Jujur

"Kalau saya boleh jujur... atau sejujurnya... atau jujur saya katakan... atau jujur, saya..."

Cuplikan iklan salah satu episode acara metrotv "the golden way" edisi "honestly" itu sumber inspirasi tulisanku. Iklannya sempat aku nonton, acaranya malah mungkin tidak sempat.. :D

Coba deh kita periksa sms outbox kita, atau inbox, atau pembicarann lisan kita dengan siapa aja, seberapa sering kita membuka kalimat dengan kata-kata: "Kalau saya boleh jujur... atau sejujurnya... atau jujur saya katakan... atau jujur, saya..." bila ada, patut bersyukur deh karena akhirnya kita tahu bahwa kita belumlah termasuk orang yang jujur jadi masih ada kesempatan merubah.


Iyalah, kalau memang jujur mestinya apa adanya, tidak perlu itu kalimat pembuka "sejujurnya aku katakan... " dan lain-lain karena secara tidak sadar kita sudah mengakui pada orang lain yang mendengar atau membaca kalimat kita bahwa sebelum kalimat "sejujurnya.." tadi boleh jadi bohong belaka. :D Kalimat seperti ini paling sering aku dengar dari para politikus kita loh.. Tapi tidak semua.


Jujur itu tidak mudah dan setahuku baru Nabi Muhammad SAW yang diberi gelar Al-Amin (orang yg terpercaya) oleh masyarakat --dengan beragam kepercayaan dan keyakinan-- dimana beliau hidup. Ada kisah seseorang yang ingin mengenal Islam itu seperti apa sesungguhnya, menghadap Nabi SAW dan bertanya, bagaimanakah caranya supaya ia dapat dikatakan telah Islam? Rasul SAW cuma meminta dia melakukan 1 hal saja, jujurlah. Dia pun kembali ke kehidupannya sehari-hari, dia bertemu dengan kawan yang biasa menemaninya minum tuak, baru saja dia ingin mengajak kawannya itu mabuk bersama hatinya langsung menegur, aku tidak boleh bohong bila ditanya Rasul nanti apakah hari ini aku mabuk? Mabuk batal. Ketika adzan mulai dikumandangkan Bilal, dia baru saja akan terlelap tidur siang. Males banget ke mesjid. Matahari terik, ngantuk, capek, tapi bila ia tidak ke mesjid dia pasti akan berbohong bila ditanya Rasulullah nanti. Tidur siang cancel deh.. Malamnya dia langsung menghadap Nabi SAW, "Sungguh jujur itu tidak mudah.."

Kata Buya Hamka almarhum, "Bohong adalah pekerjaan paling mudah di dunia. Lisan ini dengan mudah mengucapkan apapun yang kita ingin keluarkan, tapi ingat pekerjaan paling sulit di dunia adalah menutupi kebohongan, karena seperti efek domino setiap kebohongan harus ditutupi dengan satu kebohongan baru, begitu seterusnya demi menjaga kebohongan awal. Bayangkan bila dosa satu kebohongan kita konversi sama dengan satu cubitan yang membuat perut kita biru, bisa-bisa satu badan kita berwarna biru dan gemuk karena bengkak.. " :D

Itu jujur pada orang lain. Bagaimana dengan jujur pada diri sendiri?? Menurut aku sih --yang pasti pernah berbohong-- jujur pada diri sendiri itu jauh lebih sulit lagi. Kenapa? Bohong pada orang lain sih gampaang, pertama boleh jadi kita tidak tiap hari ketemu dengan orang yang kita bohongi jadi kue lapis kebohongan kita nanti nambah tebelnya pas ketemu aja ama yang dibohongi. Kedua, kita bisa menciptakan alibi yang mendukung kebohongan kita dengan mudah untuk membuat orang yang kita bohongi percaya pada kebohongan kita. Misalnya ditelpon nih ama bos, "Lagi dimana An? Bisa ke kantor sekarang? Ada masalah teknis sama server." Aku yang baru aja terlelap dan semalam begadang pasti males bangetlah ke kantor, bentar aja habis tidur siang deh.. Tinggal aktifin software "call fraud" yang bisa jalan di hape ber-OS Symbian trus pilih kebisingan di lokasi stasiun kereta api, "Lagi di stasiun pak, nganter temen 2 jam lagi baru bisa ke kantor.." Parahnya di Palu gada stasiun kereta api.. :D

Tapi berbohong pada diri sendiri gak bisa disiasatin, bagaimanapun! Kecuali kalau kita udah nggak punya hati nurani, kecuali kalau hati nurani bisa disimpan bentar dalam kulkas. Hati nurani itu hakim paling adil loh! Dan gak pilih kasih, kalo hitam menurutnya ya hitam keluarnya, dan hati nurani ikut kemanapun kita pergi. Kadang-kadang aku dibuat terkagum-kagum betapa hebatnya perjuangan orang-orang yang mampu menentang suara hati nuraninya sendiri.

Aku bukanlah orang jujur, itu pasti. Karena kadangkala aku masih juga bisa tertipu oleh "mengutamakan tujuan daripada proses" dalam urusan-urusan duniawiku. Misalnya tujuanku adalah menang tender maintenance BTS selular dan aku harus punya kualifikasi perusahaan dan SDM dengan persyaratan tertentu, nelpon kiri-kanan keluar deh referensi yang dibutuhkan. Nggak jujurkan? Kalau sudah begitu bisa aku pastikan bahwa pekerjaan itu mungkin pasti aku dapatkan, tapi kebahagiaan dan berbagai proses pembelajaran positif dalam bekerja aku pastikan hilang.

Kini, sedapat mungkin aku berbicara apa adanya utamanya pada diriku sendiri. Bila aku kangen, ya bilang kangen tanpa embel-embel apa-apa. Apakah yang aku kangenin juga kangen itu nggak penting, lebih penting aku udah jujur pada diriku sendiri. Bila aku benci pada suatu perilaku, harus aku ungkapkan secepatnya juga daripada kekesalanku numpuk lalu berubah jadi kemarahan yang boleh jadi destruktif bila ditunda pengungkapannya.

Pesan Nabi SAW, "Ungkapkan yang benar walau pahit akibatnya.." Dan sudah kubuktikan pesan ini benar adanya. Pernah dalam suatu kejadian yang aku alami aku dihadapkan pada "setting buah simalakama" bila aku mengungkap semua kebenaran maka resikonya adalah hancurnya sebuah rumah tangga, atau mereka akan bercerai tapi bila tidak diungkapkan maka aku akan terus menerus akan menjadi tameng sang suami bila berbohong pada istrinya, "Aku lagi di jalan sama Aan.." Aku memilih mengungkapkan semuanya. Apa adanya. Tahu apa yang terjadi kemudian? They live happily ever after dengan 2 cucu baru, amin. Mereka jadi bisa saling tahu "sebenarnya" sudah seberapa besar kesalahan yang harus dimaafkan..

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat