Nilai-nilai Universal

Nilai-nilai yang bisa diterima siapa saja. Nilai yang menembus sekat dan ruang-ruang ciptaan manusia, entah dibangun untuk rasa "aman" semu penghilang rasa takut yang juga semu, atau untuk kesombongan, ekslusivitas, atau batas untuk sekedar pembeda untuk menjadi identitas individu maupun kelompok. Agama tidak aku anggap sekat atau pembeda dalam bermasyarakat, beragama atau bahkan tidak beragama adalah perbedaan "jalan" yang kita pilih secara personal untuk mendekatkan diri pada Yang kita yakini sebagai Tuhan atau Zat di luar diri kita, sifatnya pribadi dan personal. Suka-suka Tuhan mau memberi Hidayah pada siapa, dan suka-suka Tuhan sedalam dan selebar apa hidayah-Nya, ukuran-Nya pasti tepat-tepat, tak lebih dan kurang pada tiap orang.


Aku sebut personal, karena walau sejak lahir kita diwarisi agama oleh orang tua dan lingkungan, kita masih tetap akan menjalani "perjalanan" yang amat pribadi dalam mencari Tuhan. Perjalanan yang juga dialami oleh nabi Ibrahim A.S. juga Imam Al-Ghazali saat diambang kegilaan, pun Sidharta Gautama saat memilih menanggalkan kebangsawanannya dan masuk hutan.

Ada pengalaman menarik, secara random pada ruang dan waktu yang berbeda tanpa direncanakan, aku bertemu beragam orang dari berbagai suku, agama, golongan dan ras yang menceritakan kegelisahan mereka tentang Tuhan. Yang tadinya diyakini, mendadak goyah. Pada kawan almarhum bapak ketemu gede, sekaligus orang terakhir yang menceritakan kegelisahannya, aku menyadari, tidak hanya aku, tapi semua orang akan mengalami proses "mencari Tuhan."  

"Keyakinan yang tidak melewati keraguan, bukanlah keyakinan ~ Imam Al Ghazali"

Perjalanan dimana tak ada siapa-siapa kecuali diri kita dan keyakinan yang mendadak terlihat bagai cetakan dogma di kertas usang warisan dan tak berdasar, hingga tiba di titik "mengenal" kembali Tuhan. Wallahu'alam, semoga kita semua mampu melewati fase ini dan menemukan Yang kita cari.

Beberapa hari ini terus mengganggu di hati dan kepala. Nilai-nilai universal itu ada. Nilai nilai yang melampaui "kesepakatan" 1+1=2. Tapi konkritnya apa? Rasulullah SAW mengislamkan 3/4 dunia dengan itu, yang oleh sejarah, faktanya dikaburkan, bahwa Islam disebarkan dengan pedang. Sungguh, Islam yang aku kenal, sampai hari ini tidak membuatku berambisi ingin mengislamkan seluruh dunia, kecuali membagikan "rasa damai" nya saja karena ber-Islam, tapi aku belum mampu.

Sampai akhirnya tadi sore menemani seorang kawan komunitas fotografer boyaboya, "main" ke makam Syekh Yusuf, komunitas ini sedang menyusun buku foto, berisi gambar-gambar yang "bercerita", masing-masing fotografer anggota komunitas diberi "spot" untuk diceritakan lewat foto, spot yang bisa mewakili cerita tentang "Makassar dan Sulawesi Selatan." Di sana aku membaca riwayat singkat beliau, dimanapun tempat beliau diasingkan, disitu beliau dikerumuni manusia, beliau selalu menjadi "center". Ada sesuatu, untuk sementara kusebut "value" yang dibawa beliau, yang bisa diterima oleh siapa saja, malah rasa-rasanya "nilai" yang beliau bawa, bagai sesuatu yang orang-orang cari selama ini.

Mulai deh, saling terhubung, baru sore tadi gugling soal hierarki kebutuhan manusia.

Menurut hierarki Maslow (Mashigh, Masmed semua sehat?) di puncak piramida hirarki kebutuhan manusia (aish, bakal serius paragraf ini, memulainya dengan "menurut" seperti karya ilmiah saja) yang terakhir dia kemukakan sebelum meninggal, yaitu transendensi diri, setelah sebelumnya adalah aktualisasi-diri (ini dia nih nenek moyang pencitran dan narsisme). Definisi "transedensi diri" dari hasil gugling yang paling mudah aku pahami:
  1. Tindakan atau kondisi akan / sedang di luar ego atau egoity, biasanya sebagai akibat dari kasih sayang, pelayanan, atau perhatian penuh pada kepentingan orang banyak.
  2. Suatu tehnik mengenai kemampuan bergerak di luar konsep yang ada, atau keterbatasan perilaku.
  3. Suatu keadaan atau kondisi di mana jiwa mengalami ekstasi spiritual, karena pelepasan dari batas-batas ego dan egosentrisme.
  4. Suatu pengalaman atau proses dimana jiwa mencapai pemahaman diri sendiri.

3.36AM 27/5/2012
Tertidur sejam lebih, terbangun karena merasa lagi diamat-amati "sesuatu". Bonus, tercium bau wangi pandan. Ini malam minggu, woii. Pas masuk dapur memang ada sedikit irisan daun pandan di tempat sampah, mungkin sisa masakan tadi malam.

Aku merasa ada hubungannya antara "value" yang coba aku gali dengan pengertian transendensi-diri, bagian kunci dari pemikiran Maslow, akar dari Psikologi Transpersonal. Transpersonal kalau bahasaku, nilai-nilai yang kita yakini telah lebur menjadi perilaku, menjadi karakter, bukan slogan dan karakter semu hasil pencitraan palsu. Salah satu contoh kongkritnya barangkali seperti "pangaderreng".

Sumber kegagalan pemimpin kita saat ini, itu juga. Omongan, pidato, seruan dengan perilaku keseharian mereka saling bertolak belakang. Contoh kasus penolakan sebagian elemen masyarakat saat BBM akan dinaikkan. Pemerintah menggunakan dalih "APBN jebol" akibat subsidi yang membengkak mengikuti harga minyak dunia yang meroket. Rasional sekali sebab mengapa BBM harus dinaikkan.

Rakyat dan mahasiswa yang logikanya lurus, berpikirnya sederhana saja, tidak peduli APBN jebol karena subsidi BBM yang membengkak, jebol itu bocor, bocor itu korup, korupsi ratusan trilyun, renovasi WC dan KM di gedung DPR milyaran, kursi sidang puluhan juta, ganti rugi Lapindo yang mendadak jadi bencana alam dan ditanggung negara, kebocoran di depan mata saja dulu tutup, baru ajak kami untuk ikut "berkorban" menyelamatkan APBN dengan mengurangi subsidi BBM.

Pemimpin yang mengorbankan rakyatnya untuk kepentingan kelompok apalagi dirinya sendiri, itu kanibalisme dan akan menulari masyarakat. Supporter bola yang membunuh supporter klub lawan, lalu tanpa hati menceritakan proses bagaimana dia membunuh lewat akun facebook nya itu, serupa dengan koruptor yang mencuri uang rakyat, lalu tersenyum manis di televisi dan koran menyeru rakyatnya untuk tidak korupsi. Pada keduanya ada rasa tega, dan tanpa beban. Lepas dari sejarah dendam tak berkesudahan antara dua kelompok pendukung sepakbola. Pemimpin dua kelompok supporter ini kemana?


Komposisi (8:09PM 6/7/2012)
Komponen bangsa ini, termasuk aku, gagal atau masih gagap "meng-compose " segala elemen yang dibutuhkan untuk membuat bangsa ini "indah" atau "perkasa" atau apalah visi yang ingin dicapai para pemimpin melalui "komposisi" nya. Iya, mengatur komposisi itu keahlian manajerial juga ternyata, manajer; meletakkan orang yang tepat di posisi yang pas untuk mencapai tujuan bersama dan bersama-sama, seniman atau arsitek: meletakkan elemen penyusun komposisi di posisi atau bunyi tertentu pada waktu dan volume tertentu pada komponis musik, menjadi satu kesatuan utuh, atau plot pada penulis, untuk membentuk "pesan" yang utuh, tegas, terang dan benar.

Aku tidak mau masuk ke bagian apa saja pilar-pilar berbangsa, pilar demokrasi dan lain-lain. Ini juga analisa asal-asalan setelah kemarin retouch foto dengan menggunakan dua monitor yang berbeda merek, ternyata setiap display memiliki karakter warna yang berbeda. Sementara warna adalah salah satu elemen penyusun komposisi dalam fotografi. Masalah. "Pesan" yang akan disampaikan oleh subyek dalam foto, bisa berbeda-beda, tergantung melihatnya pakai monitor merek apa, belum lagi bila penikmatnya kebetulan menderita buta warna.

Warna bukan "bahasa" universal. Warna tidak bisa menembus sekat karakter pada tiap merek display dan retina mata seseorang. Masih ada elemen lain dalam komposisi fotografi yang bisa menembus sekat warna, seperti garis, tekstur, sudut pandang. Maka foto yang bagus, akan tetap bagus dan berhasil menyampaikan "pesannya" baik bila ditampilkan hitam putih maupun berwarna.

Maka, standar yang universal untuk kata "sukses" bukanlah materi yang berlimpah, istri cantik atau suami yang ganteng, gelar akademis berderet, atau jabatan. Standar sukses itu mestinya "bahagia".Kebahagiaan sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan materi atau jabatan. Untuk apa korupsi bila kaya raya bukanlah kesuksesan? Untuk apa kaya bila dengan cara mencuri dan pasti tak membahagiakan?

Kesimpulan

Fitrah dan sejarah bangsa ini bangsa agraris dan maritim. Berapa persen dari "elemen" itu yang masih kita gunakan untuk "mengkomposisi" visi bangsa (anggap saja kita masih punya visi, atau akan punya) ? Tidak masalah membangun industri, tapi industri yang berbasis pada agraria dan kelautan. Mari bikin silicon valley ala Indonesia, untuk para petani dan nelayan.

Kemana perginya karakter bangsa ini yang mulia? Tahun berapa terakhir kita temui di depan rumah di sepanjang jalan ada meja kecil dengan teko berisi air dingin dan gelas? Tahun berapa terakhir saat ke Bali kita berani meninggalkan barang-barang berharga di tempat umum tanpa rasa khawatir bakal ada yang mencuri? Atau tahun berapa terakhir kedai-kedai di pasar sentral di makassar ditinggalkan terbuka saat azan duhur sudah berkumandang?

Tujuan dan Contoh. Kami butuh contoh bagaimana mencapai tujuan, bukan slogan, baliho raksasa, retorika dan pencitraan dari kalian para pemimpin.

Sudah ah, terlalu banyak menulis, mengoceh, kadang malah membuat lupa bahwa perbaikan itu paling pertama haruslah dari diri sendiri.

Mulai dari hanya mencari makan dan memberi makanan dari sumber yang baik, zat yang baik, dengan cara yang baik pula. Sesuatu yang masuk ke tubuh kita, kemudian beredar dalam darah, bila itu buruk maka akan mengajak kita untuk berbuat keburukan.

Bahwa anak-anak yang kelak akan menggantikan kita, itu lahir dari "persiapan matang" ikhtiar memiliki keturunan yang baik, bukan buah dari "sradak-sruduk" eh, jadi deh. Kemudian, anak-anak itu "menelanjangi" kita untuk terlahir kembali setiap hari, oleh kewajiban memberi mereka teladan. Aku belajar dari ponakan-ponakanku, mereka itu "murid" yang kejam, cobalah seru atau ajak mereka untuk melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak melakukannya, kalaupun mereka patuh, itu mungkin karena takut dan segan. Namun bila mereka kritis (dan harusnya demikian), siap-siaplah menahan marah atau mencium pipi mereka.

Evolusi atau Revolusi?
Aku masih lebih memilih evolusi daripada revolusi. Perubahan cepat bisa dicapai lewat revolusi, namun tidak permanen. Lihatlah nasib reformasi, apinya nyaris padam, poin-poin reformasi apa, akupun sudah mulai lupa.

Evolusi sifatnya lebih permanen dan bisa kita mulai sekarang dari lingkungan terdekat, dalam rumah kita dan lingkungan sekitar rumah.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat