Oleh-Oleh Hari Kedua (Arsitektur dan Feromon)

Pemandangan depan penginapan indah, hamparan sawah berundak, ingatkan pengalaman liburan masa kecil di  Batusangkar, mengairi sawah dengan bantuan gravitasi.

Di Ubud perusahaan penjual dan penyewaan alat berat tidak bisa hidup. Mereka tidak butuh traktor, tongkang dan lain-lain untuk mengubah muka bumi, mereka yang patuh dan menyesuaikan diri pada rupa bumi. Orang Ubud menyadari bumi ini "rumah" dan mereka hanya "tamu" yang akan "pergi". Mereka tamat soal Arsitektur dan pengairan tanpa sekolah formal.

Semalam berjalan kaki dalam hujan, aku tidak merasa sepi, aku menjadi noktah, bagian dari semesta raya. Arsitektur rumah dan tata kota di Ubud beresonansi penuh harmoni dengan alam sekitar, aku menemukan ketenangan batin pada tingkatan tertentu. Tenang, sama seperti kegalauan juga bertingkat-tingkat, ada ketenangan yang bisa dibangun melalui arsitektur dan tata kota yang baik, berselaras dengan alam sekitar.

Dengan membenahi arsitektur dan tata kota di Indonesia, kelak kita bisa berharap, akan lebih banyak keputusan penting di negeri ini diambil dalam keadaan batin yang tenang dan berselaras dengan alam, bukan berselaras dengan syahwat individu, kelompok, ras maupun partai.




Hari Kedua: Feromon
Malamnya aku  jadi ke Panggung Terbuka di belakang Lotus Cafe, masuk dari samping St*arbuck Ubud. Acaranya sudah mulai. Kukira tidak boleh memakai SLR padahal bisa. Ini foto Selena, penyair dari Austria apa Inggris lupa, membaca sajak-sajak satir dan sarkastik, puisinya lucu-lucu.


Di panggung sini sudah mulai terasa, I don't belong here! Sambil megang leher botol bir, turis asing dan lokal berbudaya. Okay, bukan bagian leher botolnya, tahun 1998-2000 aku juga ngebir, demi mengajak "bapak ketemu gede" berhenti, konon peminum hanya bisa diajak berhenti minum oleh peminum lain *fatwa ngawur, jangan ditiruuu*. Berhenti sendiri karena alergi alkohol. Aku merasa ada yang salah dengan sebuah acara kebudayaan, bila tadi sore 50 meter dari panggung ini ibu-ibu menjadi kuli pekerja jalan untuk upah senilai beberapa botol bir. Pertanyaanku ini kemudian terjawab saat ketemu Jeje, aku diajak ke upacara adat perjodohan "melampuan" ala desa Bayunggede di Kintamani.



Di depan panggung ada gadis kecil --kecil dan imut karena posturnya, gak tau kalo usianya-- wangii, pakai topi berkaos putih tepat di depanku. Ih, dia pakai canon, tidak "seagama" denganku yang nikon. Waktu keluarin handsetnya, udah mau melompat kalimat, "Bagi pin bb dong.." Masuk kembali, suara MC yang mendadak keras perkenalkan tamu dari Burma hampir bersamaan dia ngeloyor pergi, aku kejar, acara ini masih 3 hari lagi, bisa jadi besok-besok ketemu di panggung lain. Keburu menghilang. Aku belagu atau gagu, efek luarannya sama saja.


Beneran besoknya ketemu dia lagi di Neka Gallery, pas Rio Helmy, Putu Wijaya, Andrea Hirata menjadi pemateri, dan tidak bisa masuk karena tidak bawa ID, wuih aku dicuekin sambil manyun. Aku ternyata masih suka gagap pasca feromon bekerja. Wajar kalau setua ini lebih banyak jumlah jari tanganku dari mantan pacarku. 


Bersambung ke, Hari Ketiga: What The Hell I'm Doing Here?
Hari Keempat: Melampuan
Hari Kelima: Penundaan (selesai).


Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat