Epilog 12 - Pintu
Tadi pagi judul Epilog 12: “Pintu”. Pas nongkrong di warung kopi depan toko kaset di pasar, yang lagu-lagunya ‘mengejek’ para kaum jomblo merdeka djaya, malah jadi kepikiran tentang ‘kesadaran’. Kesadaran mungkin sejenis pintu juga.
Ini kapan selesaikan draft-draft fiksi. Kalau setiap
terpancing berpikir, bukannya dipakai selesaikan draft malah menulis yang lain.
I do need someone beside me.. *melipir*
Di depanku ada kopi, masih
terasa kopi. Indra pengecap masih ‘sadar’, tidak terdistorsi jadi berasa daun
sirih malam bainai, seperti lagu yang diputar toko kaset. Tapi tidak demikian dengan hati, yang diberi informasi lirik
lagu oleh telinga.
Ini apaku yang
sadar, kuping atau lidah? Atau masing-masing jalan paralel dengan kesadarannya
sendiri. Atau bentuk mekanisme proteksi diri agar tetap sadar secara
keseluruhan. Mata dan kuping bolehlah larut dengan lirik lagu dan rasa rindu.
Kopi ya kopi, mari rayakan pagi, kata lidah.
Atau lidah,
telinga, pikiran dan bayangan, kesemuanya terangkum dalam sebuah kesadaran
lebih besar yang menghimpunnya. Penyebab nulis ini.
Belum gugling, apa
definisi “kesadaran” sebagai pembanding. Ini pengalaman pribadi doang, berusaha
menjaga kesadaran agar tidak terdistorsi oleh berbagai hal, serbuan informasi,
serudukan rindu, emosi, keinginan, harapan, dan ketakutan. Apa yang dialami
oleh semua manusia.
Dari duduk di
warung kopi tadi, jadi mengenali beberapa tahapan kesadaran diri sendiri.
Pertama, Kesadaran Indrawi.
Proses kesadaran yang terbangun dengan melibatkan
interaksi langsung salah satu atau semua panca indra kita. Makin banyak indra
yang terlibat, makin sadar kita akan keberadaan atau kebenaran sesuatu.
Pada kasus ini, bug dan distorsi bawaan panca indra diabaikan,
diasumsikan kita sudah tahu ‘patch bug’
nya. Seperti ilusi optis, mata melihat bumi ini datar.
Tercium, terlihat,
terdengar, tersentuh dan terkecap adalah beberapa proses konfirmasi kesadaran
indrawi, sebelum kita memasukkan hasil interaksi indrawi ke dalam ‘database’
diri, dengan kategori atau “tag” yang personal.
Kedua, Kesadaran Pikiran dan Imajinasi.
Apa yang telah dialami melalui kesadaran indrawi terbawa
pada tingkatan kesadaran pikir dan imajinasi. Fisik bendanya tinggal, yang ada hanya
kesan akan bau, warna, bunyi, tekstur dan rasa.
Seorang kekasih
bisa mencium kembali wangi parfum yang bercampur keringat orang yang dia
cintai, hanya dengan merindu. Padahal komponen kesadaran indrawi, mata dan hidung
mengkonfirmasi kekasihnya tidak terlihat di depan mata, bagaimana bisa ada baunya.
Tapi pikiran dan imajinasi kita, dalam keadaan sadar tetap saja mencium baunya.
Kadang pakai senyum-senyum sendiri.
Tanpa kesadaran
pikiran dan imajinasi, berapa banyak benda yang harus kita miliki untuk merancang,
atau memecahkan sebuah persoalan.
Pelukis yang
melihat kanvas putih sebelum menggoreskan satu warna pun, sudah bisa melihat
kanvasnya penuh warna, kadang hingga ke teksturnya. Setelah ia mulai menarik
kuas, baru terjadi interaksi dua arah antara apa yang dibayangkan sebelumnya
dengan apa yang sudah digoreskan.
Komposer besar Ludwig
van Beethoven, yang kedua telinganya tuli, bisa menciptakan shimpony
indah hanya dengan membawa kesadaran indrawinya bekerja dalam pikiran dan
imajinasi.
Kesadaran ini
membuat kita bisa ada tanpa perlu hadir.
Ketiga, Kesadaran Jiwa dan Nurani.
Pada tahapan ini sudah tidak ada lagi proses yang
terdapat pada dua tahapan kesadaran sebelumnya.
Tidak ada proses
konfirmasi, tidak ada resistansi, kalkulasi atau toleransi, sekalipun
bertentangan dengan ‘database’ milik dua kesadaran sebelumnya.
Nurani bisa berteriak
kelakuan kita salah atau memberi sinyal bahaya. Tanpa perlu tahu, warnanya apa,
permukaannya kasar atau halus, wangi atau bau, asin atau manis. Salah ya salah.
Benar ya benar.
Kesadaran jiwa dan
ruhani agak susah meraihnya. Suka bingung, ini kita yang sedang memasuki kesadaran
jiwa dan nurani, atau malah mereka yang membungkus kita.
Keempat, Kesadaran Bertuhan dan Ruhaniah.
Belum tau seperti apa, hanya tahu ada. Mau
menjabarkannya, takut salah, masih minim jam terbang.