Hyper Realistic


Posting ini inspirasinya kemarin, kepikiran jangan-jangan HDR (hyper density reality) tidak hanya dikenal dalam dunia seni rupa/lukis dan fotografi, tapi juga di twitterland dan kehidupan keseharian.

Menyusul pertanyaan lain setelah kepikiran dimana saja bisa aku temui hyper-realistic ini, kenapa disebut hyper-realistic, bukan fake-reality atau reality-disorder? **Maap pake bahasa Inggris, belum nyari padanan yang pas dalam bahasa Indonesia, pertama dengar dan paham istilah hyper-realistic  itu udah dalam bahasa londo, waktu masih suka ngelukis.

Teknik melukis hyper-realistic, setahuku hanya digunakan dalam seni lukis kemudian menyusul dalam seni fotografi pasca digital fotografi. Teknik memotret dan melukis yang super teliti pada kontras terang-gelap, bayangan dan sumber cahaya, bias, kilau dan detail-detail kecil obyeknya (dalam fotografi obyek disebut subyek, karena karya fotografi tidak mengkomposisi karyanya dari tak ada menjadi ada, mereka hanya "membingkai" obyek yang sudah ada, karena obyek ini pelaku pembentuk momen dan kejadian yang akan "dibingkai" maka berubahlah sebutan obyek menjadi subyek. *ambil nafas).

Kenyataan itu apa?
Apa kamu melihatnya sendiri? 
Tidak amirul mukminin, tapi aku mendengarnya.
Informasimu tidak dapat aku gunakan, kecuali bila engkau melihatnya sendiri.
**kutipan dialog Ali bin Abu Thalib dengan orang terpercayanya, lupa pernah baca dimana
Aku khawatir, mimpiku semalam begitu nyata. Barangkali keadaanku sekarang yang sedang terbangun ini, juga hanya mimpi, bukan kenyataan. Jangan-jangan kehidupan dunia ini juga hanya mimpi, dimana kita bisa bermimpi dalam mimpi, dan suatu saat akan dibangunkan. **monolog imam Al-Ghazali, juga lupa pernah baca dimana.
Dua kutipan di atas jadi dasarku mengenali "kenyataan" atau realitas. Pertama kita harus dalam keadaan sadar, berakal, tidak tidur atau mabuk (mabuk apa saja, termasuk mabuk cinta) dan kedua; bisa terlihat (dengan mata apa saja, mata kaki, mata hati, atau mata-mata). Walau begitu, seni rupa dan fotografi lewat HDR kadang masih bisa "menipu" dengan "kenyataan palsu" (fake-reality) karena kita "salah mengartikan kenyataan" (reality-disorder).

Toh kita tetap menganggapnya indah dan memuji. The beautiful lie always accepted and forgiven?  *pukpuk the opposite, ugly truth.. Dalam konteks karya seni, HDR itu memang bisa menampilkan keindahan tersembunyi pada foto atau lukisan non-HDR yang memang sudah indah. Dalam konteks dunia politik, nilai sendiri deh, "keindahan" HDR melalui pencitraan.

Twitterland HDR
Kita bisa "tertipu" dan "menipu" dengan realita yang ditebalkan densitasnya. Banyak contoh akun-akun samaran yang saling meng-RT untuk saling menguatkan apa yang mereka ingin diklaim sebagai kebenaran lalu diamini followernya, mereka abaikan fakta bahwa tidak semua followernya "domba tersesat". Mirip dengan teknik HDR pada fotografi juga, menguatkan terang gelap, menekan detail, menumpuk beberapa frame dengan perbedaan exposure dari -3 hingga +3 atau lebih.

Soal tertipu atau tidak, definisinya bisa beda-beda. Bila kita berada dalam lingkup kecil, lagi euphoria bangga sendiri merasa tak tertipu dengan opini yang coba dibentuk oleh akun yang kita follow, akan berbeda bila dilihat oleh orang yang berada dalam scope lebih besar, dengan sudut pandang lebih luas, misalnya tak masalah tertipu atau tidak, kita tak lebih dari angka-angka jumlah follower yang bisa meningkatkan tarif iklan atau tarif pembentukan opini di sosial media seperti twitter.

Sederhana itu Indah
Bila tentang cinta, makin sederhana ia, maka semakin megah pula. Sesederhana puisi Sapardi Djoko Damono atau Soneta XVII Pablo Neruda, simpel dan jujur seperti wangi kenzo, datang tiba-tiba tanpa sebab dan alasan.

Tidak tahu berapa banyak orang yang berhasil membawa "kenyataan" di lini masa ke dunia nyata atau sebaliknya, entah berapa banyak yang berhasil dan gagal upgrade flirting dari linimasa ke dunia nyata, atau kebalikannya. Cinta di linimasa biasa aja, layaknya kisah-kisah cinta lain, tidak ada drama. Komentar-komentar yang salah diartikan, dan update tanpa mention di linimasa yang kebetulan lewat di linimasa kita (disengaja atau tidak oleh pengupdatenya) dan konteksnya "nyambung" dengan suasana hati dan update status kita, itu yang membuat densitas realitanya menebal. Barangkali, drama di linimasa itu serupa versi HDR dari kisah cinta sederhana. Riuh untuk yang lain, anggun dan syahdu untuk pelakunya.
Tahukah kau apa pekerjaan sia-sia itu? Menasihati orang yang sedang jatuh cinta. ~ Semar, dikutip dari twit @sudjiwotedjo
Bagiku tetap sederhana. Karena memang sederhana, pure, non-HDR. Riuh rendah diluar diriku belum tentu juga buatku.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat