Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Setelah membaca buku I dan  buku II, benar selalu ada hal-hal baik sekalipun dibalik sesuatu yang cenderung berkonotoasi negatif, seperti sihir misalnya. "Picatrix" ada enam buku, cuma nemu dua buku yang tersedia versi PDF dan bisa diunduh gratis (entah bagaimana awalnya sampai bisa menemukan link untuk mengunduh Picatrix, membacanya, kemudian riweh sendiri).

Walaupun "Picatrix" dimulai dengan 'Basmalah' dan banyak menaruh catatan bahwa setiap sihir, upaya, hanya akan berhasil jika disetujui Tuhan untuk mewujud, tetapi di bagian lain ditekankan pentingnya menselaraskan diri dengan makro-kosmos untuk jaminan keberhasilan setiap usaha sihir. Sementara baginda Nabi SAW tegas melarang mengaitkan nasib, takdir, dengan bintang, kicau burung, dan hal-hal lain yang lebih tepat dianggap sebagai pertanda sebuah takdir dan nasib, bukan penentu takdir dan atau nasib.

Bisa sekali aku yang awam dengan sihir salah, dan mungkin sekali Ghayat Al-Hakim benar, atau kami berdua benar sekaligus salah. Resensi ini ditulis tanpa niat mencari benar salah, tetapi karena "Picatrix" dimulai dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih dan penyayang, dan pada banyak bab banyak disebutkan semoga Allah membimbingku (baca: penulis) dan orang-orang yang mencari 'kebijaksanaan' dengan membaca "Picatrix".

Tentang sihir, pemahamanku untuk sekarang, yang putih atau hitam, sumber kekuatannya sama, yaitu keyakinan. Dikotomi sihir hitam atau putih dibedakan oleh medium, cara, peralatan, pembantu, niat, dan tujuan melakukan praktik sihir tersebut.

Keyakinan dalam dua jenis sihir tersebut berbeda cakrawala dengan keyakinan beragama (agama dalam konteks spritualitas, bukan religiusitas). Pengalaman pribadi dalam beragama, 'keyakinan utuh' mutlak diperlukan sebagai pengantar sebelum menjelma kesadaran, sebab jika tidak, maka agama terancam dituhankan melebihi Tuhan itu sendiri.

Hubungan manusia dan alam semesta.
"Picatrix" menganggap setiap manusia berhubungan langsung dengan gugusan planet dan bintang-bintang. Mereka yang bijaksana adalah mereka yang menyadari dirinya sebagai debu, bagian dari semesta.

Kalimat terakhir tentang debu semesta, kami sepakat. Namun masih terasa keabu-abuan sikap Ghayat Al-Hakim dalam "Picatrix", beberapa sebabnya:

Pertama, ucapan 'Basmalah' lebih dari cukup untuk menyadari posisi dan derajat seseorang dalam semesta ciptaan. Setelah melakukan sinkronisasi dengan Pencipta alam semesta, menyinkronkan diri dengan makro-kosmos yang juga ciptaan seperti pengucap 'Basmalah', rasanya nanti diperlukan jika dan hanya jika belum memahami kasih sayang dan kepemurahan Tuhan dalam Basmalah (yang seorang muslim diwajibkan membacanya sebelum melakukan sesuatu).

Tentu saja, setiap aktifitas punya waktu yang baik dan benar, sama seperti waktu-waktu beribadah yang afdal, waktu tidur, makan, dan lain-lain. Kondisi waktu yang afdal tersebut tetap harus diposisikan sebagai penunjang terwujudnya sebuah takdir yang diinginkan, tetap bukan penentu apalagi jaminan akan berhasil. Ghayat Al-Hakim mengakui hal ini dengan kerapnya menambahkan kalimat semoga Tuhan mengabulkan.

Kedua, berbeda sekali nuansa 'bijaksana dan arif' dalam "Picatrix" dengan yang kupahami. Menurut "Picatrix" kebijaksanaan dan kearifan memiliki banyak tingkatan, setiap tingkatan adalah syarat menuju tingkatan berikutnya. Sayangnya, apa yang disebutnya kebijaksanaan adalah syarat bagi seseorang sebelum menjadi 'talisman' atau dukun. Setuju dengan gambaran jalan menuju 'kebijaksanaan' tidak akan bisa ditempuh dengan 'by force or buy force', tetapi karena niat yang lurus, kemudian dicukupkan Tuhan sebelum mulai diperjalankan.

Beberapa bab memberikan contoh penggunaan sihir dengan memanfaatkan rajah/stempel/simbol/bacaan mantra/jimat pada waktu dan posisi benda-benda langit yang berbeda-beda untuk setiap tujuan. Setiap sihir membutuhkan 'talisman' atau 'dukun'. Benar, memang ada yang memiliki kemampuan seorang Talisman.

Bukannya kehilangan hasrat mewujudkan setiap impian dan harapan. Tidak tertarik pada sihir putih maupun hitam makin membulat setelah mengalami banyak kepahitan dalam hidup dan belajar menerimanya. Ketimbang mencari cara mengubah takdir yang telah terjadi, masih lebih sulit dan terasa lebih manis mempelajari cara menerima dan bereaksi pada takdir tanpa protes dan tanya. Andaipun sihir bisa mengubah takdir menjadi sesuai keinginan, harganya tidak murah, dibayar dengan menghilangkan kesempatan belajar menerima takdir dan ketentuan Tuhan, salah satu jalan terbaik jika ingin mendekati dan mengenal Tuhan.

Sayang jika 'kebijaksanaan' diartikan sebagai kemampuan mewujudkan keinginan diri sendiri dan orang lain--apapun itu--, dengan memanfaatkan energi dan konstalasi kosmos. Sementara dalam keinginan yang tidak terwujud ada banyak pelajaran berharga.

"Picatrix" yang dimulai dengan 'Basmalah', lebih bijaksana jika menambahkan catatan bahwa balasan kesabaran atas keinginan yang tidak terwujud adalah pahala/imbalan tanpa batas, jauh lebih baik ketimbang keinginan yang terkabul tetapi menjadi sumber kesombongan, arogansi, dan keserakahan.

Tentang mantra berupa kata.
Memang benar kata memiliki 'kekuatan'. Sebagai pembawa informasi berupa data, rasa, nuansa, dan makna, kata mampu menerobos pikiran dan hati manusia. Namun mantra tidak bisa disamakan dengan 'kekuatan' kata dalam 'linguistik'.

Dalih "Mengapa begitu sulit menerima keajaiban kata-kata berupa mantra, sementara semua manusia mengetahui dengan kata yang tepat seorang musuh bisa menjadi sahabat, dan karena salah kata seorang sahabat menjelma musuh." Perbandingan yang kurang tepat karena menempatkan kata dan mantra sejajar. Apple to grape.

Kata yang membentuk kalimat, kemudian menjadi alat berkomunikasi atau bertukar informasi adalah proses yang berlangsung dua arah, silih berganti menjadi penutur-pendengar, ada proses menerima dan memberi.

Sementara mantra cenderung proses searah. Mantra biasanya berisi kata-kata yang memvisualkan keinginan seseorang dalam bentuk yang super, membantu memusatkan keyakinan dan harapannya menjadi fokus, jernih, dan tajam. Seseorang yang mampu memvisualkan keinginannya atau memiliki visi, tidak memerlukan mantra lagi. Visi yang jernih berupa perspektif atau proyeksi selalu sepaket dengan cara meraihnya atau misi, kadangkala bila visi tersebut sesuai dengan rencana semesta, jalan mencapai visi akan tersedia dengan sendirinya.

Contoh penggunaan mantra berupa kata pembentuk kalimat, mantra yang sering digunakan jagoan di Makassar sebelum duel, juga biasa digunakan dalam debat atau diskusi yang bertujuan menjadi pemenang, bukan menggali kebenaran bersama-sama. "Inakke alip, ikau ba." Aku alif, engkau ba. Deklarasi bahwa pengucapnya adalah abjad pertama huruf Hijaiyah yang digunakan dalam Al Qur'an dan lawannya adalah huruf kedua setelahnya. Mantra ini menjadi alat bantu si pengucap membangun rasa percaya diri akan keunggulannya. Saat mengucapkan mantra tidak ada penutur dan pendengar, tidak ada proses memberi dan menerima, tanpa interaksi.

Si pengucap mantra ketika mendapati lawannya tunduk dan mengalah akan sulit melepaskan diri dari kesombongan bahwa ia lebih jago, ialah juaranya, lebih parah lagi jika menganggap mantra sebagai sumber kemenangannya, bukan alat bantu. Padahal lawannya mungkin sekali memang tak ingin menang, memilih berdamai dengan cara mengalah.

Jebakan kesombongan yang tak kalah besar sebenarnya juga ada pada yang memilih mengalah tanpa mantra. Ketika ia merasa dirinya lebih baik dan lebih berilmu dengan mengalah, saat itu juga kesombongan telah menjadi bajunya.

Kesombongan baik sedang kalah atau menang, benar atau salah, bisa ditepiskan dengan tidak menampilkan diri sendiri atau menuding orang lain sebagai sebab apalagi sumbernya. Semua ciptaan hanyalah 'tools' untuk takdir yang mencari jalan agar mewujud. Wallahu'alam.

Popular posts from this blog

Ejapi Tompi Na Doang

Debat