Siang Seribu Bulan

Aku memaknai Laitaul Qadr sebagai hari yang penuh hikmah di bulan ramadan. Hikmah yang tidak habis dituturkan hingga beribu-ribu bulan sesudahnya.

Toh dengan definisi 'nyeleneh', rasanya baru dua ramadan dalam hidupku yang siang harinya bermakna beribu bulan.

Pertama kali merasakan siang beribu bulan beberapa tahun silam, pada suatu siang di Palu sepulang melakukan perawatan rutin di menara-menara infrastruktur IT berdua Mustafa, ban sepeda motor kami bocor.

Sedang menunggu ban selesai ditambal, melintas bapak tua pemulung kayu bongkaran bangunan, jalan nyeker di aspal panas tengah hari bolong. Mustafa teknisi spesialis menara-menara tinggi menunjukkan padaku, kaki orang tua tanpa alas kaki itu ringan saja berjalan tak merasa kepanasan.

Menawarkan sendal yang kupakai, dia bilang untuk sendal bekas seperti punyaku dia punya uang untuk beli, "Berapa harganya?"

Kupaksa supaya mengambil gratis sendalku, akhirnya bapak itu mau.

Nanti setelah membeli sendal baru di toko samping tempatku menambal ban baru kusadari. Mestinya dia kubelikan sendal baru, bukan sendal bekas yang sudah mulai butut.

Bapak itu mengajarkan aku tentang cara berbagi seperti sunnah Nabi SAW, berilah yang terbaik dari yang paling kau sukai.

***

Siang beribu bulan kedua, tadi dalam mobil travel yang mengantarku dari bandara Minangkabau ke kampung Ibu di Tanah Datar.

Perjalanan mudik kali ini tidak direncanakan, seperti perjalanan lain yang tidak disusun jauh-jauh hari sebelumnya, selalu menyimpan kejutan. Aku iyakan saja meski harus tidak tidur dari Bandung biar bisa tiba subuh di Cengkareng tanpa terjebak macet di Cipularang,

Antri ambil boarding, pagi-pagi sudah disuguhi pemandangan tidak biasa. Empat orang laki-laki mengamuk, salah seorang memukul meja entah tentang apa di desk informasi, kuperhatikan mirip SOP demo mahasiswa, satu berdialog 2 dua mengompori, satu distorsi teriak-teriak. Di meja lain seorang ibu teriak kenapa pesawatnya delay. Seperti bukan bulan puasa. Konsekuensi layanan penerbangan murah mestinya bisa dimaklumi, apalagi bagi yang berpuasa.

Tetap terjaga sampai boarding pukul 8 pagi. Di pesawat juga tidak tidur, menonton film "The Fault in Our Stars" yang aku unduh selama menunggu di Cengkareng. Menurut akun medsos Raisa, novel John Green yang kemudia difilmkan keduanya bagus. Filmnya sarat pesan, kantukku hilang.

Keluar dari pintu kedatangan di bandara Minangkabau, diserbu supir travel. Mengabaikan semua tawaran, ingin cari tempat meluruskan kaki menimbang-nimbang apa perlu mengambil fasilitas musafir, berbuka dan minum kopi. Keburu ditawari oleh seorang sopir, "Saya antar sampai depan rumah di Tanah Datar dengan tarif tuslah."

Duduk di depan samping pak sopir, di belakangku dua penumpang lagi. Ibu sepuh dan seorang ibu muda anaknya. Hanya kami berempat dengan sopir. Mereka baru pulang dari menjenguk anaknya yang lain di Kelantan Malaysia, sekarang menuju Bukiktinggi menjenguk keluarga yang lain lagi.

Usianya 83 tahun dengan artikulasi yang masih sangat jelas, Mak Wo mulai berkisah mengisi perjalanan kami yang hening tanpa lagu.

Dia pernah mengalami masa jaya harta berlimpah, sekarang hari-hari tuanya dia habiskan dengan bersyukur dan menyambung tali silaturrahim. Mak Wo istri ketiga dari empat istri seorang laki-laki, ia menikah di zaman ketika laki-laki begitu pandai mengambil hati perempuan, merasa bahagia meski dimadu. Kupalingkan wajah menatap matanya yang teduh.

Amak tidak bohong, dia memang bahagia.

Mak Wo kuat mengobrol, macam-macam yang dikisahkannya, dari peristiwa di Gaza, pesawat MH370, MH17 hingga demokrasi yang dirasakannya kelepasan, gara-gara menonton berita saat presiden memberikan pernyataan soal MH17 ditimpali oleh nara sumber dengan bahasa yang menurutnya tidak sopan bila ditujukan pada seorang presiden.

Ah, coba duduk di belakang, leluasa menatap mata dan mencuri pengalaman hidupnya.

Bapak sopir ikut menimpali kisah Mak Wo, menurutnya mudik sesungguhnya, berpulang ke Pencipta. Sejak tiga tahun lalu dia sebatang kara, ayah ibunya sudah duluan mudik.

Kini dia dengan anak istrinya, mereka yang tadinya menjadi pemudik, kini merasakan menjadi tujuan mudik anak-anaknya yang juga perantau.

Amak sepuh menyambung, "Saya tiga bulan lalu baru kehilangan cucu kesayangan, anak putri saya ini," katanya menoleh ke ibu muda di sampingnya yang mulai terisak.

Cucunya masih muda, baru 21 tahun, tadinya kuliah di Universitas Pancasila Jakarta. Tiga bulan 25 hari yang lalu, di hari Rabu cucunya minta dikirimkan uang untuk pulang kampung. Oleh ibunya ditanyakan kenapa minta pulang, kan sementara ujian. Kata mendiang anaknya, 3 hari ini dia tidak ada ujian dan rindu pulang.

Setiba di rumah, mendiang mengeluh demam dan minta ibunya memijat kepalanya sambil berbaring di pangkuan ayahnya. "Ibu, tata cara salat taubat itu bagaimana?" tanya mendiang.

Ayahnya menimpali, "Dosa apa nak sampai merasa perlu meminta ampunan?" "Tidak ada dosa apa-apa ayah, anakmu tau menjaga diri, hanya merasa berdosa salat wajib sejak kuliah di Jakarta mulai bolong-bolong, mulai suka terlambat."

Ibunya lalu mengajarkan tata cara salat taubat setahunya, tanpa dugaan dan firasat anak kesayangannya sedang menyiapkan perjalanan mudik yang sesungguhnya.

Hari Kamis, mendiang masih sehat. Jum'at dini hari usai tahajud, mendiang kembali berbaring di pangkuan ayahnya. Ia lalu menutup mata, tertidur kemudian berpulang.

Amak sepuh merogoh tas tas tangannya, mengeluarkan buku yasinan.

"Lihatlah, gambar cucuku di sampul buku yasinan ini, kau mesti tertarik dengan wajahnya." Subhanallah, memang cantik. "Buku ini yang mencetak bukan kami, tapi kawan-kawan kuliahnya di Jakarta."

***

Beberapa perjalanan memang harus dipersiapkan sebaik mungkin, kalaupun sempat lalai, semoga kita termasuk yang dipaksa siap, seperti mendiang cucu kesayangan mak Wo tadi.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat