Mustafa Sibonu bin Djamaluddin


Lagu ini pernah kuputar di kantor kecil kami di Islamic Center Tondo di Palu, aku masih ingat protesnya. "Lagu apa itu Dan? Lagu nambongo," sahutnya menyembunyikan matanya yang basah.

I'm so tired of being here
Suppressed by all my childish fears
And if you have to leave
I wish that you would just leave

~ My Immortal - Evanescence



Mus tidak mengerti liriknya, tapi dia tahu lagu ini tentang merelakan kehilangan. Hatinya memang lembut, mudah tersentuh.

Apalagi Mus ketika itu baru saja merelakan kucing kesayangannya si Belang diadopsi pedagang pasar Mamboro.

Kecuali lagu-lagu Avenged Seven Fold, dia suka. "Beh, lagunya tuaka ini dan, so masok tiga botol ini.

"Coba otakmu selembut perasaanmu, so canggih sekali kau Mus, dua tahun belajar jaringan komputer," kataku meledeknya suatu hari.

"Oo, rupanya itu sudah, torang selalu komandan hukum panjat tower, biar panas, biar hujan. Te mempan Dan, apa so jadi batu cincin torang pe otak. Hahaha." Jawabnya terbahak-bahak.

Tidak ada lagi hinaan di antara kami yang bisa singgah menyakiti hati.

Satu suara melawan sembilan, Mus terpaksa mengalah pada keputusan Belang harus hidup menjadi kucing garong. Mus sayang sekali pada Belang, dia rela hanya makan nasi dan sayur dari katering langganan, lauknya semua untuk si Belang.

Sebulan pertama memelihara Belang, setiap pagi Mus sibuk membersihkan 'oleh-oleh' di pojok kantor.

Mus berjanji pada seisi kantor, Belang akan ia didik dengan benar.

Berhasil, Belang akhirnya tahu membedakan mana kloset jongkok dan pojok kantor.

Tak terasa Belang memasuki usia puber. Bulu matanya yang lentik memang cantik dengan celak hitam, Belang idola kucing-kucing jantan di sekitar gedung Islamic Center.

Beranak pinak, dan anak-anaknya kembali meneruskan kebiasaan ibunya si Belang. Kewalahan membersihkan oleh-oleh tiga ekor anak kucing yang tak melewatkan satu sudutpun di kantor kami. Mus mengalah, merelakan Belang pergi.

***

Semasa di Palu, aku punya tiga orang kepercayaan. Pertama Mustafa Sibonu bin Djamaluddin, kedua Afdi Fadilah, ketiga, Yudi. Berempat kami memikul limpahan tanggung jawab yang tidak kecil dari tim teknis sebelumnya, membangun infrastruktur wireless LAN milik pemkot Palu.

Sepeninggalku, Mustafa menyelesaikan kuliah diploma tiganya, kemudian menjadi PNS di Fakultas Kedokteran UNTAD.

Aku tahu, karena merasa tak enak hati hingga tak memberi tahu, ia telah menikah mendahului komandannya. Suka melihat potret keluarga kecilnya di media sosial, dikaruniai seorang putra yang berwajah persis dengannya.


Ia hijrah dan menjadi lebih baik setelah aku kembali ke Makassar.

Duh, Tuhan, semoga bukan aku yang selama ini menghalangi pintu hidayah buatnya. Begitu banyak pengalaman dan cerita yang pernah kami lalui.

Dia juga yang mengalihkan pandanganku pada seorang tua, yang berjalan tanpa alas kaki di atas aspal panas siang hari di kota Palu saat garis khatulistiwa berada dalam titik equinox.

Ayah Mustafa berasal dari Jeneponto, Sulawesi Selatan. Ibunya orang Kaili asli. Mus tidak marah ketika kuprotes sebenarnya dia tidak berhak menyandang fam Sibonu, karena yang orang Kaili ibunya, bukan bapak Djamaluddin ayahnya.

"Begini saja Dan, daripada torang ribut terus, apa so potong kambing akikah juga saya kasiang. Lebeh baek ambil jalan tengah, namaku jadi Mustafa Sibonu bin Djamaluddin."

***

Seorang lagi, Afdi Fadilah, seperti namanya yang berarti abdi yang utama. Berdua ke Makassar menyelesaikan pekerjaan terakhir sebagai konsultan jaringan teknologi informasi.

Bahagia melihat proses transformasi Afdi dari seorang buruh bangunan menjadi teknisi ahli.

Tidak butuh banyak orang, sebulan cukup Afdi seorang, satu kampus besar di Makassar berhasil kami hubungkan dalam satu jaringan induk.

Yudi, kemungkinan besar tidak sedang di Palu ketika gempa dan tsunami menerjang.

Setahun sebelum meninggalkan Palu, Yudi duluan pindah ke Makassar.

Sampai sekarang hanya Mustafa Sibonu bin Djamaluddin yang belum aku ketahui kabarnya, selamatkah dari terjangan gempa dan tsunami kemarin atau tidak.

I've tried so hard to tell myself that you're gone
But though you're still with me, I've been alone all along
When you cried, I'd wipe away all of your tears
When you'd scream, I'd fight away all of your fears

Sesayang apapun pada kalian, Tuhan pasti lebih sayang lagi.

***

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat