Tambahan Review Novel Atheis

Kemarin baru menulis review novel klasik, Atheis. Novel karya Achdiat K. Mihardja diterbitkan Balai Pustaka tahun 1948, yang tema dan pesannya masih relevan sekarang, 68 tahun kemudian.

Kepingin menambahkan di halaman reviewnya, tapi ada aturan dilarang mengubah apa yang telah dimuat setelah batas unggah review semalam pukul 24.00, karena akan dikompetisikan. Padahal masih banyak yang ingin ditambahkan. Di sini saja tambahannya.

Ada semacam euphoria, melihat bagaimana sastrawan 68 tahun silam telah bergelut dengan hal yang kini masih relevan, hingga masih ingin mengulasnya malam ini.

Meski coba disamarkan, namun masih terasa Achdiat melalui novelnya mencoba merekonstruksi pondasi bangunan keyakinan beragama dan pondasi ketidakyakinan kaum rasionalis-atheis pada Tuhan.

Titik Temu Atheis dan Theis

Titik temu atheis dan theis ada pada kisah Ibrahim mencari Tuhan. Nabi Ibrahim Alaihissalam, tidak sekedar mempertanyakan eksistensi tuhan di masyarakat dan di keluarganya sendiri. Ayahnya adalah pematung yang membuat berhala sesembahan.

Apa yang dianggap tuhan oleh masyarakat di masa itu dihancurkan oleh Ibrahim. Seolah belum cukup dengan menghancurkan, masih dilanjutkan dengan meledek ayahnya. Sengaja satu patung paling besar dibiarkan utuh untuk dikalungi kapak, agar bila esok ayahnya bertanya siapa yang menghancurkan tuhan-tuhannya, Ibrahim bisa menunjuk patung yang berkalung kapak. Tentu saja ayahnya marah, mana bisa patung menghancurkan patung lain. Kemarahan yang meruntuhkan keyakinan milik ayahnya sendiri terhadap apa yang selama ini dianggapnya tuhan.

Sebelum memutuskan merubuhkan berhala, Ibrahim telah selesai mengeksplorasi ketuhanan. Dari menganggap bulan, bintang dan matahari sebagai tuhan, hingga akhirnya sampai pada kesimpulan: bahwa pencipta apa-apa yang dianggapnya tuhan, itulah Tuhan.

Sementara manusia masih bergelut meruntuhkan berhala dalam diri sendiri, berhala terus berevolusi dari bentuk nyata berupa patung sesembahan menjadi abstrak. Berupa kekuasan, uang, popularitas, citra baik, gelar akademis, status sosial, hegemoni, bahkan tak jarang agama dituhankan, dan lain-lain.

Atheis adalah proses yang (idealnya) dialami oleh kaum theis. Iman adanya setelah ragu, menurut imam Al Ghazali. Layaknya sebuah perjalanan, ada yang berjalan makin dekat, ada juga yang putar balik makin menjauh, ada yang tak kemana-mana dan ada yang diperjalankan.

Atheis bukan isme. Secara logika bila atheis menjadi isme, maka itu bukan atheis. Gagal logika bila ketidakyakinan ternyata sebuah keyakinan juga.

Meski secara garis besar atheis didasari sikap tidak percaya pada agama dan Tuhan, ada banyak 'genre' dalam atheis. Seperti tokoh atheis dalam novel tulisan Achdiat dilatari beragam sebab.

Atheis karena komponen-komponen utama agama, Tuhan, surga-neraka, pahala-dosa dianggap absurd dan mistis.

Semua yang mistis ghaib, namun tidak semua yang ghaib mistis dan klenik.

Ghaib dan tidak gaib, nyata dan tidak nyata, tergapai indera atau tidak, tak ada bedanya dengan fenomena "Black Swan". Satu pengetahuan baru selalu beriringan dengan ketidaktahuan dan tanda tanya baru. Apa-apa yang belum bisa dibuktikan oleh sains bukan berarti tidak ada. Energi ghaib kok.

Rasa takut Hasan pada dosa, Tuhan dan neraka digambarkan Achdiat sejajar dengan rasa takut pada kuburan keramat Mbah Djambrong. Mungkin akibat sistem pendidikan lewat mekanisme hukuman-imbalan yang keterusan. Pola yang mestinya ditinggalkan saat akal sehat telah tumbuh kembang melalui pendidikan, pengalaman dan pemahaman.

Ujian, tes, tidak semestinya menjadi tolok ukur keberhasilan seorang pelajar. Nilai hanya indikator, sorga dan neraka hanya indikator kelayakan dan ketidaklayakan. Tujuan utama belajar adalah paham, kenal dan akrab dengan apa yang dipelajarinya. Mungkin Hasan lebih banyak mengenal wajah Tuhan dari sisi kemahaadilan-Nya yang tidak tedeng aling-aling. Padahal, ada berlapis-lapis ampunan dan kasih sayang sebelum hukum-Nya tegak.

Menurut Ali R.A. kepatuhan seseorang yang takut pada dosa dan neraka adalah ibadah para budak, ibadah karena harap imbalan pahala dan surga adalah ibadah para pedagang, sedangkan ibadah para pencinta adalah karena mencari keridhaan Tuhan.

Tingkat kepatuhan layaknya budak dan pedagang juga bukan tingkat yang mudah diraih. Namun sesulit apapun mestinya tidak dijadikan tempat berhenti. Karena yang menjadi motivasi hingga bisa berada di kedua tingkatan tersebut masih sejajar dengan manusia, sama-sama ciptaan Tuhan. Surga dan neraka sebagai konsekuensi pahala dan dosa, keduanya ciptaan. Belum Tuhan. Bukan berarti berani pada neraka dan tidak harap pada sorga, tidak searogan dan sesombong itu perjalanan mengenal dan menuju Tuhan.

Update 23/7/2016

Sorga dan neraka, pahala dan dosa, bukan mekanisme yang hanya bisa ditemui di kehidupan setelah mati. Sudah dimulai sejak sekarang di dunia, berlaku umum tanpa mengenal batasan ras dan ideologi, dari kaum theis atau atheis, bahkan seluruh komponen semesta terikat hukum: yang berbuat baik maka kebaikan itu untuk dirinya sendiri, yang berbuat buruk maka keburukan itu untuk dirinya sendiri.

Coba sesekali amati data statistik bencana alam di suatu negeri dan cari korelasi antara banyaknya kerusakan yang dilakukan oleh manusia yang hidup di sana. Atau coba amati penduduk suatu negeri yang masih belajar memanusiakan manusia lain, berapa manusia yang terserang sakit jiwa hingga ada yang mudah saja membunuhi kaumnya sendiri.

Atau dalam skala individu, adakah manusia yang merasa tersiksa setelah berbuat baik? Atau adakah manusia yang bahagia dengan melakukan keburukan? Memang ada yang terpaksa berbuat baik, memang ada yang menikmati perbuatan buruk. Merasa terpaksa dan menikmati perbuatan buruk adalah proses antara, masih ada proses lain setelahnya.

Atheis karena agama gagal membawa perubahan sosial ke arah yang lebih baik.

Umat beragama beda dengan agama. Agama juga bukan alat politik. Bila ada yang menjadikan agama sebagai alat untuk meraih kekuasaan, maka harus kembali belajar lagi apa tujuan beragama.

Update 28/07

Alangkah tidak ilmiahnya bila seluruh persoalan umat manusia di muka bumi dibebankan kepada kaum beragama atau agamanya sebagai sumber masalah yang tidak bisa memberi solusi.

Benar, hampir semua umat beragama mengklaim agamanya adalah jalan keluar terbaik dari semua persoalan di dunia, bahkan di kehidupan setelah mati. Klaim tersebut bukan tanpa dasar. Bila dipahami secara tekstual, tentu tidak logis. Naif dari sejak membaca ayat maupun dogma tentang agama sebagai ‘pintu ke mana saja’ untuk keluar dari semua persoalan.

Adakah ilmu tentang cetak-mencetak, layar tipis yang bisa menampilkan teks dalam kitab-kitab suci yang menyebut bahwa agama adalah jalan keluar bagi semua persoalan, bukan diambil dari ilmu agama tapi pakai ilmu teknik.

Doktrin tersebut sejak semula sudah memberikan signal bukan untuk dipahami secara tekstual. Bahkan untuk beragama itu sendiri, dibutuhkan banyak ilmu pengetahuan lain yang tidak disebutkan dalam ajaran agama. Menentukan arah kiblat misalnya, tanpa kompas bagaimana awam di belahan bumi lain menghadap kakbah, saat malam dan langit gelap tanpa bintang dan bulan.

Memahami agama tidak bisa seperti memahami obyek di bawah mikroskop, diobservasi, ditelaah dan dicatat. Di mana antara observer dengan obyek atau subyeknya berjarak. Agama sebagai pengetahuan, keterampilan teknis beribadah (syari’ah) dan ajaran-ajaran kearifan dan kebijaksaan memang bisa dipelajari layaknya mempelajari ilmu-ilmu lain.

Dimulai dengan tahu, lalu paham, kemudian kenal dan semoga akhirnya akrab. Tahu dengan belajar-mengajar, paham dengan konsistensi melaksanakan ajaran. Kenal lalu akrab, tahap yang hanya dengan Rahmat Tuhan bisa mencapainya.

Agama hanya bisa dipahami jika memasukinya, utuh dan tanpa jarak. Setelah berada ‘di dalam’ agama, baru bisa memahami bahwa yang dimaksud dengan agama bisa menjadi jalan keluar bagi semua persoalan hidup manusia adalah terbangunnya kesadaran kehambaan, setelah sebelumnya terbangun kesadaran sesama mahluk (ciptaan) dan kemanusiaan.

Egaliter tidak hanya kepada sesama agamanya, tapi juga kepada sesama manusia, bahkan kepada seluruh ciptaan di dalam alam semesta. Merdeka dari kungkungan ingin lebih (dengan menindas atau tidak) dari yang lain. Dengan keadaran tersebut, manusia akan terhindar dari diperalat saat agama dijadikan alat politik. Dengan kesadaran tersebut manusia akan terhindar dari ditunggangi keserakahannya sendiri dan terhindar saat mulai ungin berlaku tidak adil.

Melempar kesalahan pada agama dengan menganggapnya sebagai sumber masalah, lebih mirip rasa frustasi pada banyaknya persoalan di muka bumi. Sikap tersebut secara moral setara dengan kelompok-kelompok yang menjadikan agama sebagai alat politik, yang frustasi meraih kekuasaan hingga menjual apa saja yang bisa dijual, obral tuhan kalau perlu.

Terorisme, radikalisme tidak serta merta dipicu oleh ajaran agama.

Pemicu semua konflik beragama di muka bumi, tidak satupun yang dimulai karena ingin mendominasi dunia dengan ajarannya, atau ingin memaksakan bahwa tuhannya lah yang paling tuhan. Cacat logika bila hanya tuhan dari agama tertentu yang tuhan. Belum tuhan bila bukan pencipta perbedaan, karena Tuhan pasti pencipta segalanya, termasuk perbedaan.

Dalam ajaran Islam disebutkan, di padang Mahsyar, umat manusia akan berbaris berkaum-kaum menurut ajarannya masing-masing. Tidak disebutkan hanya ada satu barisan. Di bagian lain disebutkan, tidak ada kesulitan bagi Tuhan bila ingin membuat umat manusia terdiri dari satu kaum yang sama dan seragam, diciptakan berbeda-beda agar manusia mengambil pelajaran.

Pemicu paling pertama semua konflik, yang kemudian diberi kemasan agama adalah ketidakadilan yang timbul karena keserakahan ingin mendominasi apa saja dengan cara bagaimanapun.

Banyak yang bingung ketika jenazah Santoso disambut bak pahlawan di Poso. Berbeda dengan kelompok-kelompok lain yang juga radikal, kelompok Santoso tidak pernah melakukan bom bunuh diri. Kelompok radikal tersebut berkoordinasi pasca konflik Poso untuk berkumpul dan bergerilya karena perlakuan tidak adil yang mereka rasakan. Frustasi tidak bisa menemukan keadilan, mereka berusaha menciptakan keadilan versi yang mereka cari. Dari seorang kawan, walau Santoso berbaiat ke ISIS, namun rumah penduduk beragama Nasrani yang berasal dari Toraja tidak dibunuh saat kelompok Santoso singgah meminta perbekalan.

Bila beragama hanya singgah di tahapan ‘tahu’ belum sepenuhnya paham, sangat mudah dijadikan pion bahkan ‘zombie’ yang patuh. Cukup potong ayat tentang jihad, ambil teksnya saja, buang konteks, sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut. Lalu tambahkan gambaran ketidakadilan dari perspektif agama. Kemudian berikan sepotong ayat lagi tentang ‘jalan pintas ke sorga’, terakhir siapkan senjata atau manual merakit bom. Lahir sudah teroris.

Teroris dan radikalisme memang kejam dengan aksi-aksinya yang tidak berperikemanusiaan, lalu yang menjadi penyebab, katalisator bahkan inkubator lahirnya mereka harus disebut apa? Mbah moyangnya teroris?

Ketidakadilan dan keserakahan sebenarnya tanpa dilawan kelak akan tumbang dan seimbang sendiri. Hukum fisika, bejana bertekanan, mestinya berlaku pada manusia dan bumi yang 70% komponennya adalah air.

Dibutuhkan usaha untuk menemukan apa yang salah, namun bila baru bisa menyalahkan berarti masih bagian dari masalah, bukan solusi.



Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat