Mimpi Konstruktif - #1 dari Banyak


Sejak "menganggur" setelah tinggalkan Palu jadi banyak mikir, merenung dam bermimpi, hanya sedikit yang jadi "aksi", sedikit lainnya semoga sudah menginspirasi. Mimpi pasti absurd, namun beberapa mimpi bisa dibuat konstruktif dengan visi. Setidaknya masih "produktif" bermimpi :D

Andai Tuhan mengatur mimpi seseorang tidak boleh sama dengan mimpi orang lain, mungkin sudah gila sendiri. Begitu banyak mimpi dan sedikit sekali yang bisa diwujudkan sendirian. Dan ternyata kita tidak pernah sendiri bermimpi, beberapa orang juga memiliki mimpi yang sama. Indahnya lagi "sinergi mimpi" ini tercipta tanpa koordinasi "formal". Bagai orkestrasi yang dikonduktori "semesta" dengan "panduan" yang menembus jarak, ruang dan waktu. Makin lama mimpi ini terlihat makin besar, seiring kesadaran betapa kecilnya kita.

Sebelum makin absurd :D Mimpi konstruktif yang pertama, Indonesia punya backbone telekomunikasi nasional yang tidak tergantung pada pasokan energi listrik dari PLN atau pembangkit listrik bertenaga BBM. Tidak berorientasi profit namun mampu membiayai dirinya sendiri, terbentang dari Merauke sampai Sabang, dan pada setiap kabupaten-kota ada internet exchange point. Infrastruktur ini tidak akan membunuh perusahaan telekomunikasi atau ISP, malah akan meluaskan pasar bandwidth internasional dan peluang sinergi lain yang saling menguntungkan.

Sangat mungkin direalisasikan kalau mau, bermodel komunitas berbasis di kabupaten dan kota masing-masing. Apalagi sebagian besar kabupaten-kota dan kampus-kampus besar sekarang punya infrastruktur IT sendiri berupa jaringan wifi atau lainnya, tinggal interkoneksitas dengan kota terdekat, begitu seterusnya hingga seluruh kabupaten-kota terhubung.

Setelah terhubung, lalu apa? Paling pertama, Indonesia --akhirnya-- bersatu. Satelit palapa memang sudah menyatukan Indonesia, bagi yang mampu membayar harga sewa kanal yang tidak murah.

Tokoh-tokoh inspiratif dan pucuk pimpinan regulator yang numplek di Jakarta bisa menyisihkan waktu untuk berbicara (audio dan atau video) dengan penduduk desa di pedalaman, memberi inspirasi atau sekedar mendengar keluhan dan curhatan mereka.

Transparansi yang bening. Opini publik tidak bisa lagi begitu saja digiring oleh media mainstream dan makin susah korupsi. Masyarakat punya banyak sumber informasi pembanding dan bisa mengadu atau mengungkap fakta langsung, sendiri, bebas dan real-time.

Belajar dari dalam pondok di tengah hutan, sama dengan belajar di ruang kelas berpendingin udara di kota, dan banyak manfaat (juga mudarat) lain yang belum terpikirkan. Teknis pelaksanaan bisa dipikirkan, paling pertama kita mau atau tidak?

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat