Penyederhanaan Tidak Selalu Sama Dengan Generalisasi

Meskipun generalisasi adalah salah satu bentuk penyederhanaan. Pada beberapa hal yang membutuhkan penilaian person to person misalnya seperti dalam ruang kelas dan lingkungan kerja sebaiknya penyederhanaan bukanlah dengan penyamarataan atau generalisasi.
Menurut Emha Ainun Najib bangsa Indonesia cenderung menyamaratakan apa saja yang merupakan ciri dari cara berpikir linier. Contohnya, bila kita mendapati pungli saat mengurus KTP atau perijinan lainnya di kantor kelurahan, maka kita langsung men-setting pikiran kita bahwa semua PNS itu suka pungli, atau karena ada polantas yang mau atau meminta "atur damai" di jalan raya ketika kita melanggar aturan kita langsung beranggapan semua polisi sama saja, ujung-ujungnya duit. Padahal tidak semuanya begitu kan? Pastilah ada yang tidak.

Aku ingin menulis tentang penyederhanaan ini karena persoalan yang aku hadapi di lingkungan kerja sejak setahun belakangan. Puncaknya sebulan terakhir semuanya terlalu "crowded" dan "tidak beraturan" hingga membuatku makin yakin untuk segera meninggalkan tempat ini dan sepertinya keadaan mendukungku (thank God!) dari banyaknya tawaran yang masuk tepat di saat niat itu makin kuat.

Kembali ke soal generalisir. Lingkungan kerja yang 100% ideal itu mustahil ada dan bawahan yang sanggup menyerap distribusi pekerjaan hingga 100% juga tidak ada, tapi yang 99% ada. Kenapa aku bilang ada? Karena aku sudah beberapa kali pernah alami bekerja dengan team dan orang-orang yang sanggup hingga 99% (saat itu malah aku yang keteteran mengikuti pola kerja mereka), dan disetiap kantor pastilah selalu saja ada keseimbangan antara yang kita sukai dan yang tidak disukai.

Rasanya aku sudah melakukan trik Steve Ballmer (ujung tombak keberhasilan pemasaran Microsoft) yang ditulis John Wood dalam bukunya "Leaving Microsoft to Change The World" tentang melakukan pendekatan personal pada setiap karyawan. Aku bukan sekedar melakukan pendekatan personal, mereka sudah kuanggap saudara bahkan. Beberapa karyawanku (aku sebut karyawanku karena mereka berada di bawah koordinasiku, bukan, kantor ini bukan aku yang punya) setahun belakangan ini ZERO PROGRESS --malah mungkin minus?-- entah sudah beribu cara kugunakan untuk membuka pikiran mereka bahwa dalam segala hal dibutuhkan totalitas dan untuk bisa total kita harus punya motivasi yang tumbuh dari sebuah visi. Karena yang beberapa ini aku hampir saja melakukan generalisasi, bahwa itu memang sudah menjadi kultur dan budaya masyarakat di sini. Padahal tidak semuanya kan? Ah! Masak sih semuanya?!

Oke, aku tidak akan melakukan generalisasi tapi penyederhanaan. Make it simple. Aku punya beberapa prinsip dan nilai-nilai moral dari ajaran agama yang aku anut dan yakini, tentang larangan, dan perintah. Parameter yang digunakan oleh ajaran agama sudah yang paling toleran dibandingkan dengan nilai dan aturan bagaimana semestinya seorang pekerja profesional itu dalam bekerja.

Tenang-tenang sajalah, tidak ada pemecatan disini (paling tidak olehku) karena aku yang akan resign. Pesanku setelah aku pergi, kantor ini sudah pernah memecat karyawan karena tidak bisa mematuhi aturan, jadi bila kalian tidak menunjukkan perubahan berarti, cuma soal waktu wajah-wajah baru menggantikan kalian menjadi operator dan seorang security akan menempati kamar kalian yang dirumahkan (yang ini bocoran dari percakapanku dengan pimpinan waktu menyatakan niat akan resign).

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat