menjual dengan harga tertentu atau nilai tukar, semangatnya juga digerakkan oleh utopia, euforia, dan paranoia. Sama saja dengan kapitalisme.

Harapan dan ketakutan adalah 'alat bantu' yang digunakan Tuhan pada manusia sebelum mulai mengenal dan mencintai-Nya, manusia yang bermain dengan 'perkakas' Tuhan pada manusia lain sudah pasti tidak memiliki daya untuk mengendalikan ujung dari harapan dan ketakutan manusia di akhirat, euforia belaka.

Sekuat apapun keinginan seseorang untuk meraih kehidupan akhirat yang baik, sulit melepaskan diri dari dorongan rasa takut dan harapan, mungkin karena dua kesamaan tersebut hingga akhirat terbawa-bawa ke politik dan kekuasaan dunia.

Politikus sebaiknya tahu dan pertimbangkan kadar pemahaman dan pengendalian emosi penduduk Jakarta dan Indonesia sebelum membawa masalah akhirat ke panggung politik. Sebelum panggung nasional yang sedang diisi oleh panggung lokal menimbulkan keriuhan seperti sekarang.

Ormas diadu, masyarakat terkotak-kotak, ketakutan dibesar-besarkan. Takut pada kebangkitan PKI, takut kebhinekaan tercabik, dan takut pada persatuan umat Islam setelah aksi 411 dan 212 posisinya sama dan sejajar, takut pada sesuatu yang bukan Tuhan. Mengekspresikan rasa takut tidak membawa perubahan apa-apa, kecuali memang ingin menunggangi rasa takut sebagai kendaraan meraih kekuasaan. Redaksi yang berbasis di Makassar tidak ingin membahas riuhnya Pilkada DKI Jakarta lebih jauh, lebih tertarik dengan hikmah yang bisa kami pungut dari kebisingannya.

Nasionalisme dan kebhinekaan tidak akan rusak karena keteguhan umat beragama memegang keyakinannya masing-masing, tapi rusak oleh kebelum-pahaman tentang ajaran agama masing-masing yang dasarnya ingin membaikkan diri sendiri sebelum orang lain ikut tertarik ikut baik. Rusak oleh ketidak mampuan menerima perbedaan agama dan perbedaan kemampuan memahami perbedaan.

Bila kekuasaan dunia dan politik ingin mewujudkan utopia, dengan menggunakan euforia dan paranoid sebagai alat sekaligus semangatnya, silahkan saja. Indonesia terlalu besar untuk ditentukan nasibnya oleh keriuhan Pilkada Jakarta.

Namun tidak demikian halnya bila umat beragama yang terlanjur terbawa-bawa, perjalanannya jangan terhenti pada harapan dan ketakutan. Harus diteruskan, hingga mengenal Tuhan yang kadang membuat harapan sebagai satu-satunya tempat bergantung, dan di lain waktu menjadikan ketakutan sebagai dorongan untuk terus maju, dan akhirnya ketakutan dan harapan lepas dari genggaman saat mulai mengenal apa yang membuatnya takut, membuatnya harap, kemudian jatuh cinta.

Jangan tertipu slogan dan pamflet ideologi, membaikkan tidak melibatkan nafsu, nafsu mutmainnah bukan berarti nafsu ingin membaikkan, tapi nafsu yang telah tenang dan tunduk tanpa dorongan keinginan sekalipun keinginan membaikkan.

Semoga kekuasaan dan politikus juga bisa belajar dari cara Tuhan mengajar manusia lewat ketakutan dan harapan. Melepaskan utopia, euforia dan paranoia, sebelum cinta menjadi sebab dan tujuan berkuasa.


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat