Uji Coba Publik Kurikulum 2013 (versi beta)

Unduh atau register di sini, kalau mau baca-baca atau ikut sumbang saran dan kritik.


Masih baca-baca, belum selesai. Tapi sudah terkesan pada dua hal di kurikulum 2013 ini.
  1. Pendidikan yang berbasis tema atau tematik. Semua mata pelajaran terintegrasi dalam tema-tema tertentu berdasarkan kompetensi yang ingin dicapai untuk para peserta didik. Ini keren, membayangkan tercipta "atmosfir" sesuai tema di sekolah, cuma kalau peserta didik pindah sekolah karena ikut ayahnya atau hal lain, apa temanya bisa berlanjut di sekolahnya yang baru?
  2. Penekanan tentang pendidikan karakter untuk peserta didik (halaman 14, 15, dan 17). Bila definisi karakter adalah kebiasaan yang berulang-ulang hingga akhirnya melekat menjadi bagian dari pribadi, maka kurikulum 2013 sedang mencoba membentuk kebiasaan peserta didik. Jadi setiap guru, dan lingkungan sekolah harus sudah berkarakter ideal lebih dahulu. Mau melarang siswa jangan selalu makan permen tapi gurunya sendiri suka emut permen, gak bakal berhasil. Mengajarkan korupsi, dusta, khianat itu buruk, tapi yang mereka tonton dan baca di koran tidak begitu. Setidaknya bila peserta didik tidak bisa menemukan contoh karakter ideal di televisi, pada sebagian pemimpinnya, atau pada seluruh guru-gurunya, mereka masih bisa menemukannya di karya sastra, dan karakter para nabi serta orang suci pada saat pelajaran agama masing-masing. Ini masih mengesampingkan lingkungan rumah, lingkungan pergaulan peserta didik, online dan offline.
Halaman 20 juga agak mengganjal, lulusan diharapkan menjadi pribadi beriman, bertakwa dan berakhlak mulia. Sulit menangkap bentuk konkritnya agar bisa terukur. Kecuali --mungkin-- bila dihitung efektifitasnya secara kolektif, bukan perorang lulusan yang terdidik dengan kurikulum 2013, setelah mereka menjadi pemegang kebijakan di negeri ini, dengan melihat indeks korupsi Indonesia di antara negara-negara di dunia. Sudah tidak ada lagi 'kongkalikong' di semua bidang, dan seterusnya.

Masalahnya iman siapa yang bisa mengukur? Itu urusan Tuhan dengan tiap-tiap orang yang beragama. Bisa terukur bila itu "Iman dalam kemasan" berupa "pakaian" atau kebiasaan baik yang sengaja dipertontonkan untuk menuai puja dan puji. Contoh, para tersangka di ruang pengadilan biasanya mendadak pakai kopiah atau kerudung.

Etika dan moral barangkali nilai yang lebih konkrit untuk bisa terukur. Mencuri itu tidak boleh, karena kamu sendiri tidak suka bila kecurian, misalnya. Itu sesuatu yang langsung bisa diukur dan terlihat, berhasil tidaknya pendidikan etika dan moral. Menilai apakah seseorang sudah beriman atau tidak? Takut euy..

Taqwa dan akhlak memang bisa dijadikan tanda-tanda apakah seseorang beriman atau tidak, tapi tidak semua motivasinya karena iman. Berapa banyak dari haji yang naik haji untuk tambahan gelar Haji di depan namanya? Berapa banyak sarjana yang tidak peduli pengetahuannya nambah atau tidak setelah lulus, yang penting ada tambahan gelar sarjana pada namanya?

Pendidikan agama harusnya efektif memperbaiki akhlak dan takwa, dengan beragam tingkatan motivasi kenapa mau bertaqwa dan berakhlak mulia. Apa karena berbuat baik adalah kewajiban sebagai umat beragama atau karena patuh pada mekanisme hukuman-imbalan, pahala-dosa, atau karena ingin disukai Tuhan.

Ini bukan mengesampingkan peran agama lho. Kurikulum mestinya bersifat umum. Takwa dan akhlak itu wilayah khusus, wilayah --yang mungkin bisa-- diukur dalam pelajaran agama masing-masing. Sebenarnya semua agama siap dengan perbedaan keyakinan, penganutnya yang kadang belum siap.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat