Bukan Dering Ponsel yang Mengganggu, tetapi Hati Kita yang sedang Terganggu.

Biasanya setiap azan Duhur kalau belum mandi pagi (baca: siang), enggan ke masjid Duhur berjamaah, khawatir ada mazi atau najis lainnya yang kadang keluar sewaktu tidur. Namun pas azan Duhur tadi tidak, entah mengapa terdorong ke masjid, ditambah keyakinan setelah bangun tidur tadi sudah memeriksa di kamar mandi sebelum istinja, qubul dan dubur keduanya aman dari najis. Keinginan melangkah ke masjid seperti ini kusebut panggilan, mengalir begitu saja tanpa ada dorongan atau halangan akhirnya sampai ke dalam masjid, dapat deret ke dua di belakang imam.

Masjid di samping rumah di sini, di Jakarta, masjid para musafir sepertiku. Parkiran motornya selalu ramai, paling sedikit tiga shaf di setiap waktu salat, duhur tadi ada lima shaf. Karpetnya baru diganti pas masuk ramadan kemarin, empuk dan wangi. Pendingin udara dan kipas anginnya cukup, udaranya sejuk. Faktor lingkungan yang dibutuhkan untuk berusaha khusyuk, menuju khusyuk, atau mungkin pura-pura khusyuk, lebih dari cukup.

Imam pun takbir.

Bacaan surah salat duhur dan asar tidak dijaharkan, mengikuti imam, usai takbir, kembali memperbaharui janji dan sumpah yang seringkali dengan sengaja melanggarnya, cuma sedikit yang tidak sengaja di antara dua waktu salat. Bahwa ibadahku, salatku, hidup dan matiku untuk Allah semata, tetapi masih mau setengah mati untuk yang nyatanya bukan Tuhan.

Takbiratul ihram selamat. Tidak memikirkan apapun kecuali Zat yang tak bisa kupikirkan, yang tak terjangkau pikiran dan khayalan. Al-Fatihah, Al-Ikhlas andalan, rukuk, sujud, duduk, dan kembali berdiri. Mengulang lagi sampai rakaat kedua, ketiga, dan keempat.

Saat rukuk di rakaat keempat, ponsel salah seorang jamaah berdering.

Tersenyum mendengar deringnya, ponsel jaman dulu tanpa layar sentuh. Kalau bukan Noki* 3110 klasik, mungkin erikss*n seri GF.  Sulit menahan senyum menyadari bahwa pemilik ponsel yang berdering ini mesti berkarakter unik dan istimewa.

Salatku rusak? Mungkin, asal bukan iman dan hatiku. Senyum baru satu gerakan diluar gerakan salat, tersisa dua lagi gerakan yang dibolehkan.

Makin tersenyum dalam hati ketika jamaah tersebut tidak menggunakan fasilitas menepikan gangguan dalam salat, seperti membunuh ular atau kalajengking yang akan menyerang, atau dibolehkan melakukan tiga gerakan diluar gerakan salat. Dering ponselnya mengiringi senyumku, bacaanku dan gerakanku hingga akhirnya salam.

Entah, aku mungkin sekali salah ketika merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap dering nyaring non-polyphonic, yang membuat senyumku terus mengembang.

Sambil berdzikir usai salat menganggap dering ponsel yang masih terus berdering adalah bagian dari duhurku siang ini, mendadak seorang pemuda berkaos kuning, menyalami jamaah sampai empat orang di sisi kiri, dan empat orang di sisi kanannya. Aku yang keempat di sebelah kanannya. Sambil menyalami ponselnya masih berdering. Masih tersenyum wajahnya kutatap, duh Gusti Allah, pemuda itu pemuda 'seribu wajah', keterbelakangan mentalnya tidak cukup kuat untuk menghentikan dorongan ke masjid.

Beberapa jamaah tidak kuasa menahan kekesalan, memintanya mematikan ponsel. Jamaah yang lain berusaha memberi kode bahwa pemuda tersebut 'spesial', jangan dimarahi. Ponselnya tetap ia biarkan berdering sambil menyalami jamaah di setiap shaf yang harus ia lalui sebelum menghilang dari pintu belakang masjid. Mungkin keluarganya khawatir, jadi terus menelpon. Usai duduk sejenak usai salat, berusaha menyusulnya, dia sudah menghilang sebelum sempat mengucapkan terima kasih.

Duhur tadi aku belajar lewat pemuda berkaos kuning yang istimewa. Bahwa saat salat kita tidak diminta meninggalkan tubuh dan dunia, tetapi membawanya serta, berikut lingkungan di sekitar kita. Bukan dering ponselnya yang mengganggu, tetapi hati kita yang sedang terganggu. Bukan tubuh, pakaian, dan lingkungan yang tidak mau ikut menghadap dalam salat, tetapi kita yang belum pantas mengajaknya bersama-sama.

Popular posts from this blog

Resensi Buku Suka-Suka: "Picatrix"

Ejapi Tompi Na Doang

Debat